Pengantar: Mengapa Aswaja Begitu Penting?
Dalam lanskap pemikiran Islam yang kaya dan beragam, konsep Ahlussunnah wal Jama'ah atau yang lebih dikenal dengan singkatan Aswaja, menempati posisi sentral bagi mayoritas umat Muslim di dunia, termasuk di Indonesia. Aswaja bukanlah sebuah mazhab baru atau aliran sektarian, melainkan sebuah metodologi beragama, sebuah manhaj berpikir dan bertindak yang mengedepankan prinsip moderasi, keseimbangan, toleransi, dan kehati-hatian dalam mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya.
Memahami Aswaja adalah krusial di era kontemporer ini. Di tengah arus informasi yang tak terbendung, interpretasi agama yang ekstrem, serta polarisasi sosial dan politik, Aswaja hadir sebagai mercusuar yang menawarkan jalan tengah. Ia mengajarkan kita untuk tidak terjerumus pada sikap berlebihan (ghuluw) dalam beragama, juga tidak meremehkan (tafrith). Sebaliknya, Aswaja mengajak pada sikap adil dan seimbang (tawasuth dan tawazun), menghargai perbedaan (tasamuh), serta konsisten menjaga tradisi keilmuan yang telah diwariskan oleh para ulama salafus shalih.
Artikel ini akan mengupas tuntas Aswaja, mulai dari definisi etimologis dan terminologisnya, akar sejarah dan perkembangan pemikirannya, pilar-pilar utama dalam bidang akidah, syariah, dan akhlak, hingga relevansinya yang mendalam bagi kehidupan umat Islam, khususnya di Indonesia. Kita juga akan menyingkap beberapa miskonsepsi umum yang seringkali melekat pada Aswaja, serta menegaskan kembali posisinya sebagai fondasi moderasi Islam yang inklusif dan dinamis.
Dengan pemahaman yang komprehensif tentang Aswaja, diharapkan kita dapat meneladani semangat keilmuan dan kearifan para pendahulu, serta mampu mengaktualisasikan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil alamin dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Definisi dan Akar Sejarah Ahlussunnah wal Jama'ah
Untuk memahami Aswaja secara utuh, penting untuk menilik makna leksikal dan historisnya. Istilah ini terdiri dari tiga komponen utama: Ahl, Sunnah, dan Jama'ah.
Apa Arti Ahlussunnah wal Jama'ah?
- Ahl (أهل): Berarti keluarga, kelompok, pengikut, atau kaum. Dalam konteks ini, 'Ahl' merujuk pada orang-orang yang memiliki afiliasi atau keterikatan kuat dengan sesuatu.
- As-Sunnah (السنّة): Secara bahasa berarti jalan, tradisi, atau metode. Dalam terminologi Islam, As-Sunnah merujuk pada segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan (qauliyah), perbuatan (fi'liyah), maupun persetujuan (taqririyah). Sunnah adalah sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur'an.
- Al-Jama'ah (الجماعة): Berarti perkumpulan, kelompok besar, atau mayoritas. Dalam konteks syariat, 'Al-Jama'ah' merujuk pada mayoritas umat Islam yang konsisten berpegang pada ajaran Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya, serta ijma' (konsensus) ulama salaf. Ini juga bisa diartikan sebagai persatuan umat dalam mengikuti kebenaran.
Dengan demikian, secara harfiah, Ahlussunnah wal Jama'ah berarti "golongan yang mengikuti Sunnah Nabi dan jalan (jama'ah) para sahabatnya serta mayoritas umat Islam." Ini adalah sebuah identitas yang menunjukkan komitmen untuk berpegang teguh pada ajaran Islam yang autentik, sebagaimana dipraktikkan oleh Nabi dan para sahabat, serta dipahami oleh generasi-generasi Muslim terbaik setelah mereka.
Akar Sejarah dan Perkembangan Awal
Meskipun istilah "Ahlussunnah wal Jama'ah" baru populer beberapa abad setelah era Nabi, substansi dari ajaran ini telah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Nabi sendiri telah memberi isyarat tentang pentingnya berpegang pada Sunnahnya dan Sunnah Khulafaur Rasyidin, serta mewanti-wanti akan terjadinya perpecahan umat.
Munculnya istilah Aswaja secara lebih eksplisit tidak dapat dilepaskan dari dinamika sejarah umat Islam pasca-Nabi, terutama setelah era Khulafaur Rasyidin. Pada masa ini, mulai muncul berbagai aliran pemikiran dan sekte-sekte yang menyimpang dari jalan tengah yang diwariskan oleh Nabi dan sahabat, seperti Khawarij yang ekstrem, Syi'ah yang memiliki pandangan berbeda tentang kepemimpinan, dan Mu'tazilah yang terlalu mengedepankan rasionalisme hingga menafikan sebagian nash.
Dalam menghadapi gejolak pemikiran dan politik ini, para ulama yang konsisten pada jalan tengah merasa perlu untuk merumuskan dan memperjelas identitas mereka sebagai kelompok yang berpegang teguh pada Sunnah dan Jama'ah. Mereka adalah para ulama yang gigih membela akidah yang sahih, menjaga keotentikan syariat, dan melestarikan akhlak mulia sesuai tuntunan Nabi.
Perkembangan pemikiran Aswaja mencapai puncaknya pada abad ke-3 dan ke-4 Hijriyah dengan munculnya ulama-ulama besar yang merumuskan metodologi Aswaja dalam berbagai bidang keilmuan:
- Akidah (Teologi): Imam Abul Hasan Al-Asy'ari (w. 324 H) dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi (w. 333 H) menjadi perumus utama mazhab akidah Ahlussunnah yang dikenal dengan Asy'ariyah dan Maturidiyah. Mereka membela akidah salaf dari serangan rasionalisme ekstrem Mu'tazilah dan antropomorfisme (tajsim) dari sebagian kelompok lain.
- Syariah (Fikih): Empat imam mazhab fikih, yaitu Imam Abu Hanifah (w. 150 H), Imam Malik bin Anas (w. 179 H), Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i (w. 204 H), dan Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H), meletakkan dasar-dasar metodologi ijtihad yang kokoh dan menghasilkan korpus hukum Islam yang sangat kaya, menjadi rujukan utama bagi Aswaja.
- Akhlak dan Tasawuf: Para ulama seperti Imam Junaid Al-Baghdadi (w. 297 H) dan Imam Abu Hamid Al-Ghazali (w. 505 H) menyistematisasi ajaran tasawuf yang selaras dengan syariat, menekankan pentingnya penyucian jiwa (tazkiyatun nafs) dan pencapaian ihsan, menjauhkan tasawuf dari praktik-praktik yang menyimpang.
Dengan demikian, Aswaja adalah hasil dari proses panjang penjagaan dan pengembangan ilmu pengetahuan Islam oleh para ulama terkemuka, yang bertujuan untuk mempertahankan keaslian ajaran Islam dari berbagai tantangan dan penyimpangan.
Pilar Akidah Aswaja: Asy'ariyah dan Maturidiyah
Akidah adalah fondasi utama Islam, keyakinan-keyakinan dasar tentang Allah, Rasul, kitab suci, malaikat, hari akhir, dan takdir. Dalam Aswaja, akidah memiliki karakteristik yang khas, yang dirumuskan secara sistematis oleh dua mazhab teologi besar: Asy'ariyah dan Maturidiyah.
Mazhab Asy'ariyah
Didirikan oleh Imam Abul Hasan Al-Asy'ari (w. 324 H), awalnya beliau adalah seorang Mu'tazilah, namun kemudian meninggalkan pemikiran tersebut dan merumuskan akidah yang moderat. Asy'ariyah menempuh jalan tengah antara rasionalisme ekstrem Mu'tazilah dan tekstualisme kaku sebagian Hanabilah.
Prinsip-prinsip Utama Akidah Asy'ariyah:
- Tawhid Asma' wa Shifat (Esa dalam Nama dan Sifat Allah): Asy'ariyah meyakini bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan Sunnah, seperti Ilmu, Hayat, Sama', Bashar, Kalam, Iradah, dan Qudrah. Mereka menafsirkan sifat-sifat mutasyabihat (yang samar) secara bilā kayfa (tanpa menanyakan bagaimana) dan bilā takyif (tanpa menyerupakan dengan makhluk), menjauhkan dari tasybih (penyerupaan) dan ta'thil (penolakan total). Mereka meyakini bahwa Allah bersemayam di Arsy, namun tidak dengan cara makhluk bersemayam, tidak butuh tempat, dan tidak terbatas oleh ruang dan waktu.
- Kalam Allah (Firman Allah): Mereka meyakini bahwa Al-Qur'an adalah Kalamullah, bukan makhluk. Kalam Allah memiliki dua aspek: kalam nafsi (kalam yang qadim dan azali, ada pada Dzat Allah) dan kalam lafzhi (yang berupa huruf dan suara, yang diwahyukan kepada Nabi dan merupakan manifestasi dari kalam nafsi).
- Perbuatan Manusia (Kasb): Asy'ariyah meyakini bahwa segala perbuatan manusia adalah ciptaan Allah. Manusia memiliki kehendak dan kemampuan (kasb), namun kemampuan itu juga diciptakan oleh Allah. Jadi, manusia tidak memiliki daya cipta independen, tetapi memiliki tanggung jawab moral atas pilihan dan usahanya, karena Allah telah menciptakan kemampuan itu dalam diri manusia untuk memilih.
- Melihat Allah di Akhirat: Mereka meyakini bahwa orang-orang beriman akan dapat melihat Allah di akhirat, namun tanpa bentuk, tanpa arah, dan tanpa penyerupaan dengan penglihatan makhluk.
- Iman: Iman didefinisikan sebagai tashdiq bil qalb (membenarkan dengan hati) yang diucapkan dengan lisan dan dibuktikan dengan amal perbuatan. Amal perbuatan adalah bagian dari kesempurnaan iman, bukan rukun iman itu sendiri.
- Keadilan Allah: Keadilan Allah tidak diukur dengan akal manusia, tetapi dengan kehendak dan hikmah-Nya yang mutlak. Allah berhak melakukan apa saja terhadap hamba-Nya.
Mazhab Maturidiyah
Didirikan oleh Imam Abu Manshur Al-Maturidi (w. 333 H) di Samarkand. Maturidiyah memiliki banyak kesamaan dengan Asy'ariyah, tetapi ada beberapa perbedaan tipis, terutama dalam kadar penggunaan akal dan beberapa detail teologis.
Prinsip-prinsip Utama Akidah Maturidiyah:
- Peran Akal: Maturidiyah memberikan peran yang lebih besar kepada akal dalam memahami keberadaan Allah dan sebagian kewajiban moral dasar, seperti kewajiban bersyukur kepada Allah, sebelum datangnya wahyu. Namun, mereka tetap menekankan bahwa wahyu adalah sumber utama dalam detail akidah dan hukum.
- Sifat-sifat Allah: Hampir sama dengan Asy'ariyah, mereka menafsirkan sifat-sifat Allah secara non-antropomorfik, menjauhi tasybih dan ta'thil.
- Kalam Allah: Sama seperti Asy'ariyah, mereka membedakan antara kalam nafsi dan kalam lafzhi.
- Perbuatan Manusia (Kasb): Maturidiyah sedikit berbeda dalam menjelaskan kasb. Mereka lebih menekankan bahwa manusia memiliki kehendak yang nyata (ikhtiyar) dan kemampuan (qudrah) untuk melakukan perbuatan. Allah menciptakan perbuatan itu seiring dengan kehendak manusia, sehingga manusia bertanggung jawab penuh atas perbuatannya. Ini memberikan kesan bahwa manusia memiliki kebebasan yang sedikit lebih besar dibandingkan pandangan Asy'ariyah yang lebih menekankan kehendak mutlak Allah.
- Iman: Sama seperti Asy'ariyah, iman adalah pembenaran hati yang diucapkan lisan dan diamalkan.
- Keadilan Allah: Maturidiyah berpandangan bahwa keadilan Allah dapat dipahami oleh akal, dan bahwa Allah tidak mungkin berbuat zalim.
Kedua mazhab akidah ini, Asy'ariyah dan Maturidiyah, meskipun memiliki perbedaan detail, secara substansial sepakat dalam prinsip-prinsip dasar akidah Ahlussunnah. Keduanya menjaga umat dari ekstremisme rasionalisme maupun literalisme kaku, serta meneguhkan keyakinan akan keesaan Allah, kenabian Muhammad SAW, dan hari akhir dengan argumentasi yang kokoh, baik dari Al-Qur'an, Sunnah, maupun akal yang sehat.
Pilar Syariah Aswaja: Empat Mazhab Fiqih yang Mapan
Setelah akidah, pilar berikutnya dalam Aswaja adalah syariah, yaitu hukum-hukum praktis yang mengatur kehidupan seorang Muslim, mulai dari ibadah hingga muamalah. Dalam bidang fikih (yurisprudensi Islam), Ahlussunnah wal Jama'ah merujuk pada empat mazhab fikih utama yang diakui dan diamalkan secara luas:
- Mazhab Hanafi
- Mazhab Maliki
- Mazhab Syafi'i
- Mazhab Hanbali
Keempat mazhab ini bukanlah aliran yang saling bertentangan, melainkan merupakan metodologi yang berbeda dalam memahami dan menginterpretasikan sumber-sumber hukum Islam (Al-Qur'an, Sunnah, Ijma', Qiyas). Perbedaan di antara mereka adalah bentuk rahmat dan kekayaan Islam, yang memberikan keluasan bagi umat dalam menjalankan syariat.
1. Mazhab Hanafi
Didirikan oleh Imam Abu Hanifah An-Nu'man (w. 150 H) di Kufah, Irak. Mazhab ini dikenal sebagai mazhab yang paling banyak menggunakan ra'yu (akal atau penalaran) dan istihsan (pilihan hukum yang dianggap lebih baik meskipun menyimpang dari qiyas) dalam menentukan hukum. Ini karena Imam Abu Hanifah hidup di lingkungan yang beragam dan menghadapi banyak persoalan baru yang belum ada nashnya secara eksplisit.
- Ciri Khas: Banyak menggunakan qiyas (analogi), istihsan, dan urf (adat kebiasaan lokal) sebagai pertimbangan. Memiliki perhatian besar terhadap hukum-hukum muamalah.
- Penyebaran: Dominan di Asia Tengah, India, Pakistan, Afghanistan, Turki, Balkan, Mesir, dan sebagian Suriah.
2. Mazhab Maliki
Didirikan oleh Imam Malik bin Anas (w. 179 H) di Madinah. Mazhab ini sangat menekankan praktik masyarakat Madinah (amal ahl al-Madinah) sebagai salah satu sumber hukum, karena Madinah adalah tempat Nabi SAW hidup dan berdakwah, sehingga praktik penduduknya dianggap merefleksikan Sunnah Nabi secara langsung.
- Ciri Khas: Sangat berpegang pada Sunnah, hadis, dan praktik penduduk Madinah. Juga menggunakan mashlahah mursalah (kemaslahatan umum yang tidak ada nash spesifiknya).
- Penyebaran: Dominan di Afrika Utara, Afrika Barat, Sudan, dan sebagian Mesir.
3. Mazhab Syafi'i
Didirikan oleh Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i (w. 204 H) di Gaza, kemudian hijrah ke Mesir. Mazhab ini merupakan sintesis antara metode Hanafi yang cenderung rasional dan Maliki yang cenderung tekstualis. Imam Asy'afi'i sangat menekankan metodologi yang ketat dalam penggunaan hadis dan penetapan hukum, dituangkan dalam karyanya Ar-Risalah, yang dianggap sebagai kitab ushul fikih pertama.
- Ciri Khas: Menekankan Al-Qur'an dan Sunnah sebagai sumber utama, dengan metode istinbath (pengambilan hukum) yang sistematis. Hadis sahih lebih diutamakan daripada pendapat sahabat atau praktik lokal jika bertentangan.
- Penyebaran: Sangat dominan di Indonesia, Malaysia, Brunei, Singapura, Thailand Selatan, Yaman, Mesir, sebagian Suriah, Palestina, dan Afrika Timur.
4. Mazhab Hanbali
Didirikan oleh Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) di Baghdad. Mazhab ini dikenal paling tekstualis dan sangat hati-hati dalam menerima hadis. Imam Ahmad sangat menekankan hadis sahih dan menolak keras penggunaan ra'yu (akal) jika ada nash yang jelas.
- Ciri Khas: Sangat berpegang teguh pada Al-Qur'an, Sunnah (terutama hadis yang kuat), fatwa sahabat, dan ijma'. Kurang menggunakan qiyas kecuali dalam kondisi sangat mendesak.
- Penyebaran: Dominan di Arab Saudi, Qatar, dan sebagian kecil di Suriah dan Irak.
Mengapa Berafiliasi ke Salah Satu Mazhab Fikih?
Berafiliasi atau bermazhab pada salah satu dari empat mazhab ini adalah ciri khas Ahlussunnah wal Jama'ah. Ini bukan berarti taqlid buta, melainkan bentuk penghormatan terhadap tradisi keilmuan yang telah teruji dan sistematis. Bagi Muslim awam, bermazhab adalah keniscayaan untuk memastikan praktik ibadah dan muamalah mereka sesuai dengan syariat tanpa harus melakukan ijtihad sendiri yang memerlukan kualifikasi tinggi.
Bagi para ulama, bermazhab adalah kerangka berpikir yang membantu mereka dalam melakukan istinbath hukum, dengan tetap membuka ruang bagi ijtihad dalam koridor metodologi mazhab atau bahkan di luar mazhab jika ada alasan kuat (talfiq atau tarjih antar mazhab) dan kapasitas keilmuan yang memadai.
Adanya empat mazhab ini menunjukkan kekayaan dan fleksibilitas syariat Islam dalam menghadapi berbagai konteks geografis dan zaman, sambil tetap menjaga kesatuan dalam prinsip-prinsip dasar.
Pilar Akhlak dan Tasawuf Aswaja: Penyucian Jiwa dan Ihsan
Selain akidah yang benar dan syariah yang teratur, Aswaja juga sangat menekankan dimensi akhlak dan spiritualitas. Dimensi ini diwujudkan melalui disiplin ilmu tasawuf, yang bertujuan untuk menyucikan jiwa (tazkiyatun nafs) dan mencapai derajat ihsan.
Apa Itu Tasawuf dalam Aswaja?
Tasawuf dalam konteks Aswaja bukanlah ajaran yang terpisah dari syariat dan akidah, melainkan merupakan penyempurna ketiganya. Imam Malik bin Anas pernah berkata, "Barangsiapa bertasawuf tanpa fikih, maka ia zindiq (sesat). Barangsiapa berfikih tanpa tasawuf, maka ia fasik. Dan barangsiapa menggabungkan keduanya, maka ia mencapai hakikat."
Tasawuf Aswaja adalah tasawuf yang sunni, yaitu tasawuf yang berlandaskan pada Al-Qur'an dan Sunnah Nabi, serta dipraktikkan oleh para sahabat dan tabi'in. Ia menolak praktik-praktik tasawuf yang menyimpang seperti:
- Al-Hulul (penitisan Tuhan pada makhluk).
- Al-Ittihad (penyatuan manusia dengan Tuhan secara fisik).
- Wihdatul Wujud (kesatuan eksistensi antara Tuhan dan alam semesta yang diartikan secara panteistik).
- Penolakan terhadap syariat, dengan dalih sudah mencapai "hakikat".
Sebaliknya, tasawuf Aswaja menekankan pada:
- Ketaatan Penuh pada Syariat: Semua praktik tasawuf harus sesuai dengan hukum fikih.
- Penyucian Hati (Tazkiyatun Nafs): Membersihkan hati dari sifat-sifat tercela (madzmumah) seperti dengki, sombong, riya', ujub, rakus, dan menggantinya dengan sifat-sifat terpuji (mahmudah) seperti ikhlas, sabar, syukur, tawakkal, qana'ah, mahabbah (cinta kepada Allah).
- Zuhud: Bukan berarti meninggalkan dunia sepenuhnya, melainkan tidak menjadikan dunia sebagai tujuan utama dan tidak terikat pada harta benda secara berlebihan.
- Dzikir dan Wirid: Memperbanyak mengingat Allah melalui dzikir, membaca Al-Qur'an, dan shalawat.
- Murāqabah dan Muhasabah: Merasa selalu diawasi oleh Allah dan senantiasa mengevaluasi diri.
- Pencapaian Ihsan: Beribadah seolah-olah melihat Allah, dan jika tidak dapat melihat-Nya, meyakini bahwa Allah melihat kita. Ini adalah puncak spiritualitas yang menghasilkan keikhlasan dan kesempurnaan dalam beribadah.
Tokoh Sentral dalam Tasawuf Aswaja
Dua tokoh besar yang sangat berpengaruh dalam pengembangan tasawuf Aswaja adalah:
1. Imam Junaid Al-Baghdadi (w. 297 H)
Beliau dikenal sebagai "penghulu kaum sufi" dan diakui sebagai salah satu peletak dasar tasawuf sunni yang paling otentik. Imam Junaid menekankan bahwa tasawuf adalah "konsisten dengan Al-Qur'an dan Sunnah." Ia memandang bahwa hakikat tasawuf adalah ketenangan hati dan penghambaan diri sepenuhnya kepada Allah setelah melalui proses perjuangan melawan hawa nafsu dan penyucian batin.
"Tasawuf adalah bersahabat dengan Allah tanpa ikatan dan mencabut dari diri segala ikatan."
"Jalan menuju Allah tertutup bagi siapa saja kecuali bagi orang yang menempuh jalan Rasulullah SAW."
2. Imam Abu Hamid Al-Ghazali (w. 505 H)
Dijuluki Hujjatul Islam (Pembela Islam), Imam Al-Ghazali adalah salah satu ulama terbesar dalam sejarah Islam. Setelah mengalami krisis spiritual dan meninggalkan karir akademiknya yang gemilang, beliau mendalami tasawuf dan berhasil mengintegrasikan tasawuf dengan fikih dan akidah secara harmonis.
Karyanya yang monumental, Ihya' Ulumiddin (Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama), adalah kitab rujukan utama dalam tasawuf sunni. Di dalamnya, Al-Ghazali menjelaskan secara rinci tentang penyakit-penyakit hati dan cara mengobatinya, pentingnya zikir, doa, ibadah, serta hubungan spiritual antara hamba dengan Tuhannya, semuanya dalam kerangka syariat yang ketat.
Melalui Imam Al-Ghazali, tasawuf kembali pada jalur otentiknya, menjauh dari bid'ah dan khurafat, serta menjadi bagian integral dari kehidupan beragama yang seimbang dalam Aswaja.
Dengan demikian, dimensi akhlak dan tasawuf dalam Aswaja adalah upaya untuk mencapai kesempurnaan spiritual, yang mengiringi kesempurnaan akidah dan syariah, demi membentuk pribadi Muslim yang utuh, beriman teguh, beramal saleh, dan berakhlak mulia.
Aswaja di Nusantara: Sejarah dan Karakteristik Islam Indonesia
Indonesia, dengan populasi Muslim terbesar di dunia, adalah salah satu benteng utama Ahlussunnah wal Jama'ah. Sejarah masuknya Islam ke Nusantara, perkembangannya, hingga pembentukan identitas Islam Indonesia, sangat erat kaitannya dengan prinsip-prinsip Aswaja.
Masuknya Islam dan Peran Wali Songo
Islam masuk ke Nusantara secara bertahap, umumnya melalui jalur perdagangan, dakwah, dan perkawinan, bukan melalui penaklukan militer. Para pedagang Muslim dari Arab, Persia, dan India yang datang ke pelabuhan-pelabuhan Nusantara membawa serta ajaran Islam yang bermazhab Syafi'i dalam fikih dan Asy'ariyah/Maturidiyah dalam akidah, serta tasawuf sunni.
Penyebaran Islam yang paling signifikan terjadi berkat peran Wali Songo di Jawa. Mereka adalah ulama-ulama kharismatik yang menggunakan pendekatan budaya dan kearifan lokal (local wisdom) dalam berdakwah. Mereka tidak menghapus tradisi lokal secara total, melainkan mengakulturasikan nilai-nilai Islam ke dalam budaya yang sudah ada, sehingga Islam diterima dengan damai dan sukarela oleh masyarakat.
Pendekatan dakwah Wali Songo inilah yang menjadi cikal bakal karakter Islam Nusantara: Islam yang moderat, toleran, menghargai budaya, dan adaptif terhadap realitas sosial.
Lahirnya Nahdlatul Ulama (NU) sebagai Penjaga Aswaja di Indonesia
Pada awal abad ke-20, di tengah arus modernisasi dan munculnya berbagai gerakan pembaharuan Islam yang seringkali menafikan tradisi dan khazanah keilmuan klasik, para ulama tradisional di Indonesia merasa perlu untuk mendirikan sebuah organisasi yang akan menjaga dan melestarikan ajaran Aswaja.
Maka pada 31 Januari 1926, di Surabaya, didirikanlah Nahdlatul Ulama (NU) oleh para ulama seperti K.H. Hasyim Asy'ari, K.H. Wahab Hasbullah, dan ulama-ulama lainnya. NU secara eksplisit menyatakan diri sebagai organisasi keagamaan yang berlandaskan Ahlussunnah wal Jama'ah, dengan rujukan:
- Akidah: Mengikuti mazhab Asy'ariyah dan Maturidiyah.
- Fikih: Mengikuti salah satu dari empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali), dengan mayoritas ulama dan umat NU di Indonesia mengikuti mazhab Syafi'i.
- Tasawuf: Mengikuti mazhab Imam Junaid Al-Baghdadi dan Imam Al-Ghazali.
NU bukan hanya menjaga tradisi keilmuan, tetapi juga aktif dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan bangsa. Dengan jutaan pengikutnya, NU menjadi salah satu organisasi Islam terbesar di dunia, dan perannya dalam menjaga Aswaja serta moderasi Islam di Indonesia sangatlah fundamental.
Konsep Islam Nusantara
Konsep Islam Nusantara adalah sebuah terminologi yang digunakan untuk menggambarkan corak Islam yang berkembang di kepulauan Nusantara, yang dicirikan oleh kemoderatan, toleransi, dan akomodasi terhadap budaya lokal, tanpa kehilangan esensi ajaran Islam. Islam Nusantara adalah manifestasi Aswaja dalam konteks keindonesiaan.
Karakteristik Islam Nusantara yang merupakan cerminan Aswaja antara lain:
- Toleransi (Tasamuh): Menghargai perbedaan pendapat dan keyakinan, baik antarumat Muslim maupun dengan penganut agama lain.
- Akomodatif terhadap Budaya Lokal: Menjalin hubungan harmonis antara agama dan budaya, menjadikan budaya sebagai media dakwah.
- Moderat (Tawasuth): Menjauhi sikap ekstremisme dan radikalisme dalam beragama.
- Keseimbangan (Tawazun): Menjaga keseimbangan antara urusan dunia dan akhirat, antara teks dan konteks, antara rasio dan wahyu.
- Cinta Tanah Air (Hubbul Wathan): Menganggap membela dan mencintai negara adalah bagian dari iman.
Dengan demikian, Aswaja di Nusantara tidak hanya sekadar doktrin teologis, tetapi juga merupakan cara hidup beragama yang membentuk identitas kebangsaan Indonesia yang majemuk dan harmonis. Ia menjadi penyeimbang terhadap berbagai ideologi transnasional yang cenderung menyeragamkan atau mengarah pada eksklusivitas.
Karakteristik Utama Ahlussunnah wal Jama'ah
Aswaja memiliki ciri khas yang membedakannya dari kelompok-kelompok lain dalam Islam. Karakteristik ini menjadi panduan dalam berpikir, bersikap, dan bertindak. Ada lima pilar utama karakteristik Aswaja yang sering disebut oleh para ulama NU:
1. Tawasuth (Moderat dan Jalan Tengah)
Tawasuth berarti mengambil jalan tengah, tidak ekstrem kanan dan tidak ekstrem kiri. Dalam konteks beragama, ini berarti menghindari sikap berlebihan (ghuluw) dalam ibadah atau pemikiran, serta menghindari sikap meremehkan (tafrith) terhadap ajaran agama. Aswaja berupaya untuk seimbang dalam segala aspek kehidupan.
- Dalam Akidah: Tawasuth berarti tidak jatuh pada liberalisme yang menafikan nash, juga tidak pada literalisme kaku yang mengabaikan konteks dan akal sehat.
- Dalam Fikih: Tawasuth berarti memahami adanya perbedaan pendapat (ikhtilaf) sebagai rahmat, tanpa memutlakkan satu pendapat dan menyalahkan yang lain.
- Dalam Sosial: Tawasuth berarti menjaga toleransi, tidak mudah menghakimi, dan tidak gampang mengkafirkan atau membid'ahkan sesama Muslim.
Sikap tawasuth ini adalah esensi dari Islam itu sendiri, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur'an (QS. Al-Baqarah: 143): "Dan demikianlah Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat pertengahan (wasathan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia..."
2. Tawazun (Keseimbangan)
Tawazun berarti menjaga keseimbangan dalam segala hal, baik dalam aspek individu maupun sosial. Keseimbangan antara akal dan nash, antara hak dan kewajiban, antara dunia dan akhirat, antara spiritual dan material.
- Keseimbangan Dalil: Menyeimbangkan antara dalil naqli (Al-Qur'an dan Sunnah) dengan dalil aqli (akal sehat dan logika), sehingga tidak terlalu terpaku pada teks tanpa mempertimbangkan konteks, atau terlalu mengandalkan akal hingga mengabaikan wahyu.
- Keseimbangan Hidup: Tidak hanya fokus pada ibadah ritual, tetapi juga memperhatikan urusan muamalah (sosial, ekonomi, politik) demi kemaslahatan umat. Mencari kebahagiaan dunia dan akhirat secara proporsional.
- Keseimbangan Antar Ilmu: Menghargai semua cabang ilmu Islam (fikih, hadis, tafsir, akidah, tasawuf) sebagai satu kesatuan yang saling melengkapi.
3. Tasāmuh (Toleransi)
Tasāmuh berarti sikap lapang dada, menghargai perbedaan, dan tidak memaksakan kehendak kepada orang lain. Toleransi adalah nilai fundamental dalam Islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Aswaja mempraktikkan tasamuh, baik dalam lingkup internal umat Islam (terhadap perbedaan mazhab atau ijtihad) maupun dalam lingkup eksternal (terhadap penganut agama lain).
- Internal Umat Islam: Menerima perbedaan pandangan dalam masalah furu'iyah (cabang) fikih, tidak gampang menuduh sesat atau bid'ah.
- Eksternal: Menghormati hak-hak non-Muslim, hidup berdampingan secara damai, dan bekerja sama dalam urusan kemanusiaan, sesuai dengan prinsip Lakum dinukum wa liya din (Bagimu agamamu, bagiku agamaku).
4. I'tidal (Tegak Lurus dan Adil)
I'tidal berarti bersikap tegak lurus, lurus dan adil, tidak berat sebelah, tidak memihak kecuali kepada kebenaran. Sikap ini menuntut objektivitas dalam menilai sesuatu, berani menegakkan keadilan meskipun terhadap diri sendiri atau orang terdekat.
- Keadilan dalam Hukum: Menegakkan hukum syariah dan hukum positif secara adil dan imparsial.
- Keadilan dalam Berpendapat: Menyampaikan pendapat dengan landasan dalil dan argumen yang kuat, tanpa tendensi pribadi atau golongan.
- Anti-kezaliman: Menentang segala bentuk penindasan, diskriminasi, dan kezaliman.
5. Amar Ma'ruf Nahi Munkar (Menyeru Kebaikan dan Mencegah Kemungkaran)
Amar ma'ruf nahi munkar adalah salah satu perintah dasar dalam Islam dan menjadi tugas setiap Muslim. Namun, dalam Aswaja, pelaksanaan perintah ini dilakukan dengan metode yang bijaksana dan bertahap, sesuai dengan tingkatan kemampuan dan kewenangan, serta mengedepankan prinsip hikmah (kebijaksanaan), mau'izhatul hasanah (nasihat yang baik), dan mujadalah billati hiya ahsan (berdebat dengan cara yang lebih baik).
- Tahapan Pelaksanaan: Dimulai dari hati (membenci kemungkaran), lisan (menasihati dengan baik), hingga tangan (mengubah dengan kekuasaan, jika memiliki otoritas dan dalam batas syariah).
- Prioritas: Mengutamakan kemaslahatan, menghindari timbulnya fitnah atau kemungkaran yang lebih besar.
- Kearifan: Tidak dilakukan dengan kekerasan, pemaksaan, atau perusakan, melainkan dengan cara-cara yang persuasif dan edukatif.
Kelima karakteristik ini merupakan pilar etika dan moral yang kuat dalam Aswaja, membentuk pribadi Muslim yang beriman, berakhlak mulia, toleran, adil, dan bertanggung jawab, serta menjadi agen perubahan yang positif di tengah masyarakat.
Relevansi Aswaja di Era Kontemporer
Dalam menghadapi berbagai tantangan zaman, dari globalisasi hingga krisis moral, dari radikalisme hingga sekularisme, ajaran Ahlussunnah wal Jama'ah tetap relevan dan bahkan semakin mendesak untuk diaktualisasikan. Aswaja menawarkan solusi yang proporsional dan bijaksana bagi umat Islam dan kemanusiaan secara keseluruhan.
1. Benteng Melawan Ekstremisme dan Radikalisme
Di era di mana ekstremisme dan radikalisme agama seringkali memunculkan kekerasan atas nama Islam, Aswaja berdiri tegak sebagai benteng utama. Dengan prinsip tawasuth (moderat) dan tasamuh (toleransi), Aswaja menolak segala bentuk pemahaman agama yang sempit, kekerasan, terorisme, dan pengkafiran (takfīr) terhadap sesama Muslim maupun non-Muslim yang tidak bersalah. Aswaja mengajarkan untuk memahami agama secara komprehensif, tidak parsial, dan dengan bulusan yang mendalam dari para ulama yang otoritatif.
Gerakan-gerakan radikal seringkali menolak tradisi, mazhab fikih, dan ajaran tasawuf, yang justru merupakan inti dari Aswaja. Dengan kembali pada Aswaja, umat Islam diajak untuk memahami agama secara utuh, menghargai keragaman, dan tidak mudah terprovokasi oleh narasi-narasi kebencian.
2. Menjaga Harmoni Sosial dan Pluralisme
Dunia modern dicirikan oleh keberagaman, baik agama, suku, ras, maupun budaya. Prinsip tasamuh dan i'tidal dalam Aswaja sangat relevan untuk menjaga harmoni sosial dalam masyarakat yang pluralistik. Aswaja mengajarkan untuk hidup berdampingan secara damai, menghormati keyakinan orang lain, dan membangun kerjasama dalam mencapai kemaslahatan umum, tanpa harus mengorbankan identitas keislaman.
Di Indonesia, misalnya, Aswaja melalui konsep Islam Nusantara telah membuktikan kemampuannya untuk berintegrasi dengan kebangsaan dan keberagaman, menjadikan Islam sebagai faktor perekat, bukan pemecah belah.
3. Respons Terhadap Tantangan Modernitas
Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan perubahan sosial yang cepat membawa tantangan baru bagi umat Islam. Aswaja, dengan pendekatan yang seimbang antara teks dan konteks, antara wahyu dan akal, memiliki kapasitas untuk merespons tantangan-tantangan ini.
- Ijtihad Kontemporer: Meskipun berpegang pada mazhab, Aswaja tidak berarti menutup pintu ijtihad. Para ulama Aswaja terus melakukan ijtihad kolektif (ijtihad jama'i) untuk menjawab persoalan-persoalan baru, seperti isu-isu bioetika, finansial modern, dan teknologi, dengan tetap berpegang pada kerangka ushul fikih yang telah mapan.
- Pendidikan: Aswaja menekankan pentingnya pendidikan yang holistik, memadukan ilmu agama dengan ilmu umum, untuk menghasilkan generasi Muslim yang cakap secara intelektual dan spiritual.
- Peran Perempuan: Aswaja menghargai peran perempuan dalam keluarga dan masyarakat, dengan tetap menjaga kehormatan dan syariat.
4. Penguatan Identitas Keislaman yang Kokoh
Di tengah berbagai ideologi dan gaya hidup yang saling bertarung, Aswaja menawarkan identitas keislaman yang kokoh, autentik, dan tidak mudah goyah. Dengan berpegang pada akidah Asy'ariyah/Maturidiyah, fikih empat mazhab, dan tasawuf sunni, seorang Muslim memiliki pijakan yang kuat untuk menjalankan agamanya dengan keyakinan yang mantap, amal yang benar, dan akhlak yang mulia.
Ini membantu umat Islam untuk tidak kehilangan arah dalam beragama, tidak terjerumus pada sinkretisme, tetapi juga tidak menjadi eksklusif dan tertutup dari dunia luar.
5. Menjaga Tradisi Keilmuan Islam
Aswaja adalah pewaris dan penjaga tradisi keilmuan Islam yang kaya. Dengan menekankan pentingnya sanad (rantai transmisi ilmu) yang bersambung kepada Nabi SAW, Aswaja memastikan bahwa ilmu-ilmu agama tetap otentik dan terpelihara dari distorsi. Ini mencakup tradisi hafalan Al-Qur'an, periwayatan hadis, studi fikih secara mendalam, dan pengkajian karya-karya ulama klasik.
Institusi pendidikan Islam tradisional seperti pesantren di Indonesia, madrasah di Timur Tengah, dan universitas Islam, berperan besar dalam melestarikan tradisi keilmuan Aswaja ini.
Singkatnya, Aswaja adalah model keberagamaan yang relevan dan esensial di era kontemporer. Ia menawarkan jalan moderasi, toleransi, dan kebijaksanaan yang mampu membimbing umat Islam melewati kompleksitas tantangan zaman, sekaligus menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Mispersepsi dan Klarifikasi tentang Aswaja
Meskipun mayoritas umat Islam di dunia, termasuk di Indonesia, menganut paham Ahlussunnah wal Jama'ah, masih seringkali muncul berbagai mispersepsi atau kesalahpahaman tentang Aswaja. Penting untuk mengklarifikasi beberapa di antaranya agar pemahaman yang benar dapat tersebar luas.
1. Aswaja Dianggap Mazhab atau Sekte Baru
Mispersepsi: Aswaja adalah mazhab kelima setelah empat mazhab fikih, atau sebuah sekte yang memecah belah umat.
Klarifikasi: Aswaja bukanlah mazhab atau sekte dalam pengertian sempit. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, Aswaja adalah manhaj (metodologi) atau cara beragama yang mengacu pada Sunnah Nabi dan jalan (jama'ah) para sahabat, serta konsensus ulama salaf. Empat mazhab fikih (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali) dan dua mazhab akidah (Asy'ariyah dan Maturidiyah) adalah bagian integral dari manifestasi Aswaja dalam praktik dan pemikiran keagamaan.
Justru, Aswaja adalah identitas yang menyatukan mayoritas umat Islam di dunia yang berpegang pada tradisi keilmuan yang sahih, sebagai antitesis terhadap kelompok-kelompok ekstrem atau menyimpang.
2. Aswaja Dianggap Anti-Inovasi dan Statis
Mispersepsi: Aswaja hanya berpegang pada tradisi masa lalu dan menolak inovasi (bid'ah), sehingga tidak relevan dengan perkembangan zaman.
Klarifikasi: Aswaja memang sangat menjunjung tinggi tradisi keilmuan (turats) dan berhati-hati terhadap bid'ah yang menyesatkan. Namun, ini tidak berarti Aswaja statis atau anti-inovasi. Aswaja membedakan antara bid'ah yang sesat (bid'ah sayyi'ah) yang bertentangan dengan syariat, dan bid'ah hasanah (inovasi yang baik) yang sejalan dengan tujuan syariat dan membawa kemaslahatan, serta tidak ada nash yang melarangnya.
Dalam fikih, Aswaja terus melakukan ijtihad kolektif untuk menjawab persoalan-persoalan kontemporer. Dalam aspek sosial dan dakwah, Aswaja justru dikenal adaptif dan mampu mengemas ajaran Islam dengan cara yang relevan, seperti yang dilakukan Wali Songo dan ulama-ulama Aswaja di berbagai belahan dunia.
3. Aswaja Dianggap Taklid Buta
Mispersepsi: Berpegang pada mazhab fikih berarti taklid buta dan menghambat akal.
Klarifikasi: Konsep bermazhab dalam Aswaja bukanlah taklid buta tanpa dasar. Bagi seorang Muslim awam, mengikuti mazhab adalah sebuah keniscayaan karena mereka tidak memiliki kapasitas untuk melakukan ijtihad. Namun, bagi ulama yang mumpuni, bermazhab adalah kerangka metodologis yang kokoh untuk melakukan ijtihad, dengan tetap mengacu pada sumber-sumber utama dan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan.
Ini adalah bentuk penghormatan terhadap otoritas keilmuan dan mencegah kekacauan dalam pemahaman dan praktik hukum Islam. Bahkan para imam mazhab sendiri melarang murid-muridnya untuk taklid buta kepada mereka jika telah menemukan dalil yang lebih kuat.
4. Aswaja Dianggap Eksklusif dan Fanatik
Mispersepsi: Aswaja menganggap diri paling benar dan memusuhi kelompok lain.
Klarifikasi: Salah satu karakteristik utama Aswaja adalah tasamuh (toleransi) dan tawasuth (moderat). Aswaja mengajarkan untuk menghargai perbedaan pendapat dalam masalah furu'iyah (cabang) dan hidup berdampingan secara damai dengan penganut agama lain. Meskipun meyakini kebenaran ajaran mereka, Aswaja tidak pernah menganjurkan kekerasan, pemaksaan kehendak, atau pengkafiran sembarangan.
Sikap eksklusif dan fanatik justru bertentangan dengan nilai-nilai luhur Aswaja yang menekankan persatuan (jama'ah) dan kasih sayang (rahmatan lil alamin).
5. Aswaja Dianggap Hanya Fokus Pada Ritual dan Melupakan Sosial
Mispersepsi: Aswaja terlalu fokus pada ritual-ritual ibadah dan kurang peduli terhadap isu-isu sosial, ekonomi, atau politik.
Klarifikasi: Ini adalah mispersepsi yang jauh dari kebenaran. Sejarah membuktikan bahwa ulama dan organisasi Aswaja, seperti Nahdlatul Ulama di Indonesia, memiliki peran yang sangat besar dalam perjuangan kemerdekaan, pembangunan bangsa, pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan umat.
Prinsip tawazun (keseimbangan) dalam Aswaja mengajarkan untuk tidak hanya mementingkan urusan akhirat tetapi juga urusan dunia, tidak hanya ibadah ritual tetapi juga muamalah sosial. Konsep amar ma'ruf nahi munkar juga mendorong umat Aswaja untuk aktif berkontribusi dalam menciptakan masyarakat yang adil dan makmur.
Dengan mengklarifikasi mispersepsi-mispersepsi ini, diharapkan masyarakat dapat memahami Aswaja secara lebih objektif dan utuh, sebagai sebuah jalan moderasi, toleransi, dan kearifan dalam berislam.
Kesimpulan: Aswaja sebagai Pilar Islam Rahmatan lil 'Alamin
Setelah menelusuri secara mendalam berbagai aspek Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja), mulai dari definisi, akar sejarah, pilar-pilar akidah, syariah, akhlak, hingga relevansinya di Nusantara dan di era kontemporer, dapat kita simpulkan bahwa Aswaja adalah sebuah manhaj keberagamaan yang komprehensif, moderat, dan inklusif.
Aswaja bukanlah sekadar klaim identitas, melainkan sebuah kerangka pemikiran dan praktik yang berakar kuat pada Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW, serta diwariskan melalui sanad keilmuan yang autentik oleh para ulama salafus shalih. Ia hadir sebagai jalan tengah yang menjaga umat dari ekstremisme rasionalisme tanpa nash dan literalisme kaku yang mengabaikan konteks.
Pilar akidah Asy'ariyah dan Maturidiyah menjaga keyakinan umat dari tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk) dan ta'thil (penolakan sifat-sifat Allah). Empat mazhab fikih (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali) memberikan panduan praktis yang kaya dan fleksibel dalam beribadah dan bermuamalah. Sementara itu, tasawuf sunni yang dipelopori Imam Junaid Al-Baghdadi dan Imam Al-Ghazali menyempurnakan dimensi spiritual, mengajak pada penyucian jiwa dan pencapaian derajat ihsan, tanpa melupakan syariat.
Di Indonesia, Aswaja teraktualisasi dalam konsep Islam Nusantara yang menonjolkan nilai-nilai toleransi, kearifan lokal, dan semangat kebangsaan. Organisasi seperti Nahdlatul Ulama menjadi garda terdepan dalam menjaga dan menyebarkan ajaran Aswaja, membuktikan bahwa Islam dapat hidup berdampingan secara harmonis dengan budaya dan kemajemukan.
Karakteristik tawasuth (moderat), tawazun (keseimbangan), tasamuh (toleransi), i'tidal (adil), dan amar ma'ruf nahi munkar (menyeru kebaikan dan mencegah kemungkaran dengan bijaksana) menjadikan Aswaja sebagai solusi relevan di tengah tantangan global. Ia adalah benteng melawan radikalisme, perekat persatuan di masyarakat plural, dan sumber inspirasi untuk berkontribusi positif bagi peradaban.
Memahami dan mengamalkan Aswaja berarti memilih jalan Islam yang seimbang, penuh kasih sayang, berilmu, dan berakhlak mulia. Ini adalah jalan yang mengembalikan Islam pada esensinya sebagai rahmatan lil alamin, rahmat bagi semesta alam, yang membawa kedamaian dan kemaslahatan bagi seluruh umat manusia.
Semoga artikel ini dapat memberikan pemahaman yang komprehensif dan mencerahkan tentang Ahlussunnah wal Jama'ah, serta menginspirasi kita semua untuk menjadi pribadi yang lebih baik sesuai tuntunan Islam yang moderat.