Hari Asyura, yang jatuh pada tanggal sepuluh bulan Muharram dalam kalender Hijriah, adalah salah satu hari yang paling signifikan dan penuh makna dalam tradisi Islam. Kesejarahannya yang kaya dan beragam interpretasinya menjadikannya titik fokus bagi jutaan Muslim di seluruh dunia, meskipun dengan cara yang berbeda-beda. Bagi sebagian besar umat Muslim Sunni, Asyura dikenal sebagai hari di mana Nabi Musa AS dan kaumnya diselamatkan dari kekejaman Firaun, menjadikannya hari syukur yang dianjurkan untuk berpuasa. Sementara itu, bagi umat Muslim Syiah, Asyura adalah hari berkabung yang mendalam, memperingati kesyahidan cucu Nabi Muhammad SAW, Imam Husain bin Ali, di padang Karbala.
Perbedaan penekanan ini tidak mengurangi pentingnya hari Asyura sebagai pengingat akan peristiwa-peristiwa penting yang membentuk sejarah dan spiritualitas Islam. Lebih dari sekadar tanggal di kalender, Asyura adalah cermin bagi nilai-nilai universal seperti keadilan, pengorbanan, kesabaran, dan keteguhan iman. Artikel ini akan mengupas tuntas berbagai dimensi hari Asyura, menelusuri akar sejarahnya, memahami beragam interpretasi dan amalannya, serta menggali hikmah dan pelajaran abadi yang terkandung di dalamnya.
Dalam tradisi Sunni, Asyura adalah hari yang istimewa karena dikaitkan dengan beberapa peristiwa penting, yang paling utama adalah penyelamatan Nabi Musa AS dan Bani Israil dari tirani Firaun. Puasa pada hari ini sangat dianjurkan sebagai bentuk syukur kepada Allah SWT.
Sejarah Asyura dalam tradisi Sunni berpusat pada kisah Nabi Musa AS dan Firaun. Ketika Nabi Muhammad SAW tiba di Madinah setelah hijrah, beliau mendapati kaum Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Saat ditanya alasannya, mereka menjawab:
"Hari ini adalah hari yang agung. Pada hari ini Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya, menenggelamkan Firaun dan kaumnya. Maka, Musa berpuasa pada hari ini sebagai bentuk syukur, dan kami pun berpuasa."
Mendengar ini, Nabi Muhammad SAW bersabda, "Kami lebih berhak atas Musa daripada kalian." Kemudian beliau pun berpuasa pada hari itu dan memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa.
Kisah ini menggambarkan pertarungan abadi antara kebenaran dan kebatilan, keadilan dan kezaliman. Firaun yang angkuh dan zalim mengklaim dirinya sebagai tuhan dan menindas Bani Israil. Allah SWT mengutus Nabi Musa dengan mukjizat-mukjizat untuk membebaskan kaumnya. Puncaknya adalah ketika Firaun dan pasukannya mengejar Nabi Musa dan Bani Israil hingga ke Laut Merah. Atas perintah Allah, Nabi Musa memukulkan tongkatnya ke laut, yang kemudian terbelah menjadi dua, membentuk jalan bagi mereka untuk menyeberang. Ketika Firaun dan pasukannya mencoba mengikuti, laut kembali menyatu dan menenggelamkan mereka semua. Peristiwa luar biasa ini adalah manifestasi kekuasaan Allah dan janji-Nya untuk melindungi orang-orang yang beriman.
Kisah penyelamatan ini dimulai dari penindasan Firaun terhadap Bani Israil di Mesir. Firaun, yang merasa kekuasaannya terancam oleh ramalan tentang seorang anak laki-laki dari Bani Israil yang akan menggulingkannya, memerintahkan pembunuhan semua bayi laki-laki Bani Israil. Namun, Musa diselamatkan dan dibesarkan di istana Firaun sendiri.
Ketika Musa dewasa, ia dipanggil oleh Allah SWT menjadi seorang nabi. Ia diperintahkan untuk mengajak Firaun menyembah Allah dan membebaskan Bani Israil. Firaun menolak dengan angkuh, bahkan menuduh Musa sebagai penyihir. Serangkaian mukjizat dan bencana alam menimpa Mesir sebagai peringatan, namun Firaun tetap membangkang.
Akhirnya, Allah memerintahkan Musa untuk membawa Bani Israil keluar dari Mesir. Mereka berangkat di malam hari, namun Firaun dan pasukannya mengejar mereka dengan niat memusnahkan. Saat mereka sampai di tepi Laut Merah, dengan pasukan Firaun di belakang dan lautan di depan, Bani Israil merasa putus asa. Namun, Musa dengan keyakinan penuh kepada Allah, memukulkan tongkatnya ke laut. Mukjizat pun terjadi: laut terbelah, membentuk jalan kering di antara air yang menjulang tinggi di kedua sisi.
Bani Israil berhasil menyeberang. Ketika Firaun dan pasukannya memasuki jalan yang sama, Allah memerintahkan laut untuk kembali seperti semula, menenggelamkan Firaun dan seluruh bala tentaranya. Kemenangan ini bukan hanya kemenangan fisik, tetapi juga kemenangan keimanan atas kesombongan dan kekafiran.
Dalam Islam Sunni, puasa pada hari Asyura memiliki keutamaan yang besar. Nabi Muhammad SAW bersabda:
"Puasa hari Asyura, aku berharap kepada Allah, dapat menghapus dosa-dosa setahun yang lalu." (HR. Muslim)
Hadits ini menunjukkan betapa besar pahala puasa Asyura. Namun, Nabi Muhammad SAW juga menganjurkan untuk berpuasa pada hari Tasu'a (hari kesembilan Muharram) bersamaan dengan Asyura. Ini untuk membedakan puasa umat Muslim dengan puasa yang dilakukan oleh kaum Yahudi. Nabi bersabda:
"Jika aku hidup sampai tahun depan, sungguh aku akan berpuasa pada hari kesembilan (Tasu'a)." (HR. Muslim)
Meskipun Nabi Muhammad SAW wafat sebelum mencapai tahun berikutnya, anjuran beliau untuk berpuasa pada Tasu'a menjadi sunnah bagi umat Islam. Oleh karena itu, disunnahkan untuk berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram. Jika tidak memungkinkan, berpuasa pada tanggal 10 Muharram saja tetap diperbolehkan dan memiliki keutamaan.
Niat puasa Asyura, seperti puasa sunnah lainnya, dapat dilakukan pada malam hari sebelum fajar atau bahkan di pagi hari sebelum tergelincir matahari, asalkan belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa. Lafaz niat bisa dalam hati, seperti "Saya niat puasa sunnah Asyura karena Allah Ta'ala." Pelaksanaan puasanya sama dengan puasa lainnya, yaitu menahan diri dari makan, minum, dan hal-hal yang membatalkan puasa dari terbit fajar hingga terbenam matahari.
Selain kisah Nabi Musa, beberapa riwayat juga menyebutkan peristiwa lain yang terjadi pada hari Asyura, meskipun tidak sekuat riwayat tentang Musa:
Namun, para ulama menegaskan bahwa riwayat-riwayat ini tidak memiliki dasar yang kuat dan sahih seperti riwayat tentang Nabi Musa. Oleh karena itu, fokus utama keutamaan Asyura dalam tradisi Sunni tetap pada puasa sebagai bentuk syukur atas penyelamatan Nabi Musa.
Puasa Asyura bagi umat Sunni bukan hanya sekadar ritual, melainkan juga mengandung makna spiritual yang mendalam. Ini adalah pengingat akan:
Dengan demikian, Asyura dalam tradisi Sunni adalah hari untuk merayakan kemenangan kebenaran, untuk bersyukur, dan untuk merenungkan kekuatan iman serta keadilan Tuhan.
Berbeda dengan Sunni, bagi umat Muslim Syiah, hari Asyura adalah hari yang diliputi kesedihan, duka cita, dan berkabung. Ini adalah peringatan kesyahidan Imam Husain bin Ali, cucu Nabi Muhammad SAW, beserta keluarganya dan para pengikutnya di padang Karbala pada tanggal 10 Muharram 61 Hijriah (680 Masehi).
Tragedi Karbala adalah salah satu peristiwa paling berdarah dan paling berpengaruh dalam sejarah Islam, khususnya bagi umat Syiah. Latar belakangnya adalah perebutan kekuasaan setelah wafatnya Muawiyah bin Abi Sufyan. Yazid bin Muawiyah, putranya, mengambil alih kekhalifahan dan menuntut bai'at dari seluruh Muslim. Imam Husain bin Ali, sebagai pewaris sah kepemimpinan spiritual dan politik dari garis Nabi Muhammad SAW menurut Syiah, menolak untuk memberikan bai'at kepada Yazid yang dikenal zalim, fasik, dan tidak bermoral.
Imam Husain berpendapat bahwa memberikan bai'at kepada penguasa seperti Yazid akan melegitimasi kezaliman dan merusak ajaran Islam. Beliau memutuskan untuk melakukan perjalanan dari Madinah menuju Kufah, Irak, setelah menerima banyak surat dukungan dari penduduk Kufah yang berjanji akan mendukungnya sebagai pemimpin. Namun, janji-janji itu berkhianat. Ketika Imam Husain dan rombongannya yang terdiri dari sekitar 72 orang (termasuk anggota keluarga dan sahabat) tiba di Karbala, mereka dihadang oleh pasukan Yazid yang jauh lebih besar, di bawah komando Umar bin Sa'ad.
Pasukan Yazid memblokir akses rombongan Imam Husain ke air Sungai Eufrat selama beberapa hari di tengah padang pasir yang tandus. Kondisi ini menyebabkan kelaparan dan kehausan yang ekstrem di antara rombongan, termasuk anak-anak dan bayi. Meskipun dihadapkan pada pilihan untuk menyerah dan berbai'at kepada Yazid, Imam Husain menolak. Beliau memilih untuk mempertahankan prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan, bahkan dengan mengorbankan nyawa.
Pada tanggal 10 Muharram, pertempuran yang tidak seimbang pun pecah. Satu per satu, para sahabat dan anggota keluarga Imam Husain gugur sebagai syuhada, mempertahankan pemimpin mereka. Puncaknya, Imam Husain sendiri bertempur dengan gagah berani hingga akhirnya syahid, dipenggal kepalanya, dan tubuhnya diinjak-injak kuda. Anak-anak dan wanita yang tersisa ditawan dan dibawa ke Damaskus, ibu kota Yazid, dalam perjalanan yang penuh penderitaan.
Imam Husain adalah sosok yang sangat dihormati oleh semua Muslim. Beliau adalah cucu kesayangan Nabi Muhammad SAW, yang sering disebut sebagai "penghulu pemuda surga." Pengorbanannya di Karbala bukan sekadar perlawanan politik, melainkan perjuangan prinsip demi menjaga kemurnian Islam dari penyimpangan dan kezaliman. Beliau berjuang untuk menegakkan keadilan, kebenaran, dan nilai-nilai moral yang diajarkan oleh kakeknya.
Pengorbanan Imam Husain dan para syuhada Karbala menunjukkan puncak keberanian, kesetiaan, dan pengabdian kepada Allah SWT dan nilai-nilai Islam. Mereka rela mengorbankan segalanya, termasuk nyawa, demi prinsip yang benar. Peristiwa ini menjadi simbol abadi perlawanan terhadap kezaliman dan tirani, serta pengingat akan pentingnya berdiri teguh di jalan kebenaran.
Bagi Syiah, Asyura adalah waktu berkabung yang intens. Peringatan dimulai sejak hari pertama Muharram dan mencapai puncaknya pada hari Asyura (10 Muharram) dan hari setelahnya (Syiria, 11 Muharram), yang menandai keberangkatan para tawanan ke Damaskus. Ritual ini tidak hanya bersifat internal, tetapi juga sering kali menjadi manifestasi publik dari kesedihan dan duka cita.
Salah satu bentuk peringatan utama adalah Majelis Duka atau Majalis-e Aza. Ini adalah pertemuan di mana para ulama atau penceramah (disebut 'Zakireen') menceritakan kembali kisah Karbala, merenungkan pengorbanan Imam Husain, dan menguraikan pelajaran moral serta spiritual dari peristiwa tersebut. Para hadirin mendengarkan dengan penuh perhatian, seringkali menangis dan menunjukkan kesedihan yang mendalam. Majelis ini juga mencakup pembacaan puisi-puisi duka (marsiyah dan nauha) yang menggambarkan penderitaan para Ahlul Bait.
Selain majelis, seringkali juga diadakan prosesi di jalan-jalan (disebut 'Matam' atau 'Juloos'). Dalam prosesi ini, para peserta memukul dada mereka secara ritmis sebagai simbol duka cita dan penyesalan atas ketidakmampuan mereka untuk membantu Imam Husain. Beberapa kelompok melakukan 'Tatbir' atau 'Zanjir Zani', yaitu memukul kepala atau punggung dengan pedang atau rantai kecil sebagai bentuk pengorbanan diri dan solidaritas dengan penderitaan Imam Husain. Meskipun praktik Tatbir ini kontroversial dan dilarang oleh banyak ulama Syiah modern karena dianggap merusak citra Islam dan dapat membahayakan diri sendiri, ia masih dilakukan oleh sebagian kecil kelompok di beberapa wilayah.
Banyak pula yang melakukan kegiatan sosial seperti memberi makan orang miskin (Niaz) dan menyumbangkan darah secara sukarela, menafsirkan darah yang diberikan sebagai solidaritas dengan darah syuhada Karbala.
Pandangan Syiah tentang puasa pada hari Asyura berbeda dengan Sunni. Mayoritas ulama Syiah tidak menganjurkan puasa pada hari Asyura sebagai bentuk perayaan atau syukur, karena hari tersebut adalah hari kesedihan dan duka. Beberapa ulama menganggap puasa pada hari ini sebagai tindakan yang tidak pantas. Namun, sebagian kecil mungkin melakukan puasa simbolis, yaitu menahan diri dari makan dan minum hingga sore hari (misalnya, menjelang salat Ashar) sebagai bentuk solidaritas dengan kehausan Imam Husain dan kemudian berbuka dengan air untuk mengenang dahaga para syuhada.
Peristiwa Karbala bukan sekadar catatan sejarah, tetapi juga sebuah filosofi yang mendalam dan sumber inspirasi bagi umat Syiah. Pesan-pesan utamanya meliputi:
Asyura menjadi identitas sentral bagi Syiah, membentuk spiritualitas, etika, dan pandangan dunia mereka tentang keadilan, perjuangan, dan pengorbanan.
Peringatan Asyura bukan hanya ritual, melainkan pilar utama dalam pembentukan identitas Syiah. Setiap tahun, peringatan ini membangkitkan kembali ingatan kolektif akan penderitaan dan pengorbanan Ahlul Bait, memperkuat ikatan emosional dan spiritual dengan Imam Husain. Melalui Asyura, nilai-nilai seperti keteguhan dalam iman, perlawanan terhadap penindasan, dan kesetiaan kepada kebenaran diwariskan dari generasi ke generasi. Ini juga menjadi ajang untuk menegaskan perbedaan fundamental antara visi kepemimpinan Islam menurut Syiah (yaitu kepemimpinan yang berasal dari garis keturunan Nabi dan memiliki otoritas spiritual) dengan visi kepemimpinan lainnya yang lebih menekankan pada konsensus atau kekuasaan.
Kisah Karbala menginspirasi banyak gerakan perlawanan dan revolusi sepanjang sejarah, menjadi simbol bagi mereka yang berjuang melawan ketidakadilan dan tirani di seluruh dunia. Duka Asyura bukanlah duka pasif, melainkan duka yang memotivasi untuk bertindak dan menegakkan keadilan.
Perbedaan dalam penekanan dan amalan Asyura antara Sunni dan Syiah seringkali menjadi subjek diskusi dan terkadang ketegangan. Namun, penting untuk memahami akar perbedaan tersebut dan mencari titik temu yang mungkin ada.
Perbedaan utama terletak pada fokus peristiwa. Sunni merayakan kemenangan kebenaran Nabi Musa melalui puasa syukur, sementara Syiah memperingati tragedi kesyahidan cucu Nabi Muhammad melalui berkabung. Kedua tradisi ini, pada intinya, merespons peristiwa kesusahan besar dan manifestasi keadilan atau kehendak ilahi. Dalam satu kasus, itu adalah penyelamatan dari penindas; di kasus lain, itu adalah pengorbanan melawan penindas.
Menariknya, sebelum peristiwa Karbala, puasa Asyura juga dilakukan oleh beberapa sahabat Nabi Muhammad SAW dan kaum Muslim secara umum, sebagai bentuk penghormatan terhadap Nabi Musa dan tradisi Nabi. Setelah tragedi Karbala, ulama Syiah menganggap bahwa kesedihan atas syahidnya Imam Husain harus menjadi prioritas, sehingga puasa syukur menjadi tidak relevan atau bahkan tidak pantas dilakukan pada hari itu.
Di luar perbedaan teologis Sunni-Syiah, ada juga keragaman budaya dalam bagaimana Asyura diperingati di berbagai belahan dunia Muslim. Di Indonesia, misalnya, Asyura sering dirayakan dengan membuat "Bubur Asyura" dan membagikannya kepada tetangga dan fakir miskin. Ini adalah tradisi yang berakar pada anjuran untuk bersedekah dan beramal pada hari Asyura, yang banyak ditemukan dalam hadits dhaif (lemah) namun populer di masyarakat sebagai bentuk kebaikan.
Di beberapa negara, seperti Pakistan, India, dan sebagian Afrika, ada komunitas Sunni yang juga merayakan Asyura dengan puasa, doa, dan sedekah, namun tanpa intensitas duka seperti Syiah. Di negara-negara dengan mayoritas Syiah seperti Iran, Irak, dan Lebanon, Asyura adalah hari libur nasional yang ditandai dengan prosesi besar-besaran, pertunjukan Passion Play (Ta'ziyah) yang memerankan kembali peristiwa Karbala, dan kegiatan amal.
Meskipun ada perbedaan dalam praktik, ada pelajaran universal yang dapat diambil oleh semua Muslim dari hari Asyura:
Dengan memahami perbedaan dan menemukan titik temu, umat Muslim dapat menghargai kekayaan tradisi Islam dan belajar untuk hidup berdampingan dengan saling menghormati.
Pentingnya Asyura dalam Islam sangat didasari oleh berbagai hadits dari Nabi Muhammad SAW. Hadits-hadits ini menjadi rujukan utama bagi umat Muslim untuk memahami keutamaan dan anjuran terkait hari ini.
Beberapa hadits sahih menjelaskan tentang anjuran puasa Asyura:
Ada beberapa hadits dhaif (lemah) atau bahkan maudhu' (palsu) yang banyak beredar di masyarakat mengenai keutamaan Asyura, seperti hadits tentang mandi pada hari Asyura dapat mencegah penyakit, atau memakai celak pada hari itu dapat memperkuat mata, atau mengelus kepala anak yatim dapat mendatangkan pahala tertentu. Para ulama hadits telah menegaskan bahwa riwayat-riwayat semacam ini tidak memiliki dasar yang kuat dan tidak dapat dijadikan sandaran hukum atau amalan.
Penting bagi umat Muslim untuk berhati-hati dalam menerima informasi tentang keutamaan suatu amalan dan selalu merujuk pada hadits-hadits sahih yang telah terverifikasi oleh para ahli hadits. Fokus pada puasa Tasu'a dan Asyura, serta amal kebaikan umum seperti sedekah, adalah amalan yang lebih pasti dan berlandaskan pada dalil yang kuat.
Hari Asyura, dengan sejarahnya yang kaya, telah melahirkan beragam praktik dan tradisi di berbagai komunitas Muslim di seluruh dunia, tidak hanya terbatas pada perbedaan Sunni-Syiah. Tradisi-tradisi ini seringkali mencerminkan adaptasi budaya lokal dan interpretasi masyarakat terhadap makna hari tersebut.
Di Indonesia, khususnya di beberapa daerah di Sumatra, Jawa, dan Kalimantan, Asyura dikenal dengan tradisi membuat "Bubur Asyura". Bubur ini biasanya terbuat dari berbagai jenis biji-bijian, sayuran, dan rempah-rempah yang dimasak bersama-sama, kemudian dibagikan kepada tetangga, fakir miskin, dan kerabat. Tradisi ini umumnya dilakukan oleh masyarakat Muslim Sunni dan diyakini membawa berkah, keberkahan, serta sebagai bentuk syukur.
Filosofi di balik Bubur Asyura ini beragam. Ada yang mengaitkannya dengan kisah Nabi Nuh AS yang membuat hidangan dari sisa-sisa bekal setelah banjir besar surut. Ada pula yang menafsirkannya sebagai simbol persatuan dan kebersamaan, di mana berbagai bahan yang berbeda menyatu menjadi hidangan yang lezat. Tradisi ini juga menjadi sarana untuk mempererat silaturahmi dan menumbuhkan rasa kepedulian sosial, sejalan dengan anjuran bersedekah pada hari Asyura.
Di Malaysia, Singapura, dan Thailand bagian selatan, tradisi serupa juga ditemukan dengan sebutan yang sama atau variasi lokalnya. Ini menunjukkan bagaimana nilai-nilai keagamaan dapat berinteraksi dengan budaya lokal untuk menciptakan tradisi yang unik dan bermakna.
Beragam tradisi ini menunjukkan bahwa meskipun ada perbedaan teologis, hari Asyura secara universal diakui sebagai hari yang memiliki signifikansi spiritual dan sosial. Baik melalui puasa, sedekah, hidangan khusus, atau berkabung, umat Muslim di seluruh dunia berusaha untuk mengambil pelajaran dari sejarah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Karena kaya akan sejarah dan beragam interpretasi, hari Asyura tidak luput dari kesalahpahaman, mitos, dan praktik yang mungkin tidak sesuai dengan ajaran Islam yang murni. Penting untuk mengklarifikasi hal-hal ini agar umat Muslim dapat merayakan atau memperingati Asyura dengan benar.
Beberapa mitos dan bidaah (inovasi dalam agama yang tidak memiliki dasar dalam Al-Qur'an dan Sunnah) yang sering dikaitkan dengan Asyura meliputi:
Para ulama salaf dan khalaf telah sepakat bahwa praktik-praktik ini tidak diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Sunnah yang sahih adalah kunci untuk menghindari bidaah dan kesalahpahaman.
Dalam menghadapi perbedaan interpretasi dan praktik, pendekatan moderat sangat dianjurkan. Ini berarti:
Asyura harus menjadi momen untuk persatuan umat dalam merenungkan pelajaran sejarah, bukan menjadi sumber perpecahan atau konflik.
Terlepas dari perbedaan interpretasi dan praktik, Asyura mengandung hikmah dan pelajaran yang bersifat universal dan abadi bagi seluruh umat manusia, khususnya umat Muslim.
Asyura adalah bukti bagaimana sejarah memiliki tempat sentral dalam ajaran Islam. Kisah para nabi dan peristiwa penting di masa lalu bukan sekadar cerita, melainkan sumber pelajaran, motivasi, dan panduan moral. Merenungkan peristiwa Asyura, baik penyelamatan Nabi Musa maupun tragedi Karbala, adalah cara untuk menghubungkan diri dengan warisan kenabian dan memahami dinamika kebaikan dan keburukan dalam sejarah manusia. Ini membantu umat Muslim untuk memahami identitas mereka dan tujuan hidup mereka di dunia.
Asyura mengajarkan banyak nilai universal:
Di dunia modern yang penuh tantangan, pesan Asyura tetap sangat relevan. Di tengah konflik, ketidakadilan, dan krisis moral, Asyura mengingatkan umat Muslim akan:
Asyura adalah hari yang mengajak kita untuk merenungkan makna keberadaan, tujuan hidup, dan bagaimana kita dapat menjadi agen perubahan positif di dunia ini, sesuai dengan ajaran Islam. Ia adalah cermin yang memantulkan kembali esensi keimanan, keberanian, dan pengorbanan.
Hari Asyura, dengan segala kerumitan sejarah dan keragaman interpretasinya, tetap merupakan salah satu hari terpenting dalam kalender Islam. Bagi sebagian Muslim, ia adalah hari syukur atas penyelamatan ilahi yang agung. Bagi sebagian lainnya, ia adalah hari duka cita mendalam atas pengorbanan heroik yang tak terlukiskan. Kedua perspektif ini, meskipun berbeda dalam fokus emosional dan ritual, pada intinya sama-sama mengajak umat Muslim untuk merenungkan kebesaran Allah, pentingnya keadilan, kekuatan iman, dan makna pengorbanan.
Melalui puasa, doa, sedekah, atau melalui majelis duka dan prosesi, umat Muslim di seluruh dunia berupaya mengambil pelajaran dari peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tanggal sepuluh Muharram. Ini adalah kesempatan untuk introspeksi, untuk memperbarui komitmen terhadap nilai-nilai Islam, dan untuk menginspirasi diri agar menjadi pribadi yang lebih baik—berani dalam menghadapi kezaliman, sabar dalam kesulitan, bersyukur dalam kelapangan, dan senantiasa mencintai kebaikan.
Semoga semangat Asyura dapat terus menyatukan hati umat Muslim dalam mengejar kebenaran, keadilan, dan kedamaian, serta menjadi pengingat abadi akan kekuatan iman dan pengorbanan demi tegaknya nilai-nilai luhur agama ini.