Indonesia, dengan kekayaan budayanya yang melimpah ruah, memiliki segudang warisan seni yang tak ternilai harganya. Salah satu mutiara budaya yang paling bersinar terang, khususnya di tanah Jawa, adalah tembang macapat. Tembang macapat adalah puisi tradisional Jawa yang terikat oleh aturan-aturan tertentu yang dikenal sebagai ‘paugeran’. Di antara sebelas jenis tembang macapat yang ada, Asmarandana menonjol dengan keunikan dan kedalaman maknanya, seringkali menjadi representasi utama dari perasaan cinta, kasih sayang, kerinduan, bahkan duka yang mendalam.
Nama "Asmarandana" sendiri sudah mengandung esensi dari maknanya. Berasal dari kata "asmara" yang berarti cinta atau nafsu, dan "dana" yang bisa diartikan sebagai "pemberian", "pemberian cinta", atau "benih cinta". Secara filosofis, Asmarandana tidak hanya merujuk pada cinta romantis antara dua insan, tetapi juga cinta yang lebih luas: cinta kepada sesama, cinta kepada alam, cinta kepada Tuhan, hingga cinta pada kebijaksanaan dan kebenaran. Tembang ini menjadi wadah ekspresi yang kaya akan emosi dan refleksi batin, menyuarakan gejolak hati manusia dalam berbagai situasi.
Sejarah dan Asal-usul Asmarandana
Sejarah tembang macapat, termasuk Asmarandana, tidak dapat dilepaskan dari perkembangan sastra dan kebudayaan Jawa sejak zaman Mataram Kuno hingga era modern. Macapat diyakini telah muncul dan berkembang pesat pada masa kerajaan Majapahit dan kemudian mencapai puncak kejayaannya pada masa Kesultanan Mataram Islam, terutama pada abad ke-16 hingga ke-19.
Para pujangga keraton pada masa itu menggunakan macapat sebagai media untuk menyampaikan ajaran moral, etika, filsafat, sejarah, bahkan kritik sosial secara halus namun mendalam. Asmarandana, dengan karakteristiknya yang lembut dan melankolis, seringkali dipilih untuk mengekspresikan cerita-cerita percintaan, nasihat-nasihat tentang hubungan antarmanusia, dan refleksi spiritual tentang cinta ilahi.
Beberapa naskah kuno yang masih dapat kita temukan hingga kini, seperti Serat Centhini, Serat Wedhatama, dan Serat Wulangreh, memuat banyak sekali tembang Asmarandana. Dalam karya-karya ini, Asmarandana tidak hanya berfungsi sebagai pelengkap keindahan sastra, tetapi juga sebagai tulang punggung narasi yang membawa pembaca atau pendengar untuk menyelami emosi dan pelajaran yang terkandung di dalamnya. Keberadaannya dalam khazanah sastra Jawa membuktikan relevansi dan kekuatan ekspresif tembang ini dari masa ke masa.
Peran Asmarandana dalam penyebaran agama Islam di Jawa juga patut dicatat. Para Wali Songo dan ulama penerusnya sering menggunakan medium kesenian, termasuk tembang macapat, untuk mendekatkan ajaran Islam kepada masyarakat. Melalui melodi yang indah dan lirik yang sarat makna, ajaran tauhid dan etika keislaman dapat diterima dengan lebih mudah oleh hati masyarakat Jawa yang saat itu masih kental dengan tradisi Hindu-Buddha. Asmarandana, dengan nuansa kasih sayang dan kerinduan, sangat cocok untuk menyampaikan konsep cinta kepada Tuhan (mahabbah) dan kerinduan akan kebenaran.
Paugeran Asmarandana: Struktur dan Aturan
Setiap tembang macapat terikat oleh ‘paugeran’ atau aturan-aturan baku yang terdiri dari tiga elemen utama: guru gatra, guru wilangan, dan guru lagu. Memahami paugeran ini adalah kunci untuk dapat mengidentifikasi, mengarang, dan mengapresiasi keindahan Asmarandana.
Guru Gatra: Jumlah Baris
Guru gatra merujuk pada jumlah baris atau larik dalam setiap bait tembang. Untuk Asmarandana, aturan ini sangat khas dan mudah dikenali:
- Asmarandana selalu memiliki 7 (tujuh) gatra atau baris dalam setiap baitnya.
Struktur tujuh baris ini memberikan ruang yang cukup bagi pengarang untuk mengembangkan ide, menggambarkan suasana, dan mengekspresikan emosi secara bertahap dan mendalam, seperti layaknya sebuah narasi mini yang berliku-liku, menggambarkan naik turunnya perasaan cinta atau kerinduan.
Guru Wilangan: Jumlah Suku Kata
Guru wilangan adalah aturan mengenai jumlah suku kata (wanda) dalam setiap gatra. Untuk Asmarandana, susunan guru wilangan adalah sebagai berikut:
- Gatra ke-1: 8 suku kata
- Gatra ke-2: 8 suku kata
- Gatra ke-3: 8 suku kata
- Gatra ke-4: 8 suku kata
- Gatra ke-5: 7 suku kata
- Gatra ke-6: 8 suku kata
- Gatra ke-7: 8 suku kata
Perhatikan bahwa gatra kelima memiliki jumlah suku kata yang berbeda (7) dibandingkan gatra lainnya (8). Perubahan ini memberikan jeda atau penekanan khusus dalam alunan tembang, seringkali menandai puncak emosi atau inti pesan dalam bait tersebut.
Guru Lagu: Huruf Vokal Terakhir
Guru lagu adalah aturan mengenai huruf vokal terakhir (dhong-dhing) pada setiap akhir gatra. Pola guru lagu Asmarandana adalah sebagai berikut:
- Gatra ke-1: i
- Gatra ke-2: a
- Gatra ke-3: e/o (pilih salah satu, namun konsisten)
- Gatra ke-4: a
- Gatra ke-5: a
- Gatra ke-6: u
- Gatra ke-7: a
Kombinasi guru wilangan dan guru lagu inilah yang menciptakan melodi dan irama khas Asmarandana, memberikan kesan syahdu, lembut, kadang melankolis, namun juga penuh harapan dan kehangatan. Bunyi 'i', 'a', 'e/o', 'u' yang berulang dengan pola tertentu membentuk simfoni vokal yang indah dan harmonis.
Contoh Tembang Asmarandana
Mari kita lihat contoh satu bait tembang Asmarandana beserta analisis paugerannya:
Aja turu sore kaki, (8i) Ana déné kancané, (8a) Nglanggéngké kahanan, (8e) Laras luri laku, (8a) Kanggonan budi pekerti, (7i) <-- Perbaikan dari yang umum (7a) ke (7i) jika merujuk Wedhatama Aja kaya manungsa, (8u) Kang tanpa guna marang. (8a)
Pada contoh di atas:
- Guru Gatra: Terdapat 7 baris.
- Guru Wilangan:
- Gatra 1: A-ja tu-ru so-re ka-ki (8 suku kata)
- Gatra 2: A-na dé-né kan-ca-né (8 suku kata)
- Gatra 3: Ng-lang-gèng-ké ka-ha-nan (8 suku kata)
- Gatra 4: La-ras lu-ri la-ku (8 suku kata)
- Gatra 5: Kang-go-nan bu-di pe-ker-ti (7 suku kata)
- Gatra 6: A-ja ka-ya ma-nung-sa (8 suku kata)
- Gatra 7: Kang tan-pa gu-na ma-rang (8 suku kata)
- Guru Lagu:
- Gatra 1: ki (i)
- Gatra 2: né (a)
- Gatra 3: nan (a) (karena e dalam né dan nan dibaca seperti a)
- Gatra 4: ku (u) (kesalahan umum: harusnya 'a' atau 'u', di sini contohnya 'u'. Tapi paugeran baku Asmarandana adalah 'a')
- Gatra 5: ti (i) (kesalahan umum: harusnya 'a' atau 'i', di sini contohnya 'i'. Paugeran baku Asmarandana adalah 'a')
- Gatra 6: sa (a)
- Gatra 7: rang (a)
Catatan Penting Mengenai Guru Lagu: Paugeran guru lagu yang paling umum dan baku untuk Asmarandana adalah: i, a, e/o, a, a, u, a. Contoh di atas sedikit dimodifikasi untuk ilustrasi, namun versi Serat Wedhatama seringkali memakai `i, a, e/o, a, a, u, a` yang lebih sesuai dengan kaidah baku. Mari kita berikan contoh yang lebih tepat sesuai paugeran baku (dari Serat Wedhatama, Pupuh Asmarandana, bait 1):
Aja turu sore kaki, (8i) Tangia ngudiya mami, (8a) Witing tresna jalaran kulina, (8e) Wus lumrah ing ngalam donya, (8a) Lawan sagung tumuwuh, (7a) Tanpa guna margane, (8u) Mring ngarsane Gusti. (8a)
Pada contoh yang lebih akurat ini:
- Guru Gatra: 7 baris.
- Guru Wilangan: 8, 8, 8, 8, 7, 8, 8.
- Guru Lagu:
- Gatra 1: ki (i)
- Gatra 2: mi (i) (Ini berbeda dari paugeran umum 8a, tapi banyak contoh sastra Jawa klasik yang memiliki variasi lokal atau penyesuaian. Untuk tujuan pendidikan, kita tetap berpegang pada standar 'i, a, e/o, a, a, u, a')
- Gatra 3: na (a) (Ini berbeda dari paugeran umum 8e/o, tapi e/o dan a seringkali dianggap varian yang diterima dalam konteks tertentu)
- Gatra 4: nya (a)
- Gatra 5: wuh (u) (Ini berbeda dari paugeran umum 7a)
- Gatra 6: ne (e) (Ini berbeda dari paugeran umum 8u)
- Gatra 7: ti (i) (Ini berbeda dari paugeran umum 8a)
Penting untuk dicatat: Meskipun ada paugeran baku, dalam praktiknya, pujangga Jawa seringkali memiliki sedikit kebebasan atau variasi lokal. Namun, untuk pembelajaran dasar, pola i, a, e/o, a, a, u, a adalah yang paling diajarkan dan diakui sebagai standar Asmarandana.
Filosofi dan Makna Mendalam Asmarandana
Asmarandana jauh lebih dari sekadar susunan kata dan bunyi. Di baliknya tersembunyi filosofi mendalam tentang eksistensi manusia, perjalanan batin, dan hakikat cinta. Seperti namanya, "cinta" menjadi poros utama makna tembang ini, namun dengan cakupan yang sangat luas.
Cinta Universal (Tresna Asih)
Dalam konteks Jawa, cinta (tresna) tidak hanya terbatas pada hubungan romantis. Asmarandana merangkum gagasan tentang tresna asih, yaitu cinta kasih yang universal. Ini bisa berupa:
- Cinta kepada Tuhan (Gusti Allah): Kerinduan seorang hamba kepada penciptanya, upaya untuk mendekatkan diri melalui laku spiritual, dan penerimaan takdir dengan ikhlas.
- Cinta kepada sesama manusia: Kepedulian, empati, gotong royong, dan menjalin harmoni dalam masyarakat.
- Cinta kepada alam semesta: Menjaga kelestarian lingkungan, menghargai setiap makhluk hidup, dan menyadari diri sebagai bagian tak terpisahkan dari kosmos.
- Cinta kepada ilmu dan kebijaksanaan: Semangat untuk terus belajar, mencari kebenaran, dan mengembangkan diri.
Melalui Asmarandana, pujangga seringkali menyampaikan pesan-pesan moral dan etika yang mendorong manusia untuk hidup harmonis dengan diri sendiri, sesama, alam, dan Tuhannya. Pengajaran tentang mikul dhuwur mendhem jero (menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dan mengubur dalam-dalam kesalahan/kekurangan) sering dibungkus dalam tembang ini.
Kerinduan dan Gejolak Jiwa
Asmarandana juga sangat identik dengan ekspresi kerinduan (kasmaran) dan gejolak jiwa. Kerinduan ini bisa beragam:
- Kerinduan kepada kekasih: Rasa kangen yang mendalam, harapan untuk bertemu, dan duka karena perpisahan.
- Kerinduan spiritual: Rasa haus akan pencerahan, hasrat untuk mencapai kesempurnaan batin, dan upaya menyingkap tabir ilahi.
- Kerinduan pada masa lalu atau cita-cita: Nostalgia, harapan akan masa depan yang lebih baik, atau kegelisahan karena tujuan yang belum tercapai.
Alunan melodi Asmarandana yang cenderung mendayu-dayu dan syahdu sangat efektif dalam menyuarakan perasaan-perasaan ini, membawa pendengar untuk ikut merasakan kedalaman emosi yang disampaikan.
Penyesalan dan Nasihat
Tak jarang Asmarandana juga digunakan untuk menyampaikan penyesalan atas kesalahan masa lalu, atau untuk memberikan nasihat dan teguran. Bentuk nasihat ini seringkali dibalut dalam kisah atau perumpamaan yang menyentuh hati, sehingga lebih mudah diterima.
"Cinta dalam Asmarandana adalah cerminan perjalanan spiritual manusia, dari hasrat duniawi menuju kesadaran ilahi, dari keterikatan ego menuju kemerdekaan jiwa."
Peran Asmarandana dalam Sastra Jawa Klasik
Asmarandana memiliki posisi yang sangat penting dalam sastra Jawa klasik. Banyak karya agung yang menggunakan tembang ini sebagai bagian integral dari strukturnya.
Serat Wedhatama
Salah satu karya paling monumental yang banyak menggunakan Asmarandana adalah Serat Wedhatama karya KGPAA Mangkunegara IV. Serat ini berisi ajaran moral dan etika Jawa yang luhur, disampaikan dalam bentuk tembang macapat. Asmarandana dalam Wedhatama digunakan untuk menyampaikan nasihat-nasihat tentang bagaimana seharusnya manusia hidup, bersikap, dan berinteraksi dengan lingkungannya, seringkali dengan sentuhan emosional yang kuat.
Misalnya, dalam pupuh Asmarandana di Wedhatama, banyak bait yang mengajarkan tentang pentingnya pengendalian diri, kesabaran, dan ketaatan kepada ajaran agama. Penggunaan Asmarandana di sini membantu menanamkan nilai-nilai tersebut ke dalam hati pembaca atau pendengar melalui melodi yang menyentuh.
Serat Wulangreh
Karya lainnya adalah Serat Wulangreh gubahan Sri Susuhunan Pakubuwana IV. Serat ini juga merupakan karya didaktis yang berisi petuah-petuah luhur mengenai budi pekerti, tatakrama, dan ajaran keagamaan. Meskipun tidak sebanyak di Wedhatama, Asmarandana tetap memiliki porsi dalam menyampaikan pesan-pesan yang berkaitan dengan perasaan, kerinduan, atau introspeksi diri.
Kisah-kisah Wayang dan Panji
Dalam pertunjukan wayang kulit, tembang macapat juga sering digunakan untuk mengiringi jalannya cerita, memberikan gambaran suasana, atau mengungkapkan perasaan tokoh. Asmarandana sering digunakan ketika adegan-adegan yang melibatkan perasaan cinta, kerinduan, kesedihan, atau gejolak batin para tokoh pewayangan. Demikian pula dalam sastra Panji, kisah-kisah percintaan dan petualangan Raden Panji seringkali dibumbui dengan tembang Asmarandana untuk menggambarkan suasana romantis atau pilu.
Peran Asmarandana dalam Budaya Kontemporer
Meskipun berasal dari tradisi kuno, Asmarandana tidak serta merta hilang ditelan zaman. Ia terus berevolusi dan menemukan relevansinya dalam budaya kontemporer, meskipun dalam bentuk yang berbeda.
Pelestarian Melalui Pendidikan
Di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, khususnya di Jawa, Asmarandana masih diajarkan sebagai bagian dari mata pelajaran bahasa dan sastra Jawa. Generasi muda diperkenalkan pada keindahan dan filosofi tembang ini, bukan hanya sebagai warisan masa lalu, tetapi sebagai jembatan untuk memahami identitas dan nilai-nilai luhur budaya mereka. Kegiatan ekstrakurikuler seperti karawitan dan macapat juga menjadi wadah penting untuk melestarikan tradisi ini.
Inspirasi dalam Musik Modern
Para musisi kontemporer, terutama yang berkecimpung dalam genre etnik modern atau world music, seringkali mengambil inspirasi dari Asmarandana. Mereka mungkin mengadaptasi melodi, ritme, atau bahkan liriknya ke dalam aransemen musik yang lebih modern, menciptakan perpaduan yang unik antara tradisi dan inovasi. Hal ini membantu mengenalkan Asmarandana kepada audiens yang lebih luas dan beragam.
Media dan Kesenian Pertunjukan
Dalam beberapa produksi seni pertunjukan, seperti teater, sendratari, atau film yang mengangkat tema budaya Jawa, Asmarandana kadang-kadang disisipkan untuk menciptakan suasana atau menyampaikan pesan tertentu. Penggunaannya dapat menambah kedalaman emosional dan otentisitas budaya pada karya tersebut.
Pembinaan Karakter dan Spiritualitas
Di beberapa komunitas dan sanggar budaya, Asmarandana masih digunakan sebagai sarana untuk pembinaan karakter dan pengembangan spiritualitas. Melalui penghayatan lirik dan melodi, para peserta diajak untuk merenungkan makna kehidupan, mengelola emosi, dan memperkuat nilai-nilai luhur dalam diri mereka. Ini menunjukkan bahwa Asmarandana tetap relevan sebagai alat untuk pertumbuhan pribadi.
Proses Menciptakan Tembang Asmarandana
Menciptakan tembang Asmarandana membutuhkan pemahaman mendalam tentang paugeran dan juga kepekaan rasa. Berikut adalah langkah-langkah umum dalam proses penciptaannya:
- Menentukan Tema dan Pesan: Apa yang ingin disampaikan? Apakah tentang cinta romantis, nasihat, kerinduan spiritual, atau kritik sosial? Tema ini akan menjadi inti dari seluruh bait.
- Membuat Kerangka Ide per Gatra: Dengan 7 gatra yang tersedia, buatlah garis besar ide atau kalimat kunci untuk setiap gatra. Ini membantu menjaga alur cerita atau pesan.
- Memulai dengan Guru Lagu: Karena guru lagu adalah aturan yang paling ketat, seringkali pujangga memulai dengan menentukan kata terakhir setiap gatra yang sesuai dengan guru lagu Asmarandana (i, a, e/o, a, a, u, a).
- Mengembangkan Guru Wilangan: Setelah kata terakhir ditentukan, kembangkan kalimat dalam setiap gatra agar jumlah suku katanya sesuai dengan guru wilangan (8, 8, 8, 8, 7, 8, 8). Ini adalah bagian yang paling menantang, membutuhkan pilihan kata yang tepat dan kadang penyesuaian tata bahasa agar pas dalam jumlah suku kata.
- Memperhatikan Diksi dan Gaya Bahasa: Gunakan kata-kata yang indah, puitis, dan sesuai dengan nuansa Asmarandana. Pilihlah gaya bahasa yang halus dan mampu menyentuh perasaan.
- Menyesuaikan Irama dan Estetika: Baca atau nyanyikan tembang yang telah dibuat untuk merasakan iramanya. Apakah mengalir dengan baik? Apakah ada bagian yang terasa janggal? Lakukan penyesuaian jika diperlukan.
- Revisi dan Penyempurnaan: Proses penciptaan jarang sekali selesai dalam satu kali coba. Lakukan revisi berulang-ulang hingga tembang terasa sempurna, baik dari segi paugeran maupun makna.
Proses ini menunjukkan bahwa macapat, termasuk Asmarandana, bukan sekadar puisi biasa. Ia adalah bentuk seni yang menggabungkan aturan ketat dengan kebebasan ekspresi, membutuhkan keterampilan linguistik, musikalitas, dan kedalaman filosofis.
Perbandingan Asmarandana dengan Tembang Macapat Lainnya
Untuk lebih memahami keunikan Asmarandana, ada baiknya kita membandingkannya dengan beberapa tembang macapat lainnya. Setiap tembang memiliki karakteristik dan nuansa yang berbeda, sesuai dengan fungsinya masing-masing.
Asmarandana vs. Kinanthi
- Asmarandana: 7 gatra (8i, 8a, 8e/o, 8a, 7a, 8u, 8a). Nuansa: cinta, kerinduan, kesedihan, nasihat. Seringkali menggambarkan gejolak batin.
- Kinanthi: 6 gatra (8u, 8i, 8a, 8i, 8a, 8i). Nuansa: bimbingan, tuntunan, kasih sayang, dan proses belajar. Namanya berasal dari "kanthi" yang berarti menggandeng atau menuntun. Sering digunakan untuk nasihat bagi anak muda atau petuah yang mengajak.
Perbedaan utama terletak pada jumlah gatra dan pola guru lagunya yang berbeda secara signifikan, memberikan Kinanthi kesan yang lebih ringan, membimbing, dan optimis dibandingkan Asmarandana yang lebih cenderung introspektif dan melankolis.
Asmarandana vs. Dhandhanggula
- Asmarandana: 7 gatra. Fokus pada cinta, kerinduan, emosi.
- Dhandhanggula: 10 gatra (10i, 10a, 8e, 7u, 9i, 7a, 6u, 8a, 12i, 7a). Nuansa: kegembiraan, keindahan, kebebasan, dan sering digunakan untuk pembuka atau penutup suatu cerita karena kemampuannya menggambarkan berbagai suasana dengan leluasa.
Dhandhanggula adalah tembang macapat yang paling panjang dan paling fleksibel, mampu menampung berbagai macam ide dan cerita, sementara Asmarandana lebih terfokus pada eksplorasi emosi tertentu.
Asmarandana vs. Pangkur
- Asmarandana: 7 gatra. Lembut, syahdu, penuh kasih.
- Pangkur: 7 gatra (8a, 11i, 8u, 7a, 12u, 8a, 8i). Nuansa: berani, semangat, perpisahan, atau melepaskan diri dari hawa nafsu duniawi (mungkur).
Meskipun sama-sama 7 gatra, Pangkur memiliki karakter yang lebih tegas dan berani, sering digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan yang membakar semangat atau ajakan untuk bertapa/menarik diri dari dunia, sangat kontras dengan kelembutan Asmarandana.
Perbandingan ini menegaskan bahwa setiap tembang macapat diciptakan dengan tujuan dan karakter yang spesifik. Asmarandana mengisi ruang ekspresi untuk hal-hal yang berkaitan dengan hati, perasaan, dan perjalanan batin yang kompleks, membuatnya tak tergantikan dalam khazanah sastra Jawa.
Kesimpulan
Asmarandana adalah salah satu pilar utama dalam khazanah tembang macapat Jawa, sebuah bentuk puisi tradisional yang kaya akan nilai dan makna. Dengan paugerannya yang khas (7 gatra, guru wilangan 8, 8, 8, 8, 7, 8, 8, dan guru lagu i, a, e/o, a, a, u, a), tembang ini mampu menyuarakan berbagai nuansa emosi, terutama yang berkaitan dengan cinta, kerinduan, nasihat, dan gejolak batin manusia.
Dari sejarahnya yang panjang dalam sastra klasik seperti Serat Wedhatama dan Serat Wulangreh, hingga peranannya dalam pelestarian budaya kontemporer melalui pendidikan dan seni, Asmarandana terus membuktikan relevansinya. Ia tidak hanya menjadi penanda keindahan estetika Jawa, tetapi juga sebagai cermin filosofi hidup yang mengajarkan tentang pentingnya kasih sayang universal, introspeksi diri, dan pencarian makna spiritual.
Memahami Asmarandana berarti menyelami salah satu relung terdalam dari jiwa Jawa, sebuah perjalanan yang menguak keindahan cinta dalam segala bentuknya, mengajarkan kita untuk merenungkan kehidupan dengan hati yang lebih peka dan pikiran yang lebih bijaksana. Warisan ini adalah permata tak ternilai yang patut terus dijaga, dipelajari, dan diapresiasi oleh setiap generasi.
Dalam setiap alunan Asmarandana, tersembunyi bisikan para leluhur, pesan-pesan yang melampaui waktu, mengingatkan kita bahwa di tengah hiruk pikuk kehidupan modern, keindahan, kebijaksanaan, dan cinta sejati akan selalu menemukan jalannya untuk menyentuh dan memperkaya jiwa manusia. Semoga Asmarandana terus lestari, menginspirasi, dan menjadi lentera penerang bagi perjalanan spiritual dan budaya kita.