Asfiksia Neonatorum: Memahami Penanganan dan Pencegahan
Asfiksia neonatorum merupakan kondisi gawat darurat yang mengancam jiwa bayi baru lahir, di mana terjadi kegagalan dalam memulai atau mempertahankan pernapasan secara spontan dan teratur setelah lahir. Kondisi ini menyebabkan penurunan kadar oksigen (hipoksemia) dan peningkatan kadar karbon dioksida (hiperkapnia) dalam darah, yang berujung pada asidosis metabolik dan respiratorik. Tanpa penanganan yang cepat dan tepat, asfiksia neonatorum dapat mengakibatkan kerusakan organ permanen, terutama pada otak, bahkan kematian.
Prevalensi asfiksia neonatorum bervariasi antar wilayah, namun secara global diperkirakan mempengaruhi sekitar 4 juta bayi setiap tahunnya, menyumbang sekitar 23% dari seluruh kematian neonatus. Angka ini jauh lebih tinggi di negara-negara berkembang akibat terbatasnya akses terhadap perawatan antenatal yang memadai, persalinan yang aman, dan fasilitas resusitasi yang lengkap. Memahami asfiksia neonatorum, mulai dari penyebab, patofisiologi, diagnosis, hingga penanganan dan pencegahannya, adalah krusial bagi tenaga kesehatan, calon orang tua, dan masyarakat luas untuk meningkatkan angka harapan hidup dan kualitas hidup bayi baru lahir.
Gambar 1: Simbol vitalitas pada bayi baru lahir, menunjukkan harapan dan perhatian medis yang penting.
I. Definisi dan Epidemiologi Asfiksia Neonatorum
A. Definisi Asfiksia Neonatorum
Asfiksia neonatorum secara harfiah berarti "tidak ada denyut nadi" (dari bahasa Yunani: *a* berarti "tidak" dan *sphygmos* berarti "denyut nadi"). Namun, dalam konteks medis modern, istilah ini merujuk pada kondisi di mana bayi gagal bernapas secara efektif pada saat lahir, yang menyebabkan pertukaran gas yang tidak adekuat. Akibatnya, terjadi penurunan kadar oksigen (hipoksemia), peningkatan kadar karbon dioksida (hiperkapnia), dan akumulasi asam laktat dalam darah (asidosis metabolik).
Kriteria diagnostik untuk asfiksia neonatorum yang ditetapkan oleh American Academy of Pediatrics (AAP) dan American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) meliputi setidaknya tiga dari empat poin berikut:
- Asidosis metabolik atau campuran yang dalam: pH darah tali pusat arteri < 7.00.
- Skor Apgar 0-3 yang menetap: Lebih dari 5 menit setelah kelahiran.
- Ensefalopati moderat hingga berat: Pada bayi yang lahir cukup bulan atau hampir cukup bulan.
- Disfungsi multiorgan: Melibatkan setidaknya dua sistem organ selain sistem saraf pusat (misalnya, ginjal, hati, jantung, paru-paru, saluran pencernaan, hematologi).
Penting untuk membedakan asfiksia neonatorum dari kondisi lain seperti depresi pernapasan akibat obat-obatan yang diberikan kepada ibu selama persalinan, atau kelainan bawaan yang mempengaruhi pernapasan. Asfiksia adalah akibat dari kurangnya oksigenasi dan perfusi ke jaringan tubuh, terutama otak, sebelum, selama, atau segera setelah kelahiran.
B. Epidemiologi dan Dampak Global
Asfiksia neonatorum merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada bayi baru lahir di seluruh dunia. Data global menunjukkan bahwa sekitar 23% dari 4 juta kematian neonatus setiap tahun disebabkan oleh asfiksia. Mayoritas kasus ini terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah (LMICs), di mana akses ke perawatan kesehatan yang berkualitas selama kehamilan dan persalinan masih terbatas.
Dampak asfiksia tidak hanya terbatas pada kematian. Bayi yang bertahan hidup seringkali menghadapi komplikasi neurologis jangka panjang yang serius, termasuk ensefalopati hipoksik-iskemik (HIE), cerebral palsy, keterlambatan perkembangan, epilepsi, dan gangguan belajar. Beban ekonomi dan sosial dari kondisi ini sangat besar, baik bagi keluarga maupun sistem kesehatan.
Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap tingginya angka asfiksia di LMICs meliputi:
- Kualitas perawatan antenatal yang buruk: Kurangnya skrining dan penanganan kondisi ibu seperti preeklampsia, diabetes gestasional, anemia, dan infeksi.
- Persalinan di rumah tanpa tenaga terlatih: Banyak persalinan masih berlangsung di luar fasilitas kesehatan, tanpa kehadiran bidan atau dokter yang terlatih untuk mengidentifikasi dan menangani komplikasi.
- Keterlambatan akses ke fasilitas kesehatan darurat: Transportasi yang sulit, biaya, dan kurangnya informasi dapat menunda rujukan ke rumah sakit saat terjadi komplikasi persalinan.
- Kurangnya peralatan resusitasi dan pelatihan yang memadai: Fasilitas kesehatan primer seringkali tidak memiliki peralatan dasar resusitasi atau tenaga yang terlatih untuk melakukannya secara efektif.
- Kepadatan penduduk dan kemiskinan: Faktor-faktor ini dapat memperburuk akses terhadap gizi yang baik dan layanan kesehatan.
Mengingat dampak yang signifikan, upaya pencegahan dan penanganan asfiksia neonatorum menjadi prioritas utama dalam agenda kesehatan global untuk mencapai target Sustainable Development Goals (SDGs) yang berkaitan dengan kesehatan ibu dan anak.
II. Etiologi dan Faktor Risiko
Asfiksia neonatorum bukanlah suatu penyakit tunggal, melainkan merupakan akibat dari berbagai kondisi yang menyebabkan terganggunya aliran oksigen dan nutrisi ke janin atau bayi baru lahir. Penyebab-penyebab ini dapat dikelompokkan berdasarkan waktu kejadiannya: antenatal (sebelum persalinan), intranatal (selama persalinan), dan postnatal (setelah persalinan).
A. Faktor Antenatal (Sebelum Persalinan)
Faktor-faktor ini berkontribusi terhadap sekitar 20% dari kasus asfiksia dan dapat mengganggu pasokan oksigen ke janin bahkan sebelum persalinan dimulai. Identifikasi dini faktor-faktor ini melalui perawatan antenatal yang komprehensif sangat penting.
- Penyakit Maternal Kronis:
- Diabetes Mellitus: Ibu dengan diabetes memiliki risiko lebih tinggi mengalami komplikasi kehamilan seperti makrosomia (bayi besar), yang dapat menyebabkan persalinan sulit, dan juga insufisiensi plasenta.
- Hipertensi Kronis dan Preeklampsia/Eklampsia: Kondisi ini menyebabkan vasokonstriksi pada pembuluh darah plasenta, mengurangi aliran darah dan oksigen ke janin. Preeklampsia berat dan eklampsia juga dapat menyebabkan solusio plasenta.
- Anemia Berat: Menurunnya kapasitas pengangkutan oksigen dalam darah ibu berarti lebih sedikit oksigen yang tersedia untuk janin.
- Penyakit Jantung atau Paru-paru Ibu: Mengurangi kemampuan ibu untuk mengoksigenasi darahnya sendiri, sehingga pasokan oksigen ke janin juga terganggu.
- Infeksi Kronis (misalnya, HIV, Sifilis, Malaria): Dapat menyebabkan insufisiensi plasenta atau infeksi janin yang mengganggu fungsi organ.
- Komplikasi Kehamilan:
- Insufisiensi Plasenta: Plasenta tidak berfungsi optimal dalam menyediakan oksigen dan nutrisi. Ini bisa terjadi akibat infark plasenta, penuaan plasenta (pada kehamilan post-term), atau kondisi ibu (misalnya, hipertensi).
- Perdarahan Antepartum:
- Solusio Plasenta (abruptio placentae): Lepasnya sebagian atau seluruh plasenta dari dinding rahim sebelum bayi lahir. Ini adalah keadaan darurat medis yang dapat menyebabkan perdarahan hebat pada ibu dan gawat janin akut karena terputusnya pasokan oksigen.
- Plasenta Previa: Plasenta menutupi sebagian atau seluruh jalan lahir, yang dapat menyebabkan perdarahan dan seringkali memerlukan persalinan caesar.
- Kehamilan Post-Term (Lewat Waktu): Kehamilan yang berlangsung lebih dari 42 minggu dapat menyebabkan penuaan plasenta dan penurunan fungsinya.
- Oligohidramnion (Volume Cairan Ketuban Sedikit): Dapat menyebabkan kompresi tali pusat, terutama selama persalinan.
- Polihidramnion (Volume Cairan Ketuban Berlebihan): Meskipun tidak langsung menyebabkan asfiksia, dapat meningkatkan risiko prolaps tali pusat.
- Kehamilan Ganda (Gemelli): Risiko prematuritas, pertukaran plasenta yang tidak seimbang, dan komplikasi persalinan meningkat.
- Anomali Kongenital Janin: Kelainan jantung, paru-paru, atau neurologis dapat membuat janin lebih rentan terhadap hipoksia atau kesulitan adaptasi setelah lahir.
- Pembatasan Pertumbuhan Intrauterin (IUGR): Janin yang tidak tumbuh dengan baik seringkali memiliki cadangan energi yang terbatas dan lebih rentan terhadap stres hipoksik.
- Prolaps Tali Pusat: Tali pusat mendahului bagian presentasi janin, menyebabkan kompresi tali pusat dan terhentinya aliran darah.
- Penggunaan Obat-obatan atau Zat Terlarang oleh Ibu:
- Obat-obatan narkotika atau sedatif tertentu dapat menekan pernapasan janin.
- Merokok dan penggunaan alkohol dapat mengganggu aliran darah plasenta.
B. Faktor Intranatal (Selama Persalinan)
Ini adalah penyebab paling umum dari asfiksia neonatorum, menyumbang sekitar 70% dari kasus. Kejadian hipoksia selama persalinan biasanya terjadi secara akut atau subakut.
- Gangguan Aliran Darah Plasenta:
- Kompresi Tali Pusat: Tali pusat terjepit antara janin dan jalan lahir, atau melilit leher/tubuh janin. Ini sering terjadi pada oligohidramnion atau pada persalinan sungsang.
- Prolaps Tali Pusat: Tali pusat keluar dari serviks sebelum bagian presentasi janin, sehingga tali pusat terkompresi.
- Nodus Tali Pusat Sejati: Simpul pada tali pusat yang dapat mengetat dan mengganggu aliran darah.
- Solusio Plasenta: Seperti yang disebutkan sebelumnya, dapat terjadi secara akut selama persalinan.
- Gangguan Pertukaran Gas di Plasenta:
- Kontraksi Uterus yang Hipertonik atau Berkepanjangan: Kontraksi yang terlalu kuat atau sering mengurangi waktu perfusi plasenta, menyebabkan iskemia dan hipoksia. Ini bisa diinduksi oleh pemberian oksitosin yang berlebihan.
- Hipotensi Maternal: Penurunan tekanan darah ibu (misalnya, akibat anestesi spinal/epidural atau perdarahan) mengurangi aliran darah ke plasenta.
- Kesulitan Persalinan:
- Persalinan Lama atau Macet: Fase persalinan yang berkepanjangan dapat menyebabkan kelelahan janin dan ibu, meningkatkan risiko hipoksia.
- Distosia Bahu: Kepala lahir tetapi bahu terjepit di bawah simfisis pubis ibu. Ini dapat menyebabkan kompresi tali pusat dan trauma pada janin.
- Presentasi abnormal: Misalnya, sungsang (bokong atau kaki lahir lebih dulu) atau lintang, yang meningkatkan risiko komplikasi dan kompresi tali pusat.
- Persalinan Prematur: Bayi prematur memiliki paru-paru yang belum matang, cadangan energi yang terbatas, dan lebih rentan terhadap stres hipoksia.
- Ruptura Uteri: Robeknya dinding rahim yang dapat menyebabkan perdarahan hebat dan gawat janin akut.
- Aspirasi Mekonium:
- Jika janin mengalami stres hipoksia, ia dapat mengeluarkan mekonium (tinja pertama bayi) ke dalam cairan ketuban. Jika bayi menghirup mekonium ini ke paru-paru selama persalinan atau saat napas pertama, dapat terjadi sindrom aspirasi mekonium, yang menyebabkan obstruksi jalan napas dan pneumonia kimiawi.
C. Faktor Postnatal (Setelah Persalinan)
Meskipun asfiksia biasanya merujuk pada kejadian peripartum, kondisi yang timbul segera setelah lahir juga dapat menyebabkan gagal napas dan hipoksia, memperparah atau meniru asfiksia.
- Gangguan Pernapasan Primer:
- Pneumonia Kongenital: Infeksi paru-paru yang didapat janin sebelum atau selama lahir.
- Sindrom Distres Pernapasan (RDS): Terutama pada bayi prematur akibat kekurangan surfaktan.
- Hernia Diafragmatika Kongenital: Organ-organ perut masuk ke rongga dada, menghambat perkembangan paru-paru.
- Atresia Koana: Sumbatan pada saluran hidung.
- Kelainan Jantung Bawaan:
- Penyakit jantung bawaan sianotik dapat menyebabkan hipoksemia berat meskipun pernapasan tampak normal.
- Sepsis Neonatorum: Infeksi berat pada bayi baru lahir dapat menyebabkan syok, hipotensi, dan kegagalan multiorgan, termasuk gangguan pernapasan.
- Anemia Berat: Akut (misalnya, perdarahan internal) atau kronis (misalnya, hemolisis) dapat mengurangi kapasitas pengangkutan oksigen.
- Syok: Akibat perdarahan, infeksi, atau trauma lahir.
- Depresi Sistem Saraf Pusat:
- Obat-obatan sedatif atau anestesi yang diberikan kepada ibu dan masih mempengaruhi bayi.
- Perdarahan intrakranial akibat trauma lahir.
Identifikasi faktor risiko ini memungkinkan tindakan pencegahan dan intervensi yang tepat waktu untuk mengurangi insiden dan keparahan asfiksia neonatorum.
III. Patofisiologi Asfiksia Neonatorum
Memahami patofisiologi asfiksia neonatorum sangat penting untuk mengapresiasi urgensi penanganan dan dampak yang luas pada tubuh bayi. Ketika janin atau bayi baru lahir mengalami kekurangan oksigen (hipoksia) dan penumpukan karbon dioksida (hiperkapnia), serangkaian peristiwa fisiologis dan biokimia yang kompleks terjadi, yang berpotensi menyebabkan kerusakan organ irreversibel.
A. Respons Primer terhadap Hipoksia
Ketika pasokan oksigen ke janin atau neonatus berkurang, tubuh merespons dengan mekanisme kompensasi untuk melindungi organ vital, terutama otak dan jantung. Urutan kejadiannya adalah sebagai berikut:
- Apnea Primer dan Bradycardia:
- Respons pertama terhadap hipoksia adalah periode singkat takipnea (pernapasan cepat), diikuti oleh apnea primer (henti napas). Selama apnea primer, detak jantung mulai melambat (bradycardia), tekanan darah tetap normal, dan respons terhadap stimulasi masih ada.
- Jika hipoksia berlanjut, bayi akan mulai terengah-engah (gasping) secara intermiten, yang merupakan tanda upaya terakhir untuk mendapatkan oksigen.
- Anaerobic Metabolism dan Asidosis:
- Dengan berkurangnya oksigen, sel-sel tubuh beralih dari metabolisme aerobik (yang menghasilkan banyak energi dengan oksigen) ke metabolisme anaerobik (tanpa oksigen).
- Metabolisme anaerobik menghasilkan asam laktat sebagai produk sampingan. Akumulasi asam laktat menyebabkan asidosis metabolik, menurunkan pH darah.
- Asidosis ini mengganggu fungsi enzim dan protein seluler, memicu disfungsi seluler di berbagai organ.
- Redistribusi Aliran Darah:
- Tubuh secara refleks mengalihkan aliran darah dari organ-organ non-esensial (kulit, otot, ginjal, saluran pencernaan) ke organ vital seperti otak, jantung, dan kelenjar adrenal. Mekanisme ini bertujuan untuk mempertahankan oksigenasi organ vital selama mungkin.
- Meskipun redistribusi ini protektif dalam jangka pendek, iskemia pada organ non-esensial dapat menyebabkan kerusakan pada organ-organ tersebut (misalnya, nekrosis tubulus ginjal, enterokolitis nekrotikans).
- Apnea Sekunder dan Gagal Multisistem:
- Jika hipoksia terus berlanjut, fase gasping akan berhenti, diikuti oleh apnea sekunder. Ini adalah tanda gagalnya mekanisme kompensasi.
- Selama apnea sekunder, detak jantung dan tekanan darah terus menurun tajam, dan respons terhadap stimulasi hilang. Bayi menjadi lemas (flaccid).
- Pada titik ini, tanpa intervensi resusitasi yang cepat dan efektif, kerusakan seluler akan menjadi luas dan ireversibel.
Gambar 2: Simbol paru-paru yang merepresentasikan fungsi pernapasan dan pertukaran gas vital.
B. Kerusakan Seluler dan Organ Akibat Asfiksia
Dampak utama dari asfiksia adalah pada tingkat seluler, di mana kekurangan oksigen dan glukosa mengganggu produksi energi yang penting untuk menjaga integritas dan fungsi sel. Serangkaian peristiwa berikutnya terjadi:
- Gagal Energi dan Disfungsi Pompa Ion:
- Kekurangan ATP (adenosine trifosfat), molekul energi utama sel, menyebabkan kegagalan pompa ion Na+/K+-ATPase.
- Kegagalan ini mengakibatkan masuknya natrium, kalsium, dan air ke dalam sel, menyebabkan pembengkakan sel (edema sitotoksik) dan lisis sel.
- Pelepasan Neurotransmiter Eksitatorik:
- Di otak, hipoksia-iskemia memicu pelepasan neurotransmiter eksitatorik berlebihan, terutama glutamat.
- Glutamat berlebihan mengaktifkan reseptor NMDA, yang menyebabkan influks kalsium masif ke dalam neuron.
- Kalsium intraseluler berlebihan adalah pemicu utama kerusakan sel saraf (eksitotoksisitas), mengaktifkan enzim-enzim perusak sel seperti protease, lipase, dan endonuklease.
- Produksi Radikal Bebas dan Stres Oksidatif:
- Selama periode reperfusi (aliran darah kembali) setelah episode iskemia, terjadi produksi radikal bebas oksigen (reactive oxygen species - ROS) yang masif.
- Radikal bebas ini menyebabkan kerusakan lipid membran sel, protein, dan DNA, memperburuk cedera seluler.
- Inflamasi dan Apoptosis:
- Asfiksia memicu respons inflamasi sistemik, dengan pelepasan sitokin pro-inflamasi. Sel-sel imun seperti mikroglia dan astrosit di otak menjadi teraktivasi.
- Proses inflamasi ini berkontribusi pada kerusakan jaringan. Selain itu, asfiksia juga memicu apoptosis (kematian sel terprogram) yang dapat berlanjut selama berjam-jam hingga berhari-hari setelah episode awal.
C. Efek Asfiksia pada Sistem Organ Spesifik
Meskipun otak adalah organ yang paling rentan, asfiksia dapat mempengaruhi semua sistem organ:
- Sistem Saraf Pusat (SSP):
- Ini adalah organ target utama. Kerusakan menyebabkan Ensefalopati Hipoksik-Iskemik (HIE), yang bermanifestasi sebagai kejang, hipotonia, gangguan kesadaran, dan refleks primitif yang abnormal.
- Dalam jangka panjang, HIE dapat menyebabkan cerebral palsy, keterlambatan perkembangan, dan gangguan kognitif.
- Sistem Kardiovaskular:
- Hipotensi, disfungsi miokard (jantung melemah), gagal jantung kongestif, dan persisten duktus arteriosus (PDA) atau foramen ovale paten karena perubahan resistensi vaskular paru.
- Hipertensi Pulmonal Persisten pada Neonatus (PPHN) dapat terjadi akibat vasokonstriksi pembuluh darah paru.
- Sistem Pernapasan:
- Sindrom Distres Pernapasan (RDS) pada bayi prematur diperparah oleh asfiksia.
- Edema paru non-kardiogenik, perdarahan paru, atau Sindrom Aspirasi Mekonium (MAS) dapat terjadi.
- Sistem Ginjal:
- Akut tubular nekrosis (ATN) dan gagal ginjal akut adalah komplikasi umum akibat iskemia ginjal. Oliguria atau anuria dapat terjadi.
- Sistem Gastrointestinal:
- Enterokolitis nekrotikans (NEC) adalah komplikasi serius, terutama pada bayi prematur, akibat iskemia usus.
- Stress ulcer dan perdarahan saluran cerna juga bisa terjadi.
- Sistem Hematologi:
- Disfungsi koagulasi, trombositopenia, dan koagulasi intravaskular diseminata (DIC) dapat terjadi.
- Sistem Endokrin dan Metabolik:
- Hipoglikemia (karena konsumsi glukosa yang cepat dan cadangan yang habis), hipokalsemia, dan ketidakseimbangan elektrolit lainnya.
- Disfungsi kelenjar adrenal atau tiroid.
Patofisiologi yang kompleks ini menjelaskan mengapa penanganan asfiksia neonatorum memerlukan pendekatan multidisiplin yang cepat dan intensif untuk meminimalkan kerusakan pada semua sistem organ.
IV. Diagnosis Asfiksia Neonatorum
Diagnosis asfiksia neonatorum didasarkan pada kombinasi temuan klinis, penilaian biokimia, dan terkadang pencitraan. Penting untuk membedakan asfiksia dari penyebab lain depresi neonatus.
A. Penilaian Klinis Saat Lahir
- Skor Apgar:
- Skor Apgar adalah alat penilaian cepat yang dilakukan pada menit ke-1 dan ke-5 setelah lahir, dan jika skor rendah berlanjut, setiap 5 menit hingga 20 menit. Skor ini menilai lima parameter:
- Appearance (Warna Kulit): Pucat/biru (0), akrosianosis (biru pada ekstremitas, merah muda di badan) (1), seluruhnya merah muda (2).
- Pulse (Denyut Jantung): Tidak ada (0), < 100 denyut/menit (1), > 100 denyut/menit (2).
- Grimace (Respons Refleks): Tidak ada respons (0), grimace/sedikit respons (1), bersin/batuk/menangis (2).
- Activity (Tonus Otot): Lemas (0), fleksi ekstremitas sedikit (1), gerakan aktif (2).
- Respiration (Pernapasan): Tidak ada (0), lambat/tidak teratur (1), menangis kuat/teratur (2).
- Meskipun skor Apgar 0-3 pada menit ke-5 adalah salah satu kriteria utama, skor Apgar tunggal tidak secara definitif mendiagnosis asfiksia karena bisa dipengaruhi oleh obat-obatan, prematuritas, trauma, atau kelainan bawaan. Namun, skor Apgar yang rendah secara persisten sangat mengindikasikan asfiksia.
- Skor Apgar adalah alat penilaian cepat yang dilakukan pada menit ke-1 dan ke-5 setelah lahir, dan jika skor rendah berlanjut, setiap 5 menit hingga 20 menit. Skor ini menilai lima parameter:
- Kebutuhan Resusitasi: Bayi yang memerlukan resusitasi ekstensif (misalnya, ventilasi tekanan positif, kompresi dada, pemberian epinefrin) setelah lahir sangat mungkin mengalami asfiksia.
- Manifestasi Klinis Setelah Stabilisasi: Tanda-tanda ensefalopati hipoksik-iskemik (HIE) seperti kejang, hipotonia berat, letargi, atau koma pada jam-jam atau hari-hari pertama kehidupan adalah indikator kuat asfiksia.
B. Penilaian Biokimia
- Analisis Gas Darah Tali Pusat Arteri:
- Ini adalah pemeriksaan paling obyektif untuk mendiagnosis asidosis metabolik atau campuran akibat asfiksia. Sampel darah diambil dari arteri tali pusat segera setelah lahir.
- pH arteri tali pusat < 7.00 dan defisit basa (base deficit) > 12 mmol/L adalah kriteria kuat untuk asidosis yang signifikan.
- Nilai pH yang sangat rendah (< 6.80) sering dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi.
- Laktat Darah:
- Tingkat laktat serum yang tinggi (> 7 mmol/L) pada jam-jam pertama kehidupan mencerminkan metabolisme anaerobik dan merupakan indikator asfiksia yang signifikan.
- Glukosa Darah:
- Hipoglikemia sering terjadi pada bayi asfiksia karena cadangan glikogen yang terkuras dan peningkatan konsumsi glukosa.
- Elektrolit:
- Gangguan elektrolit seperti hipokalsemia dan hiponatremia dapat terjadi dan harus dipantau.
- Fungsi Organ:
- Fungsi Ginjal: Peningkatan kreatinin serum dan oliguria/anuria menunjukkan kerusakan ginjal.
- Fungsi Hati: Peningkatan enzim hati (AST, ALT) dapat menunjukkan kerusakan hati.
- Parameter Koagulasi: Gangguan pembekuan darah (misalnya, INR, PTT yang memanjang, trombositopenia) dapat menunjukkan koagulopati.
C. Pencitraan
Pencitraan berperan dalam menilai tingkat keparahan dan lokasi cedera otak akibat asfiksia.
- Ultrasonografi Kranialis (USG Kepala):
- Dapat dilakukan di samping tempat tidur bayi, relatif mudah dan murah.
- Baik untuk mendeteksi perdarahan intraventrikular (IVH) atau periventrikular leukomalasia (PVL) pada bayi prematur.
- Pada bayi cukup bulan, dapat menunjukkan peningkatan ekogenisitas di basal ganglia dan talamus, atau edema serebri berat. Namun, sensitivitasnya lebih rendah dibandingkan MRI untuk cedera HIE.
- Magnetic Resonance Imaging (MRI) Kepala:
- Merupakan metode pencitraan terbaik untuk menilai tingkat keparahan dan pola cedera otak akibat HIE.
- MRI dapat mengidentifikasi edema serebri, lesi di basal ganglia, talamus, korteks, atau area watershed.
- Waktu optimal untuk MRI adalah antara hari ke-3 dan ke-7 setelah lahir, saat lesi HIE paling jelas terlihat.
- Temuan MRI memiliki nilai prognostik yang kuat untuk hasil neurologis jangka panjang.
- Electroencephalography (EEG):
- Digunakan untuk mendeteksi aktivitas kejang, baik yang klinis maupun subklinis.
- Pola EEG juga dapat memberikan informasi prognostik mengenai tingkat kerusakan otak.
- Amplitud integrated EEG (aEEG) adalah bentuk pemantauan EEG kontinu yang lebih sederhana dan dapat dilakukan di samping tempat tidur.
Kombinasi penilaian klinis yang cermat, analisis biokimia, dan pencitraan yang tepat waktu memungkinkan diagnosis asfiksia neonatorum yang akurat dan membantu dalam merencanakan manajemen yang optimal.
V. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis asfiksia neonatorum sangat bervariasi tergantung pada durasi dan tingkat keparahan kekurangan oksigen, serta usia gestasi bayi. Hampir semua sistem organ dapat terpengaruh, dengan sistem saraf pusat menjadi yang paling rentan. Tanda-tanda dan gejala biasanya muncul segera setelah lahir atau dalam beberapa jam pertama kehidupan.
A. Manifestasi Neurologis (Ensefalopati Hipoksik-Iskemik - HIE)
Ensefalopati Hipoksik-Iskemik (HIE) adalah komplikasi neurologis yang paling serius dari asfiksia. Keparahan HIE diklasifikasikan menggunakan sistem Sarnat and Sarnat, yang membagi HIE menjadi tiga stadium:
- HIE Stadium I (Ringan):
- Kesadaran: Sangat waspada (hyperalert), iritabel.
- Tonus Otot: Normal atau sedikit meningkat.
- Respons Refleks: Refleks Moro kuat, refleks hisap lemah.
- Pupil: Midriasis (dilatasi), responsif terhadap cahaya.
- Kejang: Tidak ada.
- Prognosis: Biasanya baik, pemulihan penuh dalam beberapa hari.
- HIE Stadium II (Sedang):
- Kesadaran: Lethargi (lesu) atau stupor (sulit dibangunkan).
- Tonus Otot: Hipotonia (lemas), tetapi mungkin ada periode hipertonia.
- Respons Refleks: Refleks Moro lemah atau tidak ada, refleks hisap lemah atau tidak ada, refleks menggenggam lemah.
- Pupil: Miosis (konstriksi), seringkali lambat berespons terhadap cahaya.
- Kejang: Sering terjadi, biasanya dalam 12-24 jam pertama.
- Pola Pernapasan: Periodik atau ireguler.
- Prognosis: Bervariasi, risiko tinggi mengalami sekuele neurologis jangka panjang.
- HIE Stadium III (Berat):
- Kesadaran: Koma, tidak ada respons terhadap stimulasi.
- Tonus Otot: Flaccid (sangat lemas), tidak ada gerakan spontan.
- Respons Refleks: Tidak ada refleks Moro, hisap, atau menggenggam. Refleks batang otak (pupil, okulocefalik) mungkin tidak ada.
- Pupil: Midriasis tetap (fixed and dilated), tidak responsif terhadap cahaya.
- Kejang: Mungkin tidak ada karena kerusakan otak yang luas (electrical silence).
- Pola Pernapasan: Apnea (henti napas) atau pernapasan tidak teratur, sering memerlukan bantuan ventilasi.
- Prognosis: Sangat buruk, mortalitas tinggi, dan sebagian besar yang bertahan hidup mengalami kerusakan neurologis berat.
Selain kejang dan perubahan tonus, tanda neurologis lain bisa meliputi: ubun-ubun menonjol (fontanel bulging) akibat edema serebri, tangisan bernada tinggi (high-pitched cry), tremor, dan mioklonus.
Gambar 3: Representasi otak, menyoroti pentingnya perlindungan dan pemulihan fungsi neurologis.
B. Manifestasi Kardiovaskular
- Bradikardia: Denyut jantung < 100 denyut/menit, atau bahkan < 60 denyut/menit yang memerlukan kompresi dada.
- Hipotensi: Tekanan darah rendah akibat disfungsi miokard dan respons vasokonstriksi yang tidak efektif.
- Pucat atau Sianosis: Warna kulit kebiruan (sianosis) atau pucat akibat perfusi jaringan yang buruk dan hipoksemia.
- Murmur Jantung: Dapat menunjukkan persistensi duktus arteriosus (PDA) atau disfungsi miokard.
- Waktu Pengisian Kapiler Memanjang: Lebih dari 3 detik, menunjukkan perfusi perifer yang buruk.
- Hipertensi Pulmonal Persisten (PPHN): Vasokonstriksi pembuluh darah paru yang persisten, menyebabkan darah memintas paru-paru dan hipoksemia berat.
C. Manifestasi Pernapasan
- Apnea: Henti napas, bisa primer atau sekunder.
- Gasping: Pernapasan terengah-engah yang tidak efektif.
- Takipnea: Pernapasan cepat sebagai kompensasi awal.
- Retraksi Dinding Dada, Napas Cuping Hidung, Grunting: Tanda-tanda distres pernapasan.
- Sianosis: Kebiruan pada bibir dan ujung jari karena oksigenasi yang tidak adekuat.
- Sindrom Aspirasi Mekonium (SAM): Jika mekonium teraspirasi, dapat menyebabkan distres pernapasan yang berat.
D. Manifestasi Ginjal
- Oliguria atau Anuria: Penurunan produksi urine atau tidak ada produksi urine sama sekali, tanda gagal ginjal akut akibat nekrosis tubulus akut (ATN).
- Peningkatan Kreatinin dan Urea Darah: Indikator fungsi ginjal yang terganggu.
E. Manifestasi Gastrointestinal
- Intoleransi Makanan: Bayi mungkin tidak dapat mentolerir asupan oral.
- Perut Kembung, Muntah Bilious: Tanda-tanda iskemia usus atau ileus.
- Enterokolitis Nekrotikans (NEC): Komplikasi serius pada usus, terutama pada bayi prematur, yang bermanifestasi dengan perut kembung, sisa lambung kehijauan, dan perdarahan rektum.
F. Manifestasi Hematologi
- Trombositopenia: Penurunan jumlah trombosit.
- Koagulopati: Gangguan pembekuan darah, dengan peningkatan risiko perdarahan (misalnya, perdarahan intrakranial, perdarahan paru).
- DIC (Disseminated Intravascular Coagulation): Koagulasi intravaskular diseminata, kondisi serius dengan aktivasi berlebihan sistem pembekuan dan fibrinolitik.
G. Manifestasi Metabolik dan Endokrin
- Hipoglikemia: Kadar gula darah rendah.
- Hipokalsemia: Kadar kalsium darah rendah.
- Asidosis Metabolik: Kadar pH darah rendah akibat akumulasi asam laktat.
Penilaian yang komprehensif terhadap manifestasi klinis ini memungkinkan tenaga medis untuk menentukan keparahan asfiksia dan memberikan penanganan yang sesuai untuk meminimalkan kerusakan organ.
VI. Penanganan Asfiksia Neonatorum
Penanganan asfiksia neonatorum adalah gawat darurat medis yang memerlukan respons cepat, terkoordinasi, dan berdasarkan pedoman resusitasi neonatus terbaru. Tujuannya adalah untuk mengembalikan oksigenasi dan perfusi yang adekuat ke seluruh tubuh, terutama otak dan jantung, serta mencegah atau meminimalkan komplikasi jangka panjang.
A. Resusitasi Neonatus
Resusitasi neonatus mengikuti prinsip-prinsip Program Resusitasi Neonatus (NRP) yang dikeluarkan oleh American Academy of Pediatrics dan American Heart Association, atau panduan serupa dari organisasi kesehatan lainnya. Langkah-langkah resusitasi yang efektif dalam "golden minute" (menit pertama kehidupan) sangat krusial.
- Penilaian Awal Cepat (Dalam 30 detik pertama):
- Tiga pertanyaan kunci:
- Apakah bayi lahir cukup bulan?
- Apakah cairan ketuban jernih?
- Apakah bayi bernapas spontan atau menangis kuat dan tonus otot baik?
- Jika jawaban untuk semua pertanyaan adalah "YA", bayi dapat diletakkan di dada ibu untuk kontak kulit-ke-kulit dan observasi.
- Jika ada jawaban "TIDAK" (bayi prematur, cairan ketuban bercampur mekonium, atau bayi tidak bernapas/lemas), bayi harus segera dibawa ke meja resusitasi yang hangat untuk tindakan stabilisasi.
- Tiga pertanyaan kunci:
- Langkah Awal Stabilisasi (Dalam 30 detik berikutnya):
- Hangatkan: Keringkan bayi secara menyeluruh dengan handuk hangat, ganti dengan handuk kering, dan letakkan di bawah lampu penghangat atau inkubator. Jika bayi prematur, gunakan pembungkus plastik atau kantong food-grade.
- Posisikan Kepala: Posisikan kepala bayi sedikit ekstensi ("posisi menghidu") untuk membuka jalan napas.
- Bersihkan Jalan Napas: Jika ada cairan atau lendir berlebihan yang menghalangi jalan napas, lakukan isap lendir (suction) dari mulut lalu hidung. Suction trakea hanya dilakukan jika bayi tidak bugar dan ada mekonium kental.
- Stimulasi: Gosok punggung bayi atau telapak kakinya untuk merangsang pernapasan.
Setelah langkah awal, nilai kembali pernapasan, detak jantung (HR), dan warna kulit.
- Ventilasi Tekanan Positif (VTP):
- Jika setelah 30 detik langkah awal, bayi masih apnea, megap-megap (gasping), atau detak jantung < 100 denyut/menit, segera mulai VTP.
- Gunakan balon resusitasi dan sungkup (bag-mask ventilation) atau T-piece resuscitator. Berikan 40-60 napas per menit.
- Evaluasi respons setelah 15 detik VTP. Jika dada mengembang, lanjutkan VTP. Jika tidak, periksa posisi sungkup, jalan napas, tekanan, dan pastikan tidak ada kebocoran (MR. SOPA).
- Oksigenasi: Pada bayi cukup bulan, mulai dengan udara ruangan (21% oksigen). Pada bayi prematur (< 35 minggu), mulai dengan 21-30% oksigen. Sesuaikan konsentrasi oksigen berdasarkan saturasi oksigen (SpO2) yang dipantau dengan pulse oximeter.
- Jika detak jantung masih < 100 denyut/menit setelah 30 detik VTP yang efektif (dada mengembang), lanjutkan VTP dan pertimbangkan intubasi endotrakeal.
- Kompresi Dada:
- Jika detak jantung < 60 denyut/menit setelah 30 detik VTP yang efektif (biasanya setelah intubasi), segera mulai kompresi dada.
- Teknik kompresi dada: Dua jempol pada sepertiga bawah tulang dada (sternum), dengan jari-jari melingkari punggung bayi. Atau, dua jari (telunjuk dan tengah) jika hanya satu penolong.
- Rasio kompresi: 3 kompresi diikuti 1 ventilasi (3:1). Total 90 kompresi dan 30 ventilasi per menit, atau 120 tindakan per menit.
- Kompresi dan ventilasi harus dikoordinasikan secara ketat.
- Pemberian Obat-obatan:
- Epinefrin (Adrenalin): Jika detak jantung masih < 60 denyut/menit setelah 30 detik kompresi dada dan VTP yang efektif.
- Dosis: 0.01-0.03 mg/kg IV atau 0.05-0.1 mg/kg via endotrakeal (rute IV lebih disukai dan lebih cepat).
- Diulang setiap 3-5 menit sesuai kebutuhan.
- Pengembangan Volume (Volume Expander): Jika ada tanda-tanda syok (pucat, perfusi buruk, HR normal atau tinggi tapi respons buruk terhadap resusitasi), dan dicurigai kehilangan darah.
- Dosis: Bolus 10 mL/kg cairan kristaloid (normal saline) atau darah O Rh-negatif.
- Epinefrin (Adrenalin): Jika detak jantung masih < 60 denyut/menit setelah 30 detik kompresi dada dan VTP yang efektif.
- Penghentian Resusitasi:
- Resusitasi dapat dipertimbangkan untuk dihentikan jika tidak ada detak jantung setelah 10 menit resusitasi yang adekuat, meskipun keputusan ini harus dipertimbangkan secara individual.
B. Perawatan Pasca Resusitasi (Post-Resuscitation Care)
Setelah resusitasi berhasil dan bayi stabil, perawatan intensif pasca-resusitasi sangat penting untuk mendukung fungsi organ, mencegah cedera sekunder, dan mengelola komplikasi.
- Terapi Hipotermia Terapeutik (Therapeutic Hypothermia/Cooling):
- Ini adalah intervensi neuroprotektif yang terbukti efektif untuk bayi cukup bulan atau mendekati cukup bulan (≥ 36 minggu gestasi) yang mengalami HIE sedang hingga berat.
- Mekanisme: Pendinginan tubuh bayi hingga suhu inti 33.5°C - 34.5°C selama 72 jam, diikuti oleh penghangatan kembali secara perlahan. Hipotermia menurunkan laju metabolisme otak, mengurangi kebutuhan oksigen, mengurangi pelepasan neurotransmiter eksitatorik, mengurangi produksi radikal bebas, dan menekan respons inflamasi.
- Kriteria Inklusi: Bayi ≥ 36 minggu gestasi, usia < 6 jam, asfiksia perinatal (misalnya, pH tali pusat < 7.0, skor Apgar ≤ 5 pada menit ke-10, kebutuhan resusitasi ekstensif), dan HIE stadium II atau III.
- Metode: Dapat menggunakan selimut pendingin khusus (servoregulasi) atau pendinginan pasif dengan mematikan lampu penghangat dan membiarkan suhu ruangan turun.
- Pemantauan Ketat: Suhu inti (rektal atau esofagus), detak jantung, tekanan darah, saturasi oksigen, EEG kontinu (aEEG), gula darah, elektrolit, dan tanda-tanda disfungsi organ.
- Dukungan Ventilasi:
- Banyak bayi asfiksia membutuhkan dukungan pernapasan. Ini bisa berupa terapi oksigen, CPAP (Continuous Positive Airway Pressure), atau ventilasi mekanik.
- Tujuan adalah menjaga oksigenasi dan ventilasi yang adekuat (target SpO2 90-95%, PCO2 40-50 mmHg) dengan tekanan serendah mungkin untuk mencegah cedera paru.
- Dukungan Kardiovaskular:
- Pantau tekanan darah secara kontinu. Berikan inotropik (misalnya, dopamin, dobutamin) jika terjadi hipotensi yang tidak responsif terhadap cairan.
- Koreksi asidosis metabolik dengan bikarbonat jika diperlukan, meskipun koreksi asidosis seringkali membaik dengan ventilasi dan perfusi yang adekuat.
- Manajemen Cairan dan Elektrolit:
- Asupan cairan harus dibatasi pada 60-80 mL/kg/hari pada hari-hari pertama untuk mencegah edema serebri.
- Pantau elektrolit (natrium, kalium, kalsium) dan gula darah secara ketat. Koreksi ketidakseimbangan yang terjadi.
- Jaga kadar gula darah dalam rentang normal untuk mencegah hipoglikemia atau hiperglikemia, yang keduanya dapat memperburuk cedera otak.
- Manajemen Kejang:
- Kejang adalah komplikasi umum HIE dan harus segera ditangani karena dapat memperburuk cedera otak.
- Obat pilihan pertama adalah fenobarbital. Jika tidak terkontrol, dapat digunakan benzodiazepin (midazolam, lorazepam) atau levetiracetam.
- Pemantauan EEG kontinu sangat penting untuk mendeteksi kejang subklinis.
- Dukungan Nutrisi:
- Nutrisi enteral (melalui ASI atau formula) harus dimulai sesegera mungkin jika kondisi usus memungkinkan, meskipun pada awalnya mungkin melalui selang nasogastrik dengan volume kecil (tropic feeding).
- Nutrisi parenteral total (TPN) mungkin diperlukan jika asupan enteral tidak memungkinkan.
- Pengendalian Infeksi:
- Bayi asfiksia memiliki risiko infeksi yang lebih tinggi. Antibiotik profilaksis sering diberikan sampai hasil kultur negatif.
- Manajemen Komplikasi Lain:
- Pantau tanda-tanda gagal ginjal, NEC, atau koagulopati dan tangani sesuai protokol.
Penanganan yang komprehensif ini memerlukan tim multidisiplin yang terdiri dari neonatologis, perawat neonatus, terapis pernapasan, neurolog anak, ahli gizi, dan pekerja sosial untuk memastikan perawatan holistik bagi bayi dan dukungan bagi keluarga.
VII. Komplikasi dan Prognosis
Asfiksia neonatorum dapat menyebabkan berbagai komplikasi, baik jangka pendek maupun jangka panjang, yang sangat mempengaruhi kualitas hidup bayi yang bertahan hidup. Prognosis sangat tergantung pada tingkat keparahan asfiksia, respons terhadap resusitasi, dan adanya ensefalopati hipoksik-iskemik (HIE).
A. Komplikasi Jangka Pendek
Komplikasi ini muncul dalam beberapa hari atau minggu pertama kehidupan dan mencerminkan kerusakan pada berbagai sistem organ.
- Sistem Saraf Pusat:
- Ensefalopati Hipoksik-Iskemik (HIE): Seperti yang dijelaskan sebelumnya, HIE adalah cedera otak paling signifikan dan merupakan dasar bagi sebagian besar komplikasi neurologis.
- Kejang: Sering terjadi pada HIE sedang hingga berat.
- Edema Serebri: Pembengkakan otak akibat akumulasi cairan, yang dapat meningkatkan tekanan intrakranial.
- Perdarahan Intrakranial: Dapat terjadi, terutama pada bayi prematur atau dengan trauma lahir.
- Sistem Kardiovaskular:
- Disfungsi Miokard: Jantung yang melemah, menyebabkan hipotensi dan gagal jantung.
- Hipertensi Pulmonal Persisten pada Neonatus (PPHN): Kondisi serius di mana pembuluh darah paru tetap konstriksi, menghambat aliran darah ke paru-paru dan menyebabkan hipoksemia berat.
- Syok Kardiogenik: Kegagalan jantung memompa darah secara efektif.
- Sistem Pernapasan:
- Sindrom Distres Pernapasan (RDS): Terutama pada bayi prematur, diperparah oleh asfiksia.
- Pneumonia Aspirasi: Akibat aspirasi mekonium atau cairan ketuban yang terinfeksi.
- Perdarahan Paru: Komplikasi serius dan seringkali fatal.
- Sistem Ginjal:
- Gagal Ginjal Akut (Acute Kidney Injury - AKI): Nekrosis tubulus akut (ATN) adalah yang paling umum, menyebabkan oliguria atau anuria dan ketidakseimbangan elektrolit.
- Sistem Gastrointestinal:
- Enterokolitis Nekrotikans (NEC): Kondisi serius yang menyebabkan kerusakan dan kematian jaringan usus, sering memerlukan tindakan bedah.
- Perdarahan Saluran Cerna: Akibat stress ulcer atau iskemia mukosa.
- Sistem Hematologi:
- Koagulopati: Gangguan pembekuan darah, meningkatkan risiko perdarahan di mana saja.
- Trombositopenia: Penurunan jumlah trombosit.
- DIC (Disseminated Intravascular Coagulation): Koagulopati berat dengan pembentukan bekuan darah kecil di seluruh tubuh, yang menguras faktor pembekuan dan menyebabkan perdarahan.
- Gangguan Metabolik:
- Hipoglikemia: Kadar gula darah rendah yang dapat menyebabkan kerusakan otak lebih lanjut.
- Hipokalsemia: Kadar kalsium darah rendah.
- Asidosis Metabolik: Persisten meskipun telah dilakukan resusitasi.
B. Komplikasi Jangka Panjang
Komplikasi jangka panjang terutama berkaitan dengan cedera neurologis dan dapat sangat mengganggu kualitas hidup individu.
- Cerebral Palsy (CP):
- Ini adalah salah satu komplikasi neurologis paling umum dan serius, ditandai dengan gangguan motorik dan postur tubuh akibat kerusakan otak yang tidak progresif. Bentuk spastik adalah yang paling sering.
- Keterlambatan Perkembangan Global:
- Keterlambatan dalam mencapai tonggak perkembangan (motorik kasar, motorik halus, bahasa, kognitif, sosial) pada berbagai tingkat.
- Gangguan Kognitif dan Belajar:
- Kesulitan dalam memproses informasi, memori, pemecahan masalah, dan kemampuan akademik.
- Epilepsi:
- Gangguan kejang berulang yang tidak diprovokasi.
- Gangguan Sensorik:
- Gangguan Penglihatan: Kortikal *visual impairment*, strabismus.
- Gangguan Pendengaran: Kehilangan pendengaran sensorineural.
- Gangguan Perilaku dan Psikologis:
- Gangguan hiperaktivitas defisit perhatian (ADHD), gangguan spektrum autisme, masalah perilaku lainnya.
C. Prognosis
Prognosis untuk bayi dengan asfiksia neonatorum sangat bervariasi dan bergantung pada beberapa faktor kunci:
- Tingkat Keparahan HIE: HIE stadium I memiliki prognosis sangat baik, sebagian besar pulih tanpa sekuele. HIE stadium II memiliki prognosis yang lebih bervariasi, dengan sekitar 20-40% mengembangkan sekuele neurologis. HIE stadium III memiliki prognosis sangat buruk, dengan mortalitas >50% dan hampir semua yang bertahan hidup mengalami disabilitas neurologis berat.
- Durasi dan Tingkat Keparahan Asfiksia: Semakin lama dan semakin parah episode asfiksia, semakin buruk prognosisnya.
- Respons terhadap Resusitasi: Resusitasi yang cepat dan efektif dapat meminimalkan cedera otak.
- Adanya Hipotermia Terapeutik: Pada bayi yang memenuhi syarat, terapi hipotermia telah terbukti meningkatkan hasil neurologis dan menurunkan mortalitas.
- Temuan Pencitraan Otak (MRI): Pola dan tingkat keparahan lesi yang terlihat pada MRI kepala memiliki nilai prognostik yang kuat.
- Skor Apgar: Skor Apgar 0-3 yang menetap pada menit ke-10 atau ke-20 sangat terkait dengan prognosis buruk.
- EEG/aEEG: Pola EEG yang sangat abnormal (misalnya, *burst suppression*, *flat trace*) menunjukkan kerusakan otak yang parah dan prognosis buruk.
Bayi yang mengalami asfiksia neonatorum memerlukan tindak lanjut jangka panjang oleh tim multidisiplin (pediatri, neurolog anak, rehabilitasi, terapi okupasi, fisioterapi, terapi wicara) untuk memantau perkembangan, mendeteksi masalah secara dini, dan memberikan intervensi yang diperlukan.
VIII. Pencegahan Asfiksia Neonatorum
Pencegahan adalah strategi terbaik dalam menghadapi asfiksia neonatorum, karena sekali terjadi, kerusakannya sulit sepenuhnya diperbaiki. Upaya pencegahan harus dimulai sejak sebelum kehamilan hingga periode postnatal segera. Fokus utamanya adalah memastikan kesehatan ibu yang optimal, persalinan yang aman, dan kesiapan resusitasi yang memadai.
A. Perawatan Antenatal yang Komprehensif
Perawatan antenatal yang berkualitas tinggi dapat mengidentifikasi dan mengelola faktor risiko sebelum persalinan, sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya asfiksia.
- Skrining dan Penanganan Penyakit Maternal:
- Identifikasi dan manajemen yang tepat untuk kondisi seperti diabetes gestasional, hipertensi (termasuk preeklampsia), anemia, penyakit jantung, infeksi (misalnya, TORCH, HIV, sifilis), dan penyakit tiroid.
- Pengendalian gula darah pada ibu diabetes dan tekanan darah pada ibu hipertensi sangat penting.
- Deteksi Dini Komplikasi Kehamilan:
- Pemantauan pertumbuhan janin untuk mendeteksi IUGR atau makrosomia.
- Identifikasi kelainan plasenta (plasenta previa, solusio plasenta) atau tali pusat (prolaps tali pusat, lilitan tali pusat).
- Evaluasi volume cairan ketuban (oligohidramnion, polihidramnion).
- Edukasi Ibu:
- Memberikan informasi tentang tanda-tanda bahaya kehamilan dan persalinan, pentingnya nutrisi yang baik, menghindari merokok, alkohol, dan obat-obatan terlarang.
- Pemberian Steroid Antenatal:
- Pada kehamilan preterm yang berisiko (antara 24 dan 34 minggu), pemberian kortikosteroid antenatal (misalnya, betametason) mempercepat pematangan paru-paru janin, mengurangi risiko Sindrom Distres Pernapasan (RDS) yang dapat memperburuk asfiksia.
- Pemantauan Kesejahteraan Janin:
- Pada kehamilan berisiko tinggi atau lewat waktu, pemantauan kesejahteraan janin dengan ultrasonografi (profil biofisik) atau *non-stress test* (NST) dapat mendeteksi gawat janin sebelum persalinan.
B. Penanganan Intrapartum yang Optimal
Sebagian besar asfiksia terjadi selama persalinan, sehingga manajemen yang cermat selama proses ini sangat penting.
- Kehadiran Tenaga Kesehatan Terlatih:
- Setiap persalinan harus dihadiri oleh bidan atau dokter yang terlatih untuk mengidentifikasi dan menangani komplikasi, serta melakukan resusitasi neonatus dasar.
- Pemantauan Ketat Selama Persalinan:
- Pantau denyut jantung janin secara kontinu atau intermiten untuk mendeteksi tanda-tanda gawat janin (misalnya, deselerasi denyut jantung janin).
- Pantau kontraksi uterus untuk menghindari hiperstimulasi.
- Catat kemajuan persalinan untuk mendeteksi persalinan lama atau macet.
- Intervensi Cepat untuk Gawat Janin:
- Jika terdeteksi gawat janin, intervensi harus dilakukan dengan cepat. Ini mungkin termasuk mengubah posisi ibu, pemberian oksigen pada ibu, menghentikan oksitosin, atau melakukan persalinan darurat (misalnya, seksio sesarea).
- Pada kasus prolaps tali pusat atau solusio plasenta, persalinan darurat adalah prioritas utama.
- Penanganan Cairan Ketuban Bercampur Mekonium:
- Jika cairan ketuban bercampur mekonium dan bayi lahir tidak bugar, jalan napas harus segera diisap. Intubasi dan isap trakea mungkin diperlukan.
- Kesiapan Resusitasi:
- Setiap ruang persalinan harus dilengkapi dengan peralatan resusitasi neonatus yang lengkap dan berfungsi baik.
- Tenaga medis yang hadir harus terlatih dan terampil dalam melakukan resusitasi neonatus sesuai pedoman terbaru.
- Briefing sebelum persalinan berisiko tinggi dapat membantu mengantisipasi masalah dan mengkoordinasikan tim resusitasi.
Gambar 4: Tangan yang melindungi, simbol komitmen terhadap pencegahan dan perawatan yang optimal.
C. Peningkatan Akses dan Kualitas Pelayanan Kesehatan
Di tingkat sistem kesehatan, upaya pencegahan melibatkan:
- Peningkatan Akses ke Perawatan Antenatal: Memastikan semua ibu hamil menerima setidaknya empat kunjungan antenatal yang berkualitas.
- Fasilitas Persalinan Aman: Mendorong persalinan di fasilitas kesehatan dengan tenaga terlatih.
- Pelatihan dan Pendidikan Berkelanjutan:
- Memberikan pelatihan rutin tentang resusitasi neonatus (NRP) kepada semua tenaga kesehatan yang terlibat dalam persalinan.
- Edukasi tentang identifikasi faktor risiko dan penanganan komplikasi obstetrik.
- Ketersediaan Peralatan dan Obat-obatan: Memastikan fasilitas kesehatan memiliki peralatan resusitasi yang berfungsi, obat-obatan esensial, dan pasokan oksigen yang cukup.
- Sistem Rujukan yang Efektif: Membangun sistem rujukan yang cepat dan efisien untuk kasus-kasus berisiko tinggi atau komplikasi persalinan ke fasilitas yang lebih tinggi.
- Program Kesehatan Masyarakat: Kampanye kesadaran masyarakat tentang pentingnya perawatan kehamilan dan persalinan yang aman.
Dengan menerapkan strategi pencegahan yang komprehensif ini, beban asfiksia neonatorum dan komplikasi jangka panjangnya dapat dikurangi secara signifikan, memberikan awal kehidupan yang lebih baik bagi bayi baru lahir di seluruh dunia.
IX. Kesimpulan
Asfiksia neonatorum adalah tantangan medis yang signifikan, mempengaruhi jutaan bayi baru lahir setiap tahunnya dan menyebabkan morbiditas serta mortalitas yang substansial, terutama di negara-negara berkembang. Kondisi gawat darurat ini, yang ditandai dengan kegagalan pernapasan pada saat lahir, mengakibatkan hipoksemia, hiperkapnia, dan asidosis, yang secara cepat dapat merusak organ vital, terutama otak.
Pemahaman mendalam mengenai etiologi asfiksia, mulai dari faktor antenatal seperti penyakit maternal dan komplikasi kehamilan, hingga faktor intranatal seperti gangguan plasenta, kompresi tali pusat, dan persalinan sulit, sangat penting. Patofisiologi yang kompleks melibatkan respons tubuh terhadap kekurangan oksigen, transisi ke metabolisme anaerobik, dan pelepasan zat-zat neurotoksik, yang pada akhirnya memicu kerusakan seluler dan disfungsi multiorgan.
Diagnosis yang akurat memerlukan kombinasi penilaian klinis yang cepat (termasuk Skor Apgar yang persisten rendah), analisis gas darah tali pusat arteri yang menunjukkan asidosis, dan pencitraan otak seperti MRI untuk mengevaluasi tingkat keparahan ensefalopati hipoksik-iskemik (HIE). Manifestasi klinis bervariasi dari gangguan neurologis (HIE stadium I-III), hingga disfungsi kardiovaskular, pernapasan, ginjal, gastrointestinal, dan hematologi, yang semuanya memerlukan pengawasan ketat.
Penanganan asfiksia neonatorum adalah balapan melawan waktu. Resusitasi neonatus yang efektif dalam "golden minute" dengan langkah-langkah stabilisasi, ventilasi tekanan positif, kompresi dada, dan kadang-kadang obat-obatan seperti epinefrin, adalah krusial untuk menyelamatkan jiwa dan meminimalkan kerusakan. Setelah resusitasi berhasil, perawatan pasca-resusitasi yang intensif, termasuk terapi hipotermia terapeutik pada kasus HIE sedang hingga berat, dukungan ventilasi, kardiovaskular, manajemen cairan dan elektrolit, serta kontrol kejang, menjadi fondasi untuk pemulihan dan neuroproteksi.
Meskipun upaya penanganan dapat memitigasi sebagian kerusakan, komplikasi jangka pendek dan panjang asfiksia tetap menjadi perhatian serius. Dari gagal organ akut hingga sekuele neurologis permanen seperti cerebral palsy, keterlambatan perkembangan, epilepsi, dan gangguan sensorik, dampak asfiksia dapat membayangi kehidupan seorang anak. Oleh karena itu, prognosis sangat bergantung pada keparahan awal, kecepatan intervensi, dan respons individu terhadap terapi.
Pada akhirnya, pencegahan adalah pilar utama dalam memerangi asfiksia neonatorum. Ini mencakup perawatan antenatal yang komprehensif untuk mengidentifikasi dan mengelola faktor risiko, penanganan intrapartum yang optimal dengan pemantauan ketat dan intervensi cepat, serta peningkatan akses dan kualitas pelayanan kesehatan secara keseluruhan. Dengan meningkatkan kesadaran, melatih tenaga kesehatan, dan menyediakan fasilitas yang memadai, kita dapat secara signifikan mengurangi insiden dan dampak merusak dari asfiksia neonatorum, memberikan kesempatan terbaik bagi setiap bayi untuk memulai kehidupan dengan sehat.