Akidah adalah fondasi yang kokoh dalam bangunan Islam, sebuah landasan yang di atasnya seluruh ajaran dan praktik agama didirikan. Tanpa pemahaman yang benar dan keyakinan yang kuat terhadap akidah, seorang Muslim akan kesulitan untuk menavigasi kompleksitas kehidupan dunia dan mencapai kebahagiaan sejati di akhirat. Artikel ini akan mengupas tuntas seluk-beluk akidah Islam, mulai dari definisinya, sumber-sumbernya, rukun-rukunnya, pentingnya, hingga tantangan dan cara memeliharanya, dengan harapan dapat memberikan pemahaman yang komprehensif dan mendalam bagi setiap pembaca.
I. Pengertian dan Makna Akidah
A. Definisi Linguistik dan Terminologi
Secara etimologi, kata "akidah" berasal dari bahasa Arab, yakni dari akar kata 'aqada (عَقَدَ) yang berarti mengikat, mengokohkan, mengikat kuat, atau meneguhkan. Dari kata tersebut, terbentuklah 'aqdun (عَقْدٌ) yang bermakna ikatan atau simpul, dan 'aqidah (عَقِيدَةٌ) yang merujuk pada keyakinan atau keimanan. Oleh karena itu, secara harfiah, akidah dapat diartikan sebagai "ikatan" atau "simpul" yang mengikat hati seseorang pada suatu keyakinan, sehingga keyakinan tersebut menjadi kokoh dan tidak mudah goyah.
Dalam terminologi syariat Islam, akidah memiliki makna yang lebih spesifik. Para ulama mendefinisikannya sebagai keyakinan-keyakinan pokok yang merujuk kepada Allah Ta'ala, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, serta qada dan qadar-Nya, yang tertanam kuat dalam hati seorang Muslim dan tidak boleh sedikit pun digoyahkan oleh keraguan atau syak wasangka. Akidah juga dapat diartikan sebagai keseluruhan prinsip-prinsip dasar yang menjadi pegangan hidup seorang Muslim, yang membentuk pandangan dunianya, cara berpikirnya, dan tindak tanduknya. Ini adalah keyakinan yang mengikat erat antara seorang hamba dengan Tuhannya, membentuk dasar dari segala ibadah dan muamalah.
B. Kedudukan Akidah dalam Islam
Kedudukan akidah dalam Islam sangat sentral dan fundamental. Ia ibarat akar bagi sebatang pohon atau fondasi bagi sebuah bangunan. Tanpa akar yang kuat, pohon akan mudah tumbang; tanpa fondasi yang kokoh, bangunan akan runtuh. Demikian pula, tanpa akidah yang benar, keislaman seseorang akan rapuh dan mudah terombang-ambing oleh berbagai pengaruh dan godaan.
Akidah adalah basis dari segala amal ibadah. Salat, puasa, zakat, haji, sedekah, dan semua bentuk ketaatan lainnya tidak akan bernilai di sisi Allah Ta'ala jika tidak dilandasi oleh akidah yang sahih. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur'an, "Barangsiapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya." (QS. Al-Kahf: 110). Ayat ini dengan jelas menggarisbawahi bahwa amal saleh harus disertai dengan ketauhidan (akidah yang benar), bebas dari syirik.
Akidah juga menjadi pembeda antara keimanan dan kekafiran. Seseorang dikatakan Muslim karena ia meyakini akidah Islam. Sebaliknya, seseorang dikatakan kafir jika ia menolak atau mengingkari akidah tersebut. Oleh karena itu, mempelajari dan memahami akidah adalah prioritas utama bagi setiap Muslim, bahkan mendahului pembelajaran fikih (hukum-hukum Islam) dan akhlak (etika).
II. Sumber-Sumber Akidah Islam
Akidah Islam bukanlah ajaran yang dibuat-buat oleh manusia atau hasil dari spekulasi filosofis. Sebaliknya, akidah Islam bersumber dari wahyu Ilahi yang terpelihara kemurniannya, sehingga kebenaran dan keabsahannya tidak diragukan lagi. Ada tiga sumber utama akidah Islam yang diakui oleh Ahlussunnah wal Jama'ah:
A. Al-Qur'an Al-Karim
Al-Qur'an adalah kalamullah (firman Allah) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam melalui perantara Malaikat Jibril. Ia adalah sumber akidah yang paling utama dan otentik. Seluruh ajaran mengenai ketauhidan, sifat-sifat Allah, keberadaan malaikat, kenabian, hari kebangkitan, surga dan neraka, serta qada dan qadar dijelaskan secara gamblang dan rinci dalam Al-Qur'an.
Keunikan Al-Qur'an sebagai sumber akidah terletak pada kemurniannya yang terjaga dari campur tangan manusia. Allah Ta'ala berfirman, "Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya." (QS. Al-Hijr: 9). Oleh karena itu, setiap keyakinan yang didasarkan pada Al-Qur'an memiliki otoritas mutlak dan tidak bisa dibantah. Memahami akidah harus dimulai dengan mengkaji ayat-ayat Al-Qur'an dengan tafsir yang sahih, sesuai dengan pemahaman para sahabat dan ulama salaf.
B. As-Sunnah An-Nabawiyah
As-Sunnah merujuk pada segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, baik berupa perkataan (hadis), perbuatan, maupun persetujuan (taqrir) beliau. Sunnah merupakan penjelas dan pelengkap Al-Qur'an. Allah Ta'ala berfirman, "Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka agar mereka memikirkannya." (QS. An-Nahl: 44).
Banyak rincian akidah yang tidak dijelaskan secara eksplisit dalam Al-Qur'an, namun diterangkan secara detail oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam melalui sunnahnya. Contohnya, rincian tentang sifat-sifat Allah, tata cara keyakinan terhadap malaikat, tanda-tanda hari kiamat, dan hakikat qada dan qadar. Oleh karena itu, berpegang teguh pada sunnah Nabi adalah keniscayaan dalam membangun akidah yang benar. Namun, sunnah yang dijadikan rujukan haruslah sunnah yang sahih, yang telah terverifikasi keotentikannya melalui ilmu hadis.
C. Ijma' Salafush Shalih
Ijma' secara bahasa berarti kesepakatan. Dalam konteks syariat, ijma' merujuk pada kesepakatan para ulama mujtahid dari kalangan umat Islam pada suatu masa tertentu atas suatu hukum syara'. Ijma' salafush shalih (kesepakatan ulama generasi terbaik umat, yaitu para sahabat Nabi dan tabi'in) memiliki kedudukan yang sangat penting dalam menetapkan akidah.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Umatku tidak akan bersepakat di atas kesesatan." (HR. Tirmidzi). Hadis ini menunjukkan bahwa ijma' umat, khususnya ijma' para salafush shalih, merupakan salah satu sumber kebenaran. Keyakinan-keyakinan yang telah disepakati oleh para sahabat dan generasi setelahnya yang saleh, merupakan bagian integral dari akidah Islam yang tidak boleh ditentang. Pemahaman yang benar terhadap Al-Qur'an dan Sunnah adalah sebagaimana yang dipahami dan diamalkan oleh generasi terbaik umat ini, karena mereka adalah saksi langsung atas turunnya wahyu dan penerapan ajaran Islam.
III. Rukun-Rukun Akidah (Rukun Iman)
Akidah Islam diringkas dalam enam rukun iman, yang wajib diyakini oleh setiap Muslim. Rukun iman ini merupakan inti dari keyakinan seorang Muslim dan menjadi pembeda antara seorang mukmin sejati dengan yang lainnya. Enam rukun iman ini disebutkan secara gamblang dalam hadis Jibril yang masyhur, di mana Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan tentang iman sebagai berikut: "Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan engkau beriman kepada qada dan qadar, yang baik maupun yang buruk."
A. Iman kepada Allah
Iman kepada Allah adalah rukun iman yang paling fundamental dan merupakan poros dari seluruh akidah Islam. Iman ini mencakup empat aspek utama yang disebut sebagai tauhid:
1. Tauhid Rububiyah
Tauhid Rububiyah adalah keyakinan bahwa Allah adalah satu-satunya Rabb (Tuhan) Yang Maha Pencipta, Maha Pengatur, Maha Pemberi Rezeki, Maha Menghidupkan, Maha Mematikan, dan Maha Mengatur segala sesuatu di alam semesta ini. Tidak ada sekutu bagi-Nya dalam rububiyah-Nya. Keyakinan ini secara fitrah diakui oleh hampir semua manusia, bahkan oleh sebagian kaum musyrikin sekalipun, mereka mengakui bahwa Allah adalah Pencipta.
Contohnya, Allah berfirman, "Katakanlah (Muhammad): "Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?" Maka mereka akan menjawab: "Allah." Maka katakanlah "Mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?" (QS. Yunus: 31). Ini menunjukkan bahwa pengakuan terhadap tauhid rububiyah saja tidak cukup untuk menjadi seorang mukmin sejati, karena kaum musyrikin pun mengakuinya.
2. Tauhid Uluhiyah
Tauhid Uluhiyah adalah keyakinan bahwa Allah adalah satu-satunya Ilah (Sesembahan) yang berhak disembah dan diibadahi dengan benar, tanpa mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Segala bentuk ibadah, baik lahir maupun batin, seperti salat, puasa, zakat, haji, doa, tawakkal, nazar, kurban, rasa takut, harap, dan cinta, harus ditujukan hanya kepada Allah semata. Inilah inti dari kalimat syahadat "La ilaha illallah" (Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah).
Penyimpangan dalam tauhid uluhiyah inilah yang seringkali menjerumuskan manusia ke dalam syirik, yaitu menyekutukan Allah dalam ibadah. Banyak kaum musyrikin pada zaman Nabi pun mengakui tauhid rububiyah, tetapi mereka gagal dalam tauhid uluhiyah dengan menyembah patung, berhala, atau meminta pertolongan kepada selain Allah. Oleh karena itu, tauhid uluhiyah merupakan pokok dakwah para Nabi dan Rasul dari masa ke masa.
3. Tauhid Asma wa Sifat
Tauhid Asma wa Sifat adalah keyakinan bahwa Allah memiliki nama-nama yang indah (Asmaul Husna) dan sifat-sifat yang sempurna, sebagaimana yang telah Allah tetapkan bagi Diri-Nya sendiri dalam Al-Qur'an dan sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sunnahnya. Kita wajib mengimani nama dan sifat Allah tersebut tanpa tahrif (mengubah maknanya), ta'thil (meniadakannya), takyif (mengkhayalkan atau mempertanyakan bagaimana hakikatnya), maupun tamtsil (menyerupakannya dengan makhluk).
Contohnya, Allah adalah Maha Melihat (Al-Bashir), Maha Mendengar (As-Sami'), Maha Berkuasa (Al-Qadir), dan Dia memiliki Tangan, Wajah, dan Kaki yang sesuai dengan keagungan-Nya, tanpa menyerupai tangan, wajah, atau kaki makhluk. Memahami tauhid ini mengharuskan kita untuk menetapkan bagi Allah apa yang Dia tetapkan untuk Diri-Nya sendiri, dan meniadakan dari-Nya apa yang Dia tiadakan dari Diri-Nya, dengan keyakinan bahwa "Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (QS. Asy-Syura: 11). Ini adalah upaya untuk memahami Allah sesuai dengan petunjuk-Nya, menjaga kemuliaan dan keagungan-Nya dari perumpamaan atau pengingkaran yang tidak layak bagi-Nya.
B. Iman kepada Malaikat
Iman kepada malaikat adalah keyakinan bahwa Allah telah menciptakan makhluk-makhluk gaib dari cahaya, yang senantiasa taat kepada-Nya, tidak pernah membangkang, dan selalu menjalankan perintah-Nya. Mereka memiliki tugas-tugas spesifik yang telah Allah amanahkan.
Kita wajib mengimani keberadaan mereka secara global (umum) dan secara rinci (spesifik) bagi malaikat yang namanya dan tugasnya telah disebutkan dalam Al-Qur'an dan Sunnah yang sahih. Contoh malaikat yang disebutkan namanya adalah Jibril (penyampai wahyu), Mikail (pengatur rezeki dan hujan), Israfil (peniup sangkakala), Izrail (pencabut nyawa), Munkar dan Nakir (penanya di kubur), Raqib dan Atid (pencatat amal baik dan buruk).
Malaikat tidak memiliki nafsu, tidak makan, tidak minum, tidak tidur, dan tidak menikah. Mereka tidak berjenis kelamin laki-laki atau perempuan. Mereka adalah hamba-hamba Allah yang mulia, bukan anak Tuhan atau sekutu Tuhan, seperti yang diyakini oleh sebagian agama lain. Mengimani malaikat berarti mengakui keagungan penciptaan Allah dan menerima adanya dimensi gaib yang tidak terjangkau oleh panca indra manusia.
C. Iman kepada Kitab-Kitab Allah
Iman kepada kitab-kitab Allah adalah keyakinan bahwa Allah telah menurunkan kitab-kitab suci kepada para nabi dan rasul-Nya sebagai petunjuk bagi umat manusia. Kitab-kitab ini berisi wahyu Allah yang mengajarkan tauhid, syariat, dan akhlak.
Kita wajib mengimani kitab-kitab tersebut secara umum, bahwa Allah telah menurunkan banyak kitab. Dan secara khusus, kitab-kitab yang namanya disebutkan dalam Al-Qur'an dan Sunnah, yaitu Taurat (kepada Nabi Musa), Zabur (kepada Nabi Daud), Injil (kepada Nabi Isa), dan Al-Qur'an (kepada Nabi Muhammad). Kita meyakini bahwa Al-Qur'an adalah kitab terakhir dan terlengkap, yang menghapus (memansukh) syariat kitab-kitab sebelumnya dan membenarkan sebagian ajarannya, serta terjaga keasliannya hingga hari kiamat.
Allah berfirman, "Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya." (QS. Al-Hijr: 9). Berbeda dengan kitab-kitab terdahulu yang telah mengalami perubahan atau penambahan oleh tangan manusia, Al-Qur'an tetap murni dan otentik. Mengimani kitab-kitab Allah berarti meyakini bahwa petunjuk ilahi telah disampaikan kepada manusia melalui berbagai utusan-Nya, dan Al-Qur'an adalah puncak dan penyempurna dari petunjuk tersebut.
D. Iman kepada Rasul-Rasul Allah
Iman kepada rasul-rasul Allah adalah keyakinan bahwa Allah telah mengutus para nabi dan rasul dari kalangan manusia untuk menyampaikan wahyu dan petunjuk kepada umat manusia. Mereka adalah teladan terbaik bagi umat mereka dalam beribadah dan bermuamalah.
Kita wajib mengimani keberadaan mereka secara umum, bahwa Allah telah mengutus banyak nabi dan rasul ke berbagai kaum. Dan secara khusus, mengimani nabi dan rasul yang namanya disebutkan dalam Al-Qur'an dan Sunnah, seperti Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Nabi Muhammad adalah penutup para nabi dan rasul, yang diutus untuk seluruh umat manusia hingga akhir zaman.
Para rasul adalah manusia biasa yang diberikan keistimewaan berupa wahyu. Mereka tidak memiliki sifat ketuhanan dan tidak berhak disembah. Tugas utama mereka adalah menyampaikan risalah Allah, mendakwahkan tauhid, dan membimbing manusia ke jalan yang benar. Mengimani rasul berarti menerima bahwa Allah tidak membiarkan manusia tanpa petunjuk, melainkan mengirimkan utusan-utusan-Nya untuk membimbing mereka.
E. Iman kepada Hari Akhir
Iman kepada hari akhir adalah keyakinan bahwa kehidupan dunia ini akan berakhir, dan akan ada kehidupan lain yang kekal di akhirat. Iman ini mencakup keyakinan terhadap segala peristiwa yang akan terjadi setelah kematian, yaitu:
1. Alam Barzakh (Alam Kubur)
Keyakinan akan adanya kehidupan setelah kematian di alam kubur, di mana setiap jiwa akan ditanyai oleh malaikat Munkar dan Nakir, dan akan merasakan nikmat kubur atau azab kubur, sesuai dengan amal perbuatannya di dunia.
2. Hari Kiamat
Keyakinan akan datangnya hari kehancuran alam semesta, tiupan sangkakala, kebangkitan seluruh makhluk dari kubur, padang Mahsyar tempat berkumpulnya seluruh manusia, hisab (perhitungan amal), mizan (timbangan amal), shirath (jembatan di atas neraka), dan pembagian catatan amal.
3. Surga dan Neraka
Keyakinan bahwa surga adalah tempat balasan kebaikan yang kekal bagi orang-orang beriman dan bertakwa, penuh dengan kenikmatan yang tak terbayangkan. Dan neraka adalah tempat balasan keburukan yang kekal bagi orang-orang kafir dan musyrik, penuh dengan azab yang pedih.
Iman kepada hari akhir memiliki dampak yang sangat besar dalam kehidupan seorang Muslim. Ia mendorong seseorang untuk berbuat kebaikan, menjauhi kemaksiatan, dan mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk kehidupan yang kekal kelak. Keyakinan ini memberikan makna dan tujuan hidup yang mendalam, melampaui batas-batas kehidupan duniawi yang fana.
F. Iman kepada Qada dan Qadar
Iman kepada qada dan qadar adalah keyakinan bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini, baik kebaikan maupun keburukan, telah ditetapkan dan digariskan oleh Allah Ta'ala sejak zaman azali. Iman ini mencakup empat tingkatan:
1. Ilmu Allah
Keyakinan bahwa Allah Maha Mengetahui segala sesuatu, baik yang telah terjadi, yang sedang terjadi, maupun yang akan terjadi, bahkan apa yang tidak terjadi seandainya terjadi, bagaimana akan terjadinya. Ilmu Allah meliputi segala hal, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, tanpa batas waktu dan ruang.
2. Penulisan di Lauhul Mahfuzh
Keyakinan bahwa Allah telah menuliskan segala takdir dan kejadian di Lauhul Mahfuzh (Lembaran yang Terpelihara) sebelum menciptakan langit dan bumi. Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Allah telah menetapkan takdir seluruh makhluk 50 ribu tahun sebelum menciptakan langit dan bumi." (HR. Muslim).
3. Kehendak (Masyi'ah) Allah yang Menyeluruh
Keyakinan bahwa tidak ada sesuatu pun yang terjadi di alam semesta ini melainkan dengan kehendak dan izin Allah. Apapun yang Allah kehendaki pasti terjadi, dan apapun yang tidak Allah kehendaki tidak akan terjadi. Kehendak Allah mutlak dan tidak bisa dibatasi oleh apapun. Ini tidak berarti manusia tidak memiliki kehendak, manusia tetap memiliki ikhtiar, tetapi ikhtiar tersebut berada dalam cakupan kehendak Allah.
4. Penciptaan Allah
Keyakinan bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta segala sesuatu, termasuk perbuatan-perbuatan makhluk-Nya. Allah menciptakan sebab dan akibatnya, serta menciptakan kemampuan dan kehendak pada diri makhluk-Nya. Manusia memiliki kehendak dan pilihan, tetapi pencipta dari kehendak dan pilihan itu adalah Allah.
Iman kepada qada dan qadar tidak berarti pasrah tanpa berusaha, melainkan justru mendorong untuk berikhtiar semaksimal mungkin, karena hasil dari usaha tersebut adalah bagian dari takdir Allah. Jika hasil yang diperoleh tidak sesuai harapan, seorang Muslim akan bersabar dan tawakkal, meyakini bahwa itu adalah ketetapan terbaik dari Allah. Jika hasilnya sesuai harapan, ia akan bersyukur. Keyakinan ini mendatangkan ketenangan jiwa dan menghindarkan diri dari sifat putus asa atau sombong.
IV. Pentingnya Akidah yang Benar
Akidah yang benar adalah kebutuhan fundamental bagi setiap individu dan masyarakat. Tanpanya, kehidupan akan kehilangan arah dan makna. Berikut adalah beberapa poin yang menjelaskan betapa vitalnya akidah yang sahih:
A. Fondasi Seluruh Ajaran Agama
Sebagaimana telah disebutkan, akidah adalah akar dari seluruh ajaran Islam. Ibadah tanpa akidah yang benar ibarat pohon tanpa akar yang kuat, ia akan mudah tumbang. Seluruh amalan saleh, baik salat, puasa, zakat, maupun haji, hanya akan diterima di sisi Allah jika pelakunya memiliki akidah tauhid yang murni, bebas dari syirik dan bid'ah. Prioritas dakwah para nabi dan rasul adalah selalu tentang tauhid, yaitu memperbaiki akidah umat manusia.
B. Penentu Kebahagiaan Dunia dan Akhirat
Akidah yang benar adalah kunci kebahagiaan sejati. Di dunia, ia membawa ketenangan jiwa, rasa aman, dan kepuasan batin karena seseorang merasa selalu terhubung dengan Penciptanya dan meyakini bahwa segala urusannya berada dalam genggaman-Nya. Di akhirat, akidah tauhid adalah satu-satunya jalan menuju surga dan penyelamat dari azab neraka. Tanpa akidah tauhid, amal sebanyak apapun tidak akan mampu menyelamatkan seseorang dari neraka, karena syirik adalah dosa yang tidak terampuni jika pelakunya meninggal dalam keadaan belum bertaubat darinya.
C. Pembentuk Kepribadian dan Akhlak Mulia
Keyakinan yang tertanam kuat dalam hati akan memengaruhi seluruh aspek kehidupan seseorang, termasuk kepribadian dan akhlaknya. Akidah tauhid menumbuhkan rasa takut kepada Allah, rasa harap hanya kepada-Nya, tawakkal, sabar, syukur, dan ikhlas. Seseorang yang memiliki akidah kuat akan senantiasa merasa diawasi oleh Allah, sehingga ia akan berhati-hati dalam setiap tindakan, perkataan, dan bahkan pikirannya. Ini akan mendorongnya untuk berakhlak mulia dan menjauhi perbuatan dosa.
D. Sumber Ketenangan Jiwa dan Kekuatan Mental
Dalam menghadapi berbagai cobaan dan tantangan hidup, akidah yang kokoh menjadi jangkar yang menenangkan hati. Seorang mukmin yang benar-benar beriman kepada qada dan qadar akan mampu menghadapi kesulitan dengan sabar dan tawakkal, karena ia yakin bahwa segala sesuatu terjadi atas izin Allah dan pasti ada hikmah di baliknya. Ia tidak akan mudah putus asa atau terlalu larut dalam kesedihan. Sebaliknya, saat mendapatkan nikmat, ia tidak akan sombong, melainkan bersyukur kepada Allah.
E. Pelindung dari Kesesatan dan Penyimpangan
Di tengah arus informasi dan berbagai paham yang saling bertabrakan, akidah yang benar berfungsi sebagai benteng pelindung dari kesesatan, bid'ah, khurafat, dan berbagai ideologi yang bertentangan dengan syariat Islam. Dengan pemahaman akidah yang kuat, seorang Muslim akan memiliki filter untuk menyaring informasi dan ajaran yang masuk, sehingga ia tidak mudah terjerumus ke dalam kesesatan. Ia akan senantiasa merujuk kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan pemahaman salafush shalih.
V. Penyimpangan dalam Akidah
Sejarah Islam menunjukkan bahwa umat manusia seringkali tergelincir dalam pemahaman akidah, sehingga menimbulkan berbagai bentuk penyimpangan. Penyimpangan akidah adalah hal yang sangat berbahaya karena dapat membatalkan keislaman seseorang atau mengurangi kesempurnaan imannya. Berikut adalah beberapa bentuk penyimpangan akidah yang paling umum:
A. Syirik
Syirik adalah dosa terbesar dalam Islam, yaitu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang lain dalam aspek rububiyah, uluhiyah, atau asma wa sifat-Nya. Allah Ta'ala berfirman, "Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni dosa selain syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya." (QS. An-Nisa: 48).
1. Syirik Akbar (Besar)
Syirik akbar adalah perbuatan menyekutukan Allah dalam ibadah atau dalam hak-hak ketuhanan-Nya, yang jika dilakukan dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam. Contohnya:
- Menyembah selain Allah: Seperti menyembah berhala, patung, pohon, batu, matahari, bulan, atau manusia.
- Berdoa atau meminta pertolongan kepada selain Allah: Misalnya meminta kepada orang yang sudah meninggal, jin, atau wali.
- Bernazar atau berkurban untuk selain Allah: Mengkhususkan suatu ibadah kepada selain Allah.
- Meyakini ada yang menciptakan, mengatur, atau memberi rezeki selain Allah.
- Mempercayai bahwa ada yang mengetahui hal gaib selain Allah.
- Cinta kepada selain Allah seperti cinta kepada Allah (syirik mahabbah).
2. Syirik Ashghar (Kecil)
Syirik ashghar adalah perbuatan yang mengarah kepada syirik akbar atau merupakan sarana menuju syirik akbar, tetapi belum sampai mengeluarkan pelakunya dari Islam. Namun, syirik ashghar merupakan dosa besar dan dapat menghapus pahala amal. Contohnya:
- Riya' (pamer) dalam ibadah: Beramal agar dilihat dan dipuji manusia.
- Bersumpah dengan selain nama Allah: Seperti bersumpah demi Nabi, demi orang tua, atau demi kehormatan.
- Ucapan "Kalau bukan karena Allah dan kamu...": Menyandarkan kekuatan kepada Allah dan makhluk secara bersamaan, seharusnya "Kalau bukan karena Allah kemudian kamu...".
- Memakai jimat atau benda-benda keberuntungan: Meyakini bahwa benda-benda tersebut dapat mendatangkan manfaat atau menolak mudarat.
B. Bid'ah
Bid'ah adalah setiap amalan atau keyakinan dalam agama yang tidak memiliki dasar (dalil) dari Al-Qur'an maupun Sunnah Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, baik berupa penambahan, pengurangan, atau perubahan dari ajaran yang telah ada. Nabi bersabda, "Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka ia tertolak." (HR. Muslim).
Bid'ah dalam akidah lebih berbahaya daripada bid'ah dalam ibadah karena ia langsung menyentuh keyakinan dasar. Contohnya, meyakini bahwa Nabi Muhammad memiliki ilmu gaib mutlak, atau meyakini bahwa wali tertentu memiliki kekuatan untuk mengubah takdir, atau menafsirkan sifat-sifat Allah dengan tafsiran yang menyimpang dari manhaj salaf.
C. Khurafat
Khurafat adalah keyakinan atau cerita-cerita yang tidak masuk akal, tidak memiliki dasar dalam agama, dan seringkali bertentangan dengan akal sehat dan syariat. Khurafat biasanya berkaitan dengan hal-hal gaib, takhayul, atau praktik-praktik perdukunan. Contohnya:
- Mempercayai angka sial atau hari-hari keberuntungan.
- Meyakini adanya kekuatan mistis pada benda-benda tertentu atau tempat-tempat keramat.
- Kepercayaan tentang hantu, jin, atau arwah yang dapat mencelakai atau membantu manusia tanpa izin Allah.
- Praktik-praktik ramalan, peramalan nasib, atau primbon.
Khurafat dapat mengikis akidah tauhid dan menyebabkan seseorang bergantung kepada selain Allah, bahkan dapat menyeret kepada syirik.
D. Taklid Buta
Taklid buta adalah mengikuti pendapat atau keyakinan seseorang tanpa mengetahui dalil dan dasar kebenarannya, apalagi jika pendapat tersebut bertentangan dengan Al-Qur'an dan Sunnah. Dalam masalah akidah, taklid buta sangat berbahaya karena dapat menjerumuskan seseorang ke dalam kesesatan. Setiap Muslim diwajibkan untuk mencari ilmu dan memahami dalil akidahnya, meskipun tidak harus menjadi seorang mujtahid.
Allah memuji orang-orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti yang terbaik. Maka penting bagi seorang Muslim untuk selalu merujuk kepada sumber-sumber otentik dan memahami akidah dengan ilmu, bukan hanya berdasarkan ikut-ikutan nenek moyang atau tokoh tertentu.
E. Penyimpangan Ideologis Kontemporer
Di era modern ini, muncul berbagai ideologi yang dapat mengancam kemurnian akidah Islam, di antaranya:
- Sekularisme: Paham yang memisahkan agama dari kehidupan publik, hanya membatasi agama pada urusan spiritual pribadi.
- Liberalisme Agama: Paham yang menafsirkan teks-teks agama secara bebas, terkadang bertentangan dengan pemahaman ulama salaf dan ijma', seringkali mengarah pada keraguan terhadap otoritas wahyu atau pencampuran agama.
- Pluralisme Agama: Keyakinan bahwa semua agama adalah sama-sama benar dan semua jalan menuju Tuhan adalah sama. Ini bertentangan dengan akidah Islam yang meyakini Islam adalah satu-satunya agama yang diterima di sisi Allah.
- Ateisme dan Agnostisisme: Penolakan terhadap keberadaan Tuhan atau ketidakmampuan untuk mengetahui keberadaan Tuhan. Ini merupakan penolakan mutlak terhadap rukun iman pertama.
Semua penyimpangan ini memerlukan pemahaman akidah yang kuat untuk dapat menghadapinya dan menjaga keimanan dari keraguan.
VI. Cara Memelihara Akidah
Memelihara akidah adalah tanggung jawab setiap Muslim sepanjang hidupnya, mengingat banyaknya godaan dan tantangan yang dapat mengikis keimanan. Berikut adalah beberapa langkah penting untuk menjaga dan menguatkan akidah:
A. Belajar Ilmu Akidah yang Shahih
Ilmu adalah cahaya yang menerangi jalan kebenaran. Mempelajari akidah dari sumber-sumber yang sahih, yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah, dengan pemahaman para ulama salafush shalih, adalah langkah pertama dan terpenting. Ini berarti belajar dari guru-guru yang terpercaya, membaca kitab-kitab akidah yang kredibel, dan menghindari sumber-sumber yang diragukan keilmuannya atau yang berafiliasi dengan paham-paham menyimpang. Memahami dalil-dalil akidah akan mengokohkan keyakinan dan membentengi diri dari keraguan.
B. Membaca dan Mentadabburi Al-Qur'an
Al-Qur'an adalah kalamullah yang penuh berkah dan petunjuk. Dengan membaca, memahami, dan merenungkan (tadabbur) ayat-ayatnya, terutama ayat-ayat yang berbicara tentang tauhid, nama dan sifat Allah, hari akhir, dan kisah para nabi, akidah akan semakin kuat. Tadabbur Al-Qur'an akan membuka wawasan dan menumbuhkan rasa keimanan yang mendalam kepada Allah.
C. Berpegang Teguh pada As-Sunnah Nabi
Sunnah adalah penjelas Al-Qur'an dan praktik nyata dari ajaran Islam. Mengamalkan sunnah-sunnah Nabi, baik dalam ibadah maupun muamalah, akan menjaga seorang Muslim tetap berada di jalur yang benar. Mempelajari hadis-hadis sahih tentang akidah dan menjauhi hadis-hadis dhaif (lemah) atau maudhu' (palsu) yang seringkali menjadi sumber khurafat dan bid'ah. Berpegang teguh pada sunnah juga berarti mengikuti jejak para sahabat dalam memahami dan mengamalkan agama.
D. Bergaul dengan Orang-Orang Shalih
Lingkungan dan teman pergaulan memiliki pengaruh besar terhadap akidah seseorang. Bergaul dengan orang-orang yang berilmu, bertakwa, dan memiliki akidah yang lurus akan saling menguatkan dan mengingatkan dalam kebaikan. Sebaliknya, bergaul dengan orang-orang yang memiliki akidah menyimpang atau kurang peduli dengan agama dapat secara perlahan mengikis keimanan.
Nabi Muhammad ﷺ bersabda, "Seseorang itu tergantung pada agama temannya, maka hendaklah salah seorang di antara kalian melihat siapa yang menjadi temannya." (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
E. Memperbanyak Doa dan Dzikir
Doa adalah senjata ampuh seorang mukmin. Memohon kepada Allah agar senantiasa diberikan hidayah, ditetapkan iman, dan dijauhkan dari kesesatan adalah hal yang sangat penting. Dzikir (mengingat Allah) dengan lisan dan hati juga dapat menguatkan akidah, menenangkan jiwa, dan menghindarkan diri dari bisikan syetan yang ingin menggoyahkan iman.
Misalnya, doa yang sering diucapkan Nabi, "Ya Muqallibal qulub tsabbit qalbi 'ala dinik" (Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku di atas agama-Mu).
F. Muhasabah Diri dan Introspeksi
Melakukan evaluasi diri secara berkala tentang sejauh mana pemahaman dan pengamalan akidah kita. Apakah ada keraguan yang muncul? Apakah ada praktik yang mendekati syirik atau bid'ah? Dengan muhasabah, seorang Muslim dapat segera memperbaiki diri dan kembali ke jalan yang benar sebelum terjerumus lebih dalam.
VII. Dampak Akidah dalam Kehidupan
Akidah yang kuat dan benar tidak hanya berdampak pada aspek spiritual, tetapi juga memberikan pengaruh yang signifikan dalam seluruh dimensi kehidupan seorang Muslim, baik secara individu, keluarga, maupun masyarakat.
A. Dampak pada Individu
Bagi individu, akidah berfungsi sebagai kompas moral dan spiritual. Ia memberikan tujuan hidup yang jelas, yaitu beribadah kepada Allah dan mencari keridaan-Nya. Akibatnya, individu akan memiliki:
- Ketenangan Jiwa: Keyakinan kepada Allah dan takdir-Nya menghilangkan kecemasan berlebihan, kesedihan mendalam, dan rasa putus asa.
- Kemandirian dan Keberanian: Hanya takut kepada Allah, tidak takut kepada makhluk, sehingga berani menegakkan kebenaran dan melawan kebatilan.
- Ikhlas dalam Beramal: Setiap perbuatan didasari niat tulus karena Allah, bukan karena pujian atau tujuan duniawi.
- Sabar dan Syukur: Menerima cobaan dengan sabar dan mensyukuri nikmat, karena semua datang dari Allah.
- Integritas dan Kejujuran: Merasa diawasi Allah, mendorong untuk selalu jujur dan berintegritas dalam setiap urusan.
B. Dampak pada Keluarga
Akidah yang benar menjadi fondasi bagi keluarga Muslim yang harmonis dan diridai Allah. Orang tua yang memiliki akidah kuat akan:
- Mendidik Anak dengan Tauhid: Menanamkan nilai-nilai keimanan sejak dini, menjadikan anak-anak cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.
- Menciptakan Lingkungan Religius: Keluarga menjadi tempat yang nyaman untuk beribadah dan belajar agama.
- Menjaga Harmoni: Konflik keluarga dapat diminimalisir dengan saling mengingatkan akan tanggung jawab di hadapan Allah dan pentingnya kesabaran.
- Ketahanan Moral: Keluarga terlindungi dari pengaruh negatif luar karena memiliki pegangan akidah yang kuat.
C. Dampak pada Masyarakat
Masyarakat yang dibangun di atas akidah yang benar akan menjadi masyarakat yang damai, adil, dan sejahtera. Akidah mendorong pada:
- Keadilan Sosial: Mendorong setiap individu untuk menunaikan hak-hak sesama dan menghindari kezaliman, karena meyakini akan adanya hisab di akhirat.
- Tanggung Jawab Bersama: Masing-masing merasa bertanggung jawab untuk amar ma'ruf nahi munkar (mengajak kebaikan dan mencegah kemungkaran).
- Persatuan dan Solidaritas: Menguatkan ikatan persaudaraan (ukhuwah Islamiyah) di antara sesama Muslim karena bersatu dalam akidah yang sama.
- Kemajuan Peradaban: Akidah yang murni dan ilmu pengetahuan tidak bertentangan. Justru akidah mendorong umat untuk menuntut ilmu dan berinovasi demi kemaslahatan bersama.
- Keamanan dan Ketertiban: Dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama, kejahatan dan kerusakan dapat diminimalisir.
VIII. Kesimpulan
Akidah Islam adalah inti dan fondasi utama agama ini, sebuah sistem keyakinan yang kokoh dan menyeluruh yang bersumber dari wahyu Allah Ta'ala. Ia mencakup keyakinan terhadap Allah dengan segala aspek tauhid-Nya (Rububiyah, Uluhiyah, Asma wa Sifat), malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, serta qada dan qadar.
Memiliki akidah yang benar bukan hanya sekadar mengetahui enam rukun iman secara lisan, tetapi harus tertanam kuat di dalam hati, memengaruhi cara berpikir, bertindak, dan memandang kehidupan. Akidah yang sahih adalah penentu kebahagiaan di dunia dan akhirat, pembentuk kepribadian mulia, sumber ketenangan jiwa, dan benteng pelindung dari berbagai kesesatan dan penyimpangan.
Tantangan terhadap akidah selalu ada, baik dari internal maupun eksternal, dalam bentuk syirik, bid'ah, khurafat, taklid buta, hingga ideologi-ideologi kontemporer yang merusak. Oleh karena itu, setiap Muslim memiliki kewajiban untuk senantiasa mempelajari akidah dari sumber yang sahih, mentadabburi Al-Qur'an, berpegang teguh pada Sunnah Nabi, bergaul dengan orang-orang shalih, memperbanyak doa dan dzikir, serta melakukan muhasabah diri.
Dengan memelihara akidah, seorang Muslim akan merasakan dampak positifnya dalam setiap aspek kehidupannya – pribadi, keluarga, dan masyarakat. Ia akan hidup dengan penuh tujuan, ketenangan, dan keberkahan, serta meraih kebahagiaan abadi di sisi Allah Ta'ala. Semoga Allah senantiasa membimbing kita semua untuk memiliki akidah yang murni dan lurus hingga akhir hayat.