Adu Bagong: Tradisi, Kontroversi, dan Perspektif Modern

Di pelosok-pelosok Nusantara, terutama di beberapa wilayah pedesaan Pulau Jawa, Sumatera, dan beberapa daerah lainnya, sebuah tradisi kuno yang dikenal sebagai "Adu Bagong" atau "Gebug Bagong" masih terus hidup. Praktik ini, yang melibatkan perburuan dan pertarungan antara anjing-anjing terlatih dengan babi hutan (yang sering disebut "bagong"), bukanlah sekadar hiburan semata bagi masyarakat pendukungnya. Lebih dari itu, ia adalah jalinan kompleks dari warisan budaya, penegasan identitas sosial, bentuk pengendalian hama alami, hingga ritual kepercayaan yang telah mengakar selama berabad-abad. Namun, seiring dengan berjalannya waktu dan berkembangnya kesadaran global akan isu-isu kesejahteraan hewan dan konservasi lingkungan, adu bagong semakin sering menjadi sorotan dan menuai berbagai kontroversi. Artikel ini akan menyelami lebih dalam seluk-beluk adu bagong, mulai dari akar sejarahnya, bagaimana praktik ini dijalankan, signifikansi budayanya, hingga perdebatan etis yang mengitarinya di era modern.

Ilustrasi stilasi kepala babi hutan (bagong), melambangkan salah satu elemen utama dalam tradisi adu bagong.

Mengenal Akar Sejarah Adu Bagong

Sejarah adu bagong dapat ditelusuri jauh ke belakang, bahkan sebelum Indonesia modern terbentuk. Pada mulanya, praktik ini bukan semata-mata hiburan, melainkan sebuah kebutuhan vital bagi masyarakat agraris. Babi hutan atau bagong, secara historis, merupakan hama utama bagi pertanian. Kawanan babi hutan dapat merusak ladang jagung, padi, singkong, dan tanaman perkebunan lainnya dalam semalam, menyebabkan kerugian besar bagi petani yang menggantungkan hidupnya pada hasil panen. Oleh karena itu, perburuan babi hutan menjadi salah satu cara efektif untuk mengendalikan populasi hama ini dan melindungi sumber pangan mereka.

Transisi dari Kebutuhan ke Tradisi

Pada awalnya, perburuan dilakukan dengan berbagai cara, termasuk jebakan, tombak, dan mungkin juga anjing pemburu. Seiring waktu, peran anjing menjadi semakin sentral. Anjing-anjing lokal yang memiliki naluri berburu dan keberanian khusus mulai dilatih secara sistematis. Proses perburuan yang sukses tidak hanya berarti terhindarnya panen dari kerusakan, tetapi juga menjadi ajang unjuk kebolehan bagi para pemilik anjing dan komunitas pemburu. Dari sinilah, elemen kompetisi dan pertunjukan mulai masuk. Kegiatan berburu, yang tadinya murni fungsional, bertransformasi menjadi sebuah acara sosial yang ditunggu-tunggu, di mana keberanian anjing, keahlian pemilik, dan kemampuan komunitas dalam mengorganisir perburuan menjadi sorotan.

Di beberapa daerah, adu bagong juga memiliki dimensi spiritual. Sebelum melakukan perburuan, seringkali diadakan ritual-ritual kecil, seperti pemberian sesaji, doa, atau mantra-mantra agar perburuan berjalan lancar dan membawa keberuntungan. Babi hutan itu sendiri, dalam beberapa kepercayaan lokal, kadang dipandang bukan hanya sebagai hama, tetapi juga sebagai makhluk yang memiliki kekuatan mistis atau sebagai perwujudan roh tertentu. Oleh karena itu, proses penangkapannya dan pertarungan dengannya dapat diartikan sebagai bentuk interaksi atau bahkan penaklukkan terhadap kekuatan alam atau spiritual.

Tidak ada catatan tertulis yang pasti mengenai kapan persisnya adu bagong dimulai sebagai sebuah 'tradisi' dalam arti yang lebih luas. Namun, cerita rakyat dan sejarah lisan yang diwariskan secara turun-temurun menunjukkan bahwa praktik ini telah ada setidaknya selama beberapa abad, beradaptasi dengan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat setempat. Ia menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas pedesaan, menandai keberanian, kebersamaan, dan ketahanan dalam menghadapi tantangan hidup.

Proses dan Penyelenggaraan Adu Bagong

Pelaksanaan adu bagong tidak sesederhana sekadar melepaskan anjing dan babi hutan. Ada serangkaian tahapan yang terstruktur, mulai dari persiapan hingga acara inti, yang mencerminkan nilai-nilai komunitas dan tujuan dari tradisi ini.

Persiapan dan Pelatihan Anjing

Anjing-anjing yang digunakan dalam adu bagong bukanlah anjing biasa. Mereka adalah hasil dari pembiakan selektif dan pelatihan intensif yang dimulai sejak anjing masih kecil. Jenis anjing yang populer antara lain anjing lokal seperti Kintamani (dengan adaptasi tertentu), berbagai jenis terrier yang dikenal gigih, hingga anjing kampung yang memiliki karakteristik fisik dan mental yang kuat. Pemilihan induk dan pejantan sangat penting, dengan kriteria utama adalah keberanian, kecepatan, kelincahan, daya tahan, dan yang tak kalah penting, kecerdasan.

Bagi pemilik, melatih anjing adalah sebuah investasi waktu, tenaga, dan terkadang finansial yang besar. Anjing-anjing ini tidak hanya dipandang sebagai alat, tetapi juga sebagai anggota keluarga, mitra dalam berburu, dan lambang kebanggaan.

Pencarian dan Penangkapan Babi Hutan

Babi hutan yang akan diadu biasanya ditangkap di alam liar oleh para pemburu. Proses penangkapannya sendiri bisa menjadi petualangan yang menantang. Pemburu menggunakan strategi dan pengetahuan tentang habitat babi hutan. Mereka mungkin menggunakan perangkap, jaring, atau bahkan mengejar babi hutan dengan bantuan anjing lain hingga terpojok. Babi hutan yang dipilih biasanya yang berukuran sedang hingga besar, yang dianggap memiliki kekuatan dan semangat bertarung yang cukup untuk "menghibur" penonton dan menguji kemampuan anjing.

Setelah tertangkap, babi hutan biasanya diangkut ke lokasi adu bagong dalam kondisi terikat atau di dalam kandang khusus. Perlakuan terhadap babi hutan ini seringkali menjadi salah satu poin utama kontroversi, karena kondisi pengangkutan dan penahanan dapat menyebabkan stres dan penderitaan pada hewan tersebut.

Ilustrasi stilasi anjing pemburu, simbol keberanian dan loyalitas dalam tradisi berburu.

Arena dan Aturan Pertarungan

Lokasi adu bagong biasanya berupa lapangan terbuka atau arena khusus yang dikelilingi pagar atau penghalang agar babi hutan tidak melarikan diri dan penonton tetap aman. Penonton berkumpul di sekitar arena, menciptakan suasana yang riuh dan penuh antusiasme. Pertarungan itu sendiri biasanya tidak berlangsung lama, seringkali hanya beberapa menit, dan memiliki "aturan" yang tidak tertulis namun dipahami oleh para peserta:

  1. Durasi Terbatas: Pertarungan seringkali dihentikan jika babi hutan atau anjing terluka parah, atau jika babi hutan berhasil melarikan diri dari jangkauan anjing.
  2. Intervensi: Pemilik anjing atau panitia kadang-kadang akan mengintervensi untuk memisahkan hewan jika pertarungan menjadi terlalu brutal atau salah satu pihak berada dalam bahaya ekstrem.
  3. Fokus pada 'Adu': Tujuannya adalah melihat anjing berani menghadapi babi hutan, bukan untuk membunuh babi hutan secara langsung di arena (meskipun luka serius sering terjadi). Kematian babi hutan lebih sering terjadi di luar arena sebagai hasil dari perburuan atau akibat luka yang diderita dalam pertarungan.
  4. Penilaian: Tidak selalu ada sistem poin formal. Kemenangan seringkali diukur dari keberanian anjing, kemampuannya menguasai babi hutan, atau seberapa 'seru' pertarungan yang disajikan.

Setelah pertarungan usai, babi hutan yang selamat mungkin dilepaskan kembali ke alam liar (walaupun ini jarang terjadi jika sudah terluka parah), atau disembelih untuk dikonsumsi dagingnya, terutama di komunitas non-muslim. Anjing-anjing yang bertarung akan dirawat luka-lukanya dan dipuji atas keberaniannya.

Signifikansi Budaya dan Sosial Adu Bagong

Untuk memahami mengapa adu bagong tetap bertahan hingga kini, kita harus melihat melampaui permukaannya sebagai pertarungan hewan. Ada lapisan-lapisan signifikansi budaya dan sosial yang mendalam bagi komunitas pendukungnya.

Perekat Komunitas dan Solidaritas Sosial

Adu bagong adalah acara komunal yang kuat. Ia mengumpulkan orang-orang dari berbagai lapisan masyarakat – petani, buruh, pedagang, dan pejabat desa – untuk merayakan tradisi dan mempererat tali silaturahmi. Proses persiapan, mulai dari pelatihan anjing, pencarian babi hutan, hingga pembangunan arena, melibatkan kolaborasi dan gotong royong. Acara itu sendiri menjadi forum bagi masyarakat untuk berkumpul, berinteraksi, berbagi cerita, dan memperbarui ikatan sosial.

Di banyak desa, adu bagong seringkali diselenggarakan berbarengan dengan acara desa lainnya, seperti festival panen, perayaan hari besar, atau sebagai bagian dari ritual adat. Ini menjadikannya bukan sekadar "tontonan," tetapi sebuah bagian integral dari kalender sosial dan budaya komunitas tersebut.

Simbol Keberanian, Status, dan Identitas

Bagi pemilik anjing, memiliki anjing pemburu yang tangguh adalah sumber kebanggaan besar dan penanda status sosial. Anjing yang berhasil menguasai babi hutan atau menunjukkan keberanian luar biasa dalam pertarungan akan sangat dihargai. Pemiliknya akan mendapatkan pengakuan dan respek dari komunitas. Hal ini mencerminkan nilai-nilai keberanian, kegigihan, dan kemampuan untuk "menaklukkan" tantangan, baik itu babi hutan maupun kesulitan hidup.

Tradisi ini juga bisa menjadi semacam inisiasi bagi generasi muda. Anak laki-laki seringkali diajak untuk melihat atau bahkan berpartisipasi dalam pelatihan anjing dan perburuan, belajar tentang keberanian, tanggung jawab, dan cara berinteraksi dengan alam liar. Ini adalah bagian dari proses transmisi pengetahuan dan nilai-nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Aspek Ekonomi Lokal

Meskipun seringkali dipandang dari kacamata budaya, adu bagong juga memiliki dampak ekonomi mikro di tingkat lokal. Kegiatan ini dapat menciptakan lapangan kerja musiman, seperti pembuat arena, penjual makanan dan minuman di sekitar lokasi acara, hingga pedagang anjing atau pakan anjing. Ada juga sirkulasi uang yang terjadi melalui taruhan (meskipun ilegal dan tidak diakui secara formal, praktik ini sering menyertai acara-acara semacam ini) atau melalui pembelian anjing-anjing berkualitas tinggi.

Di beberapa wilayah, adu bagong bahkan menjadi daya tarik tersendiri yang mengundang pengunjung dari desa tetangga atau bahkan dari kota, yang secara tidak langsung memberikan sedikit dorongan ekonomi bagi daerah tersebut.

Hubungan Manusia-Hewan yang Unik

Bagi para pemilik dan pelatih anjing, hubungan dengan anjing-anjing mereka seringkali sangat erat dan mendalam. Anjing-anjing ini adalah rekan kerja, teman, dan bahkan keluarga. Proses pelatihan yang intensif membangun ikatan emosional yang kuat. Keberanian dan kesuksesan anjing dipandang sebagai cerminan dari dedikasi dan keahlian pemiliknya. Ini adalah hubungan simbiotik di mana manusia menyediakan perawatan dan pelatihan, dan anjing memberikan keberanian dan kinerja dalam tradisi.

Kontroversi dan Perdebatan Etis

Seiring dengan meningkatnya kesadaran akan hak-hak hewan dan standar etika global, adu bagong semakin menjadi subjek kritik keras dan perdebatan sengit. Kontroversi ini terutama muncul dari sudut pandang kesejahteraan hewan, konservasi, dan hukum.

Kesejahteraan Hewan dan Kekejaman

Argumen paling utama melawan adu bagong adalah tuduhan kekejaman terhadap hewan. Baik anjing maupun babi hutan seringkali mengalami luka parah, penderitaan, dan bahkan kematian dalam pertarungan. Babi hutan, yang merupakan hewan liar, dipaksa bertarung di lingkungan yang asing dan stres. Mereka seringkali terluka oleh taring anjing dan mengalami trauma fisik serta psikologis. Sebaliknya, anjing-anjing pemburu juga menghadapi risiko luka serius dari taring babi hutan yang tajam, yang dapat menyebabkan cedera fatal atau cacat seumur hidup.

Organisasi-organisasi perlindungan hewan menganggap praktik ini sebagai bentuk penyiksaan hewan yang tidak dapat dibenarkan, melanggar hak-hak dasar hewan untuk hidup bebas dari penderitaan. Mereka berpendapat bahwa tujuan budaya atau hiburan tidak bisa membenarkan tindakan yang secara sengaja menyebabkan rasa sakit dan cedera pada makhluk hidup.

"Kesejahteraan hewan bukan hanya tentang tidak menyakiti, tetapi juga tentang memberikan kondisi hidup yang layak. Dalam adu bagong, kedua hewan—baik anjing maupun babi hutan—dipaksa ke dalam situasi yang secara inheren penuh tekanan dan berisiko tinggi terhadap penderitaan."

Dampak Lingkungan dan Konservasi

Dari sisi lingkungan, perburuan babi hutan, meskipun awalnya bertujuan sebagai pengendalian hama, dapat memiliki dampak yang lebih luas. Jika tidak dikelola dengan hati-hati, perburuan yang intensif dan tidak terkontrol dapat mengganggu ekosistem lokal. Meskipun babi hutan dianggap hama, mereka juga memiliki peran dalam rantai makanan dan ekosistem hutan. Hilangnya populasi babi hutan secara drastis dapat memengaruhi keseimbangan ekologi.

Di sisi lain, ada juga kekhawatiran bahwa praktik ini dapat mendorong penangkapan babi hutan secara ilegal atau tidak berkelanjutan, yang berpotensi menimbulkan masalah konservasi di masa depan, terutama jika spesies lain yang mirip atau dilindungi secara tidak sengaja terperangkap.

Aspek Hukum dan Legalitas

Di Indonesia, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (dan perubahannya UU No. 41 Tahun 2014) serta Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) memiliki pasal-pasal yang melarang kekejaman terhadap hewan. Pasal 302 KUHP secara spesifik mengkriminalisasi tindakan penganiayaan hewan yang menyebabkan sakit atau luka tanpa alasan yang sah.

Namun, penegakan hukum terhadap adu bagong seringkali menjadi tantangan. Praktik ini umumnya dilakukan di daerah-daerah terpencil, di mana pengawasan hukum kurang ketat dan tradisi lokal memiliki pengaruh yang kuat. Ada argumen bahwa adu bagong adalah bagian dari kearifan lokal atau tradisi yang harus dihormati, meskipun bertentangan dengan hukum nasional yang lebih baru atau norma-norma etika yang berkembang.

Perdebatan ini mencerminkan tarik-menarik antara pelestarian budaya dan perlindungan hewan, antara hukum positif dan adat, serta antara pandangan modern dan tradisi kuno.

Ilustrasi simbol konflik atau pertanyaan etika, merepresentasikan perdebatan seputar adu bagong.

Adu Bagong dalam Lensa Modern: Adaptasi atau Penolakan?

Di tengah gelombang globalisasi dan peningkatan akses informasi, tradisi adu bagong berada di persimpangan jalan. Pertanyaan besar yang muncul adalah: apakah tradisi ini akan beradaptasi, berevolusi, atau pada akhirnya akan ditinggalkan?

Tekanan dari Masyarakat Sipil dan Aktivis Hewan

Organisasi-organisasi perlindungan hewan, baik lokal maupun internasional, terus menyuarakan penolakan terhadap adu bagong. Mereka melobi pemerintah, melakukan kampanye edukasi, dan mencoba meningkatkan kesadaran publik tentang penderitaan hewan dalam praktik ini. Melalui media sosial dan liputan berita, praktik adu bagong yang tadinya tersembunyi di pelosok desa kini menjadi perhatian yang lebih luas. Tekanan ini mendorong pihak berwenang untuk mempertimbangkan kembali legalitas dan moralitas praktik tersebut.

Beberapa aktivis bahkan telah mencoba melakukan intervensi langsung, bekerja sama dengan komunitas lokal untuk mencari alternatif atau setidaknya meminimalisir kekejaman. Namun, upaya ini seringkali disambut dengan resistensi, karena tradisi dianggap sebagai bagian integral dari identitas dan warisan budaya yang sulit diubah.

Mencari Alternatif dan Solusi

Salah satu pendekatan untuk mengatasi konflik ini adalah mencari alternatif yang dapat memenuhi fungsi-fungsi sosial dan fungsional adu bagong tanpa melibatkan kekerasan terhadap hewan:

  1. Pengendalian Hama Modern: Edukasi tentang metode pengendalian hama babi hutan yang lebih manusiawi dan efektif, seperti pagar listrik surya, penanaman tanaman pengusir hama, atau program penangkapan dan relokasi oleh otoritas kehutanan.
  2. Festival Tanpa Kekerasan: Mengubah adu bagong menjadi festival budaya yang merayakan keberanian anjing dan kebersamaan komunitas tanpa melibatkan pertarungan fisik dengan babi hutan. Misalnya, kompetisi anjing terlatih dalam melacak, mencari, atau menguji kecepatan dan ketangkasan tanpa kontak langsung dengan babi hutan.
  3. Edukasi dan Dialog: Melakukan dialog terbuka antara para pelestari tradisi, aktivis hewan, dan pemerintah untuk mencari titik temu. Edukasi tentang kesejahteraan hewan dapat disisipkan tanpa menghakimi nilai-nilai lokal.
  4. Simulasi atau Pertunjukan Atraksi: Mungkin dengan menggunakan boneka babi hutan atau target lain untuk menunjukkan kemampuan anjing dalam skenario berburu, yang tetap dapat menjadi ajang unjuk kebolehan tanpa kekejaman.

Pendekatan yang paling efektif seringkali adalah yang melibatkan partisipasi aktif dari komunitas lokal, memahami motivasi dan kebutuhan mereka, serta menawarkan solusi yang realistis dan dapat diterima secara budaya.

Peran Pemerintah dan Pemangku Kepentingan

Pemerintah memiliki peran krusial dalam menengahi konflik antara pelestarian tradisi dan perlindungan hewan. Ini bisa dilakukan melalui:

Pendekatan top-down yang represif seringkali tidak efektif dan dapat menyebabkan resistensi yang lebih besar. Pendekatan yang melibatkan kolaborasi dan pemberdayaan komunitas lebih mungkin berhasil dalam jangka panjang.

Analisis Komparatif: Adu Bagong dengan Tradisi Lain

Untuk menempatkan adu bagong dalam konteks yang lebih luas, ada baiknya membandingkannya dengan tradisi pertarungan hewan lain yang ada di berbagai belahan dunia, seperti sabung ayam atau adu banteng. Meskipun berbeda dalam detail, semuanya berbagi benang merah yang sama: pertarungan hewan sebagai hiburan, simbol, atau bagian dari ritual.

Sabung Ayam (Cockfighting)

Sabung ayam adalah praktik global yang melibatkan pertarungan dua ayam jago yang seringkali dipersenjatai dengan taji buatan. Mirip dengan adu bagong, sabung ayam memiliki akar sejarah yang dalam sebagai bagian dari budaya, ritual, dan ajang taruhan. Di banyak negara, praktik ini juga menuai kontroversi besar karena kekejaman terhadap hewan dan seringkali melibatkan perjudian ilegal. Perdebatan seputar sabung ayam juga berkisar pada pelestarian tradisi vs. kesejahteraan hewan, dengan tekanan kuat dari aktivis untuk melarangnya.

Adu Banteng (Bullfighting)

Adu banteng, terutama di Spanyol dan Amerika Latin, adalah pertunjukan yang melibatkan matador dan banteng. Ini dianggap sebagai bentuk seni dan tradisi budaya yang sangat dalam bagi para pendukungnya, namun juga sangat dikritik karena kekejaman terhadap banteng. Sama seperti adu bagong, ia adalah simbol keberanian, kemuliaan, dan identitas budaya. Namun, adu banteng telah mengalami penurunan popularitas dan menghadapi larangan di beberapa wilayah karena tekanan publik dan aktivis hewan.

Dari perbandingan ini, kita bisa melihat pola yang sama: tradisi pertarungan hewan, tidak peduli seberapa dalam akarnya dalam budaya, semakin dipertanyakan di era modern. Ada pergeseran paradigma global tentang bagaimana manusia seharusnya berinteraksi dengan hewan, dan tradisi-tradisi ini dipaksa untuk beradaptasi atau menghadapi kemungkinan kepunahan.

Tantangan dan Masa Depan Adu Bagong

Masa depan adu bagong di Indonesia adalah refleksi dari tantangan yang lebih besar yang dihadapi oleh banyak tradisi kuno di era modern. Ada keinginan untuk melestarikan warisan budaya, tetapi juga kebutuhan untuk meninjau kembali praktik-praktik yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan etika yang berkembang.

Generasi Muda dan Perubahan Nilai

Salah satu faktor penentu adalah sikap generasi muda. Dengan akses yang lebih besar ke informasi global dan edukasi, nilai-nilai tentang kesejahteraan hewan dan lingkungan semakin menyebar di kalangan anak muda. Banyak dari mereka mungkin tidak lagi melihat adu bagong sebagai hiburan atau ritual yang relevan, atau bahkan menganggapnya kejam. Pergeseran demografi dan urbanisasi juga berperan; ketika masyarakat pedesaan bergerak ke kota, ikatan mereka dengan tradisi-tradisi semacam itu mungkin melemah.

Namun, bagi sebagian generasi muda di daerah-daerah di mana tradisi ini masih kuat, adu bagong tetap menjadi bagian penting dari identitas mereka dan cara mereka terhubung dengan akar budaya mereka. Mereka mungkin mencari cara untuk melanjutkan tradisi ini dengan modifikasi agar lebih diterima.

Pengaruh Media dan Globalisasi

Media sosial dan platform berita digital telah memberikan suara yang lebih besar kepada para aktivis hewan dan mempublikasikan citra-citra yang menunjukkan kekejaman dalam adu bagong ke audiens yang lebih luas. Hal ini menciptakan tekanan eksternal dan internal pada komunitas pendukung tradisi. Globalisasi juga membawa standar-standar etika internasional ke dalam perdebatan lokal.

Tantangannya adalah bagaimana menyikapi pengaruh ini tanpa memutus akar budaya yang dalam. Mungkinkah ada jalan tengah di mana esensi komunal dan keberanian tetap dirayakan, tetapi tanpa mengorbankan kesejahteraan hewan?

Potensi Transformasi

Mungkin, jalan ke depan bagi adu bagong adalah melalui transformasi. Alih-alih pertarungan fisik, fokus bisa digeser ke:

Transformasi semacam ini tidak akan mudah dan memerlukan waktu, kesabaran, serta dialog yang konstruktif antara semua pihak. Ini juga membutuhkan dukungan dari pemerintah dan organisasi nirlaba untuk menyediakan sumber daya dan pendidikan yang diperlukan.

Kesimpulan

Adu bagong adalah sebuah fenomena yang kompleks, sebuah tradisi kuno yang sarat dengan signifikansi budaya, sosial, dan fungsional bagi masyarakat pendukungnya. Ia adalah cerminan dari hubungan manusia dengan alam liar, kebutuhan akan kontrol hama, dan keinginan untuk merayakan keberanian serta solidaritas komunal.

Namun, di era modern, adu bagong juga menjadi simbol dari perdebatan etis yang lebih luas mengenai kesejahteraan hewan, konservasi lingkungan, dan pelestarian tradisi dalam menghadapi nilai-nilai global yang terus berkembang. Kontroversi yang mengelilinginya menyoroti ketegangan antara menghormati warisan budaya dan memenuhi tanggung jawab moral terhadap makhluk hidup lain.

Masa depan adu bagong akan sangat bergantung pada kemampuan masyarakat untuk berdialog, beradaptasi, dan berinovasi. Mungkin ia akan terus bertahan di beberapa kantung budaya dengan modifikasi tertentu, atau mungkin ia akan bertransformasi menjadi bentuk-bentuk baru yang tetap merayakan esensi keberanian dan kebersamaan tanpa melibatkan kekerasan. Apa pun jalannya, diskusi seputar adu bagong akan terus menjadi cerminan dari evolusi nilai-nilai masyarakat Indonesia dalam konteks global yang terus berubah.

Memahami adu bagong berarti memahami kompleksitas interaksi manusia, hewan, dan budaya, serta tantangan dalam menyeimbangkan tradisi dengan etika modern.