Baitulmaqdis: Kota Suci, Peradaban, dan Pesan Kedamaian

Menjelajahi keagungan spiritual dan warisan sejarah yang tak lekang oleh waktu.

Pengantar: Jantung Spiritual Dunia

Baitulmaqdis, sebuah nama yang menggema di sanubari miliaran jiwa di seluruh penjuru dunia, bukan sekadar kota. Ia adalah permata sejarah yang terukir dalam lembaran waktu, sebuah episentrum peradaban yang menjadi saksi bisu pasang surutnya imperium, serta jantung spiritual bagi tiga agama samawi terbesar: Islam, Kristen, dan Yahudi. Kota ini, yang juga dikenal dengan nama Yerusalem atau Al-Quds, memancarkan aura sakral yang tak tertandingi, menarik peziarah dan cendekiawan dari berbagai latar belakang untuk merenungkan kebesaran dan kompleksitasnya. Keberadaannya adalah mozaik budaya, arsitektur, dan narasi yang kaya, di mana setiap batu, setiap lorong sempit, dan setiap situs suci memiliki kisah panjang untuk diceritakan.

Sejak ribuan tahun yang lalu, Baitulmaqdis telah menjadi medan magnet bagi iman, konflik, dan pencarian kedamaian. Di sinilah Nabi Ibrahim AS meletakkan dasar monoteisme, Nabi Musa AS memimpin Bani Israel, Nabi Daud AS mendirikan kerajaannya, Nabi Sulaiman AS membangun Haikal pertama yang megah, Nabi Isa AS menjalani misi kenabiannya, dan Nabi Muhammad SAW melakukan perjalanan Isra' Mi'raj yang agung. Setiap tradisi keagamaan memandang kota ini dengan lensa kekhususan dan keistimewaan yang mendalam, menjadikan Baitulmaqdis sebagai simbol abadi dari hubungan ilahi dengan kemanusiaan.

Artikel ini akan membawa kita dalam sebuah perjalanan mendalam untuk menyelami Baitulmaqdis. Kita akan mengurai lapisan-lapisan sejarahnya yang rumit, memahami signifikansi agamanya yang tak terhingga, menjelajahi arsitekturnya yang memukau, dan merenungkan pesan kedamaian yang seharusnya terpancar dari kota suci ini. Dari lembah Kidron hingga puncak Bukit Zaitun, dari Tembok Ratapan hingga Kubah Batu yang berkilauan, dan dari Gereja Makam Kudus hingga lorong-lorong Kota Tua yang berliku, setiap detail Baitulmaqdis adalah bagian dari narasi universal tentang iman, harapan, dan perjuangan manusia.

Siluet Kubah Batu di Baitulmaqdis
Simbol keagungan arsitektur Baitulmaqdis: Kubah Batu.

Nama-nama Baitulmaqdis: Cermin Berbagai Peradaban

Sebelum kita menyelami lebih jauh sejarah dan signifikansi Baitulmaqdis, penting untuk memahami kekayaan nama-nama yang melekat padanya, yang masing-masing mencerminkan periode sejarah, budaya, dan identitas keagamaan yang berbeda. Setiap nama membawa makna dan narasi tersendiri, menambah kedalaman pada pemahaman kita tentang kota ini.

Al-Quds (القدس): Nama dalam Islam

Bagi umat Islam, Baitulmaqdis dikenal luas sebagai Al-Quds, yang secara harfiah berarti "Yang Suci" atau "Tanah Suci". Nama ini menegaskan status istimewanya dalam Islam sebagai salah satu dari tiga kota suci, setelah Makkah dan Madinah. Penyebutan Al-Quds tidak hanya merujuk pada fisik kota, tetapi juga pada aura spiritual dan kesucian yang menyelubunginya. Nama ini mulai populer setelah penaklukan Islam pada abad ke-7 Masehi, menggantikan nama-nama sebelumnya yang bersifat geografis atau politis. Dalam literatur Islam, Al-Quds sering dikaitkan dengan Isra' Mi'raj, perjalanan malam Nabi Muhammad SAW, serta sebagai kiblat pertama umat Islam. Istilah Baitulmaqdis sendiri juga digunakan secara luas dalam Islam, merujuk pada "Rumah Suci" atau "Rumah Kesucian", yang sering dihubungkan dengan Masjid Al-Aqsa dan seluruh kompleks Haram al-Sharif.

Yerusalem: Nama Historis dan Yahudi-Kristen

Nama Yerusalem memiliki akar yang sangat dalam dalam sejarah dan tradisi Yahudi serta Kristen. Diyakini berasal dari kata-kata Ibrani "Yeru" (kota) dan "Shalem" (damai), sehingga Yerusalem sering diartikan sebagai "Kota Perdamaian". Nama ini pertama kali muncul dalam teks-teks kuno Mesir dan Akkadia sekitar abad ke-19 SM. Bagi umat Yahudi, Yerusalem adalah ibu kota kuno Kerajaan Israel dan Yehuda, tempat Bait Allah pertama dan kedua berdiri, serta pusat spiritual yang tak tergantikan. Setiap doa Yahudi sering diakhiri dengan harapan "Tahun depan di Yerusalem".

Dalam tradisi Kristen, Yerusalem adalah tempat di mana Yesus Kristus mengajarkan, menyembuhkan, disalibkan, wafat, bangkit, dan naik ke surga. Banyak peristiwa penting dalam Perjanjian Baru terjadi di Yerusalem, menjadikannya kota yang sangat sakral bagi miliaran umat Kristen di seluruh dunia. Nama Yerusalem adalah pengingat abadi akan warisan kenabian dan evangelis yang membentuk landasan keyakinan mereka.

Aelia Capitolina: Nama Romawi

Setelah kehancuran Yerusalem oleh Kaisar Romawi Titus pada tahun 70 Masehi, dan pemberontakan Bar Kokhba pada abad ke-2 Masehi, Kaisar Hadrianus membangun kembali kota di atas reruntuhan Yerusalem dan menamainya Aelia Capitolina pada tahun 135 Masehi. "Aelia" diambil dari nama keluarga Hadrianus (Aelius), dan "Capitolina" merujuk pada dewa Jupiter Capitolinus, dewa utama Romawi. Pada masa ini, umat Yahudi dilarang masuk ke kota, dan kota ini dirancang sebagai kota Romawi pagan. Nama ini menandai periode penindasan dan perubahan identitas kota yang drastis, sebelum akhirnya kembali ke nama-nama yang lebih akrab seiring berjalannya waktu dan munculnya Kekristenan sebagai agama negara.

Nama-nama Lainnya

Sepanjang sejarahnya yang panjang, Baitulmaqdis juga dikenal dengan berbagai nama lain seperti:

Keragaman nama-nama ini tidak hanya menunjukkan perjalanan sejarah Baitulmaqdis yang bergejolak, tetapi juga kompleksitas identitasnya. Setiap nama adalah jendela ke dalam babak yang berbeda dari kisah kota ini, di mana berbagai peradaban dan keyakinan telah meninggalkan jejaknya, membentuk Baitulmaqdis menjadi kota yang unik dan tiada duanya di dunia.

Sejarah Panjang Baitulmaqdis: Tapak Peradaban Abadi

Sejarah Baitulmaqdis adalah kisah ribuan tahun yang penuh dengan peristiwa dramatis, penaklukan, kehancuran, dan pembangunan kembali. Ia adalah narasi tentang iman, kekuasaan, dan ketahanan manusia. Untuk memahami kedalaman kota ini, kita harus melangkah mundur ke masa lalu yang jauh, menelusuri jejak-jejak peradaban yang telah membentuknya.

Masa Awal dan Periode Kenabian Ibrahim

Bukti arkeologi menunjukkan bahwa daerah Baitulmaqdis telah dihuni sejak Zaman Perunggu Awal, sekitar milenium ke-4 SM. Permukiman awal ini kemungkinan besar berada di Bukit Ofel, bagian selatan dari Kota Tua saat ini. Pada periode ini, kota ini dikenal sebagai Salem (Shalem), dan disebutkan dalam kitab Kejadian sebagai tempat di mana Melkisedek, raja Salem dan imam Allah Yang Maha Tinggi, bertemu dengan Nabi Ibrahim AS. Pertemuan ini menandai salah satu interaksi paling awal antara figur kenabian utama dengan lokasi yang kemudian menjadi Baitulmaqdis, memberikan legitimasi spiritual awal bagi tanah tersebut.

Era Bani Israel: Nabi Musa, Daud, dan Sulaiman

Periode ini adalah salah satu yang paling krusial dalam pembentukan identitas Baitulmaqdis, terutama bagi umat Yahudi dan Kristen. Setelah eksodus dari Mesir di bawah kepemimpinan Nabi Musa AS, Bani Israel memasuki Tanah Kanaan. Namun, kota yang kemudian menjadi Yerusalem masih dihuni oleh bangsa Jebus. Baru pada sekitar abad ke-10 SM, Raja Daud, setelah mendirikan kerajaan Israel bersatu, berhasil menaklukkan Jebus dan menjadikannya ibu kota kerajaannya. Ia menamainya Kota Daud dan membawa Tabut Perjanjian ke dalamnya, mengubahnya menjadi pusat politik dan keagamaan bagi Bani Israel.

Puncak kejayaan periode ini dicapai di bawah pemerintahan Nabi Sulaiman AS, putra Raja Daud. Beliau dikenal karena kebijaksanaan dan kemegahan kerajaannya. Nabi Sulaiman membangun Bait Allah Pertama (Haikal Pertama) di Bukit Moria, yang sekarang dikenal sebagai Haram al-Sharif atau Temple Mount. Bait Allah ini menjadi pusat peribadatan utama umat Yahudi, simbol kehadiran Tuhan di antara umat-Nya, dan menyimpan Tabut Perjanjian. Pembangunan Bait Allah ini mengukuhkan status Baitulmaqdis sebagai kota suci yang tiada duanya bagi Bani Israel.

Penjajahan dan Kejatuhan Bait Allah Pertama

Kemegahan kerajaan Israel tidak bertahan selamanya. Setelah kematian Nabi Sulaiman, kerajaan terpecah menjadi Kerajaan Israel di utara dan Kerajaan Yehuda di selatan, dengan Yerusalem sebagai ibu kotanya. Selama berabad-abad berikutnya, Yerusalem menjadi incaran berbagai kekuatan regional. Pada tahun 586 SM, raja Babilonia, Nebukadnezar II, menyerbu Yerusalem, menghancurkan Bait Allah Pertama, dan membawa sebagian besar penduduknya ke pengasingan di Babilonia. Peristiwa ini, dikenal sebagai Pembuangan Babilonia, merupakan trauma besar bagi umat Yahudi dan menjadi titik balik dalam sejarah mereka.

Periode Bait Kedua dan Kekuasaan Asing

Setelah sekitar 70 tahun pengasingan, Kaisar Persia Koresy Agung mengizinkan umat Yahudi untuk kembali ke Yerusalem dan membangun kembali Bait Allah. Ini adalah awal dari periode Bait Allah Kedua. Bait Allah ini, meskipun tidak semegah yang pertama, tetap menjadi pusat kehidupan keagamaan Yahudi. Selama periode ini, Yerusalem berada di bawah kekuasaan berbagai imperium, termasuk Persia, Yunani (di bawah Alexander Agung dan kemudian dinasti Ptolemeus dan Seleukus), dan akhirnya Makabe, yang berhasil mendirikan kerajaan Yahudi merdeka untuk waktu yang singkat (Dinasti Hasmonean).

Namun, kemerdekaan ini tidak bertahan lama. Pada tahun 63 SM, Jenderal Romawi Pompeius menaklukkan Yerusalem, dan kota ini secara bertahap menjadi provinsi Romawi. Pada masa ini, Raja Herodes Agung (sekitar 37 SM – 4 M), seorang raja klien Romawi, melakukan renovasi besar-besaran pada Bait Allah Kedua, mengubahnya menjadi salah satu bangunan paling megah di dunia kuno. Struktur yang tersisa dari renovasi Herodes inilah yang sekarang dikenal sebagai Tembok Ratapan.

Era Yesus dan Kehancuran Bait Allah Kedua

Periode Romawi di Yerusalem adalah masa di mana Nabi Isa AS (Yesus Kristus) hidup dan berkarya. Banyak peristiwa kunci dalam hidup Yesus, seperti pengajaran-Nya, penyaliban, dan kebangkitan, terjadi di Yerusalem atau daerah sekitarnya. Ini menjadikan kota ini pusat sakral bagi umat Kristen.

Namun, hubungan yang tegang antara Romawi dan penduduk Yahudi menyebabkan serangkaian pemberontakan. Puncaknya adalah Pemberontakan Yahudi Pertama (66-73 Masehi), yang berakhir dengan kehancuran total Yerusalem dan Bait Allah Kedua oleh Jenderal Romawi Titus pada tahun 70 Masehi. Peristiwa ini merupakan bencana besar bagi umat Yahudi, mengakhiri periode Bait Kedua, dan memulai diaspora yang panjang.

Periode Romawi dan Bizantium: Aelia Capitolina dan Kekristenan

Setelah kehancuran tahun 70 M, Yerusalem menjadi kota yang sunyi. Pada tahun 135 M, setelah Pemberontakan Bar Kokhba yang gagal, Kaisar Hadrianus membangun kembali kota di atas reruntuhan dan menamainya Aelia Capitolina. Umat Yahudi dilarang masuk ke kota. Namun, dengan pengakuan Kekristenan sebagai agama negara di bawah Kaisar Konstantinus Agung pada abad ke-4 Masehi, Aelia Capitolina mulai bertransformasi kembali menjadi kota suci. Ibu Konstantinus, Helena, melakukan ziarah ke Yerusalem dan mengidentifikasi banyak situs suci Kristen, termasuk tempat penyaliban dan makam Yesus. Ini memicu pembangunan gereja-gereja megah, yang paling terkenal adalah Gereja Makam Kudus. Pada masa Bizantium, Yerusalem menjadi pusat ziarah Kristen yang penting dan kembali mendapatkan status kesuciannya, meskipun kali ini dari perspektif Kristen.

Penaklukan Islam dan Awal Kekhalifahan

Pada abad ke-7 Masehi, gelombang baru sejarah tiba di Baitulmaqdis. Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, pasukan Islam di bawah kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab melakukan ekspansi ke Syam (Levant). Pada tahun 638 Masehi, Yerusalem menyerah kepada umat Islam secara damai. Khalifah Umar sendiri datang ke Baitulmaqdis, dan menurut tradisi, ia menolak untuk shalat di dalam Gereja Makam Kudus agar tidak menjadikannya preseden bagi umat Islam untuk mengubahnya menjadi masjid. Ia memilih untuk shalat di sebuah area terbuka di kompleks Haram al-Sharif, yang kelak akan menjadi lokasi Masjidil Aqsa. Penaklukan Islam menandai dimulainya era keemasan Baitulmaqdis di bawah pemerintahan Muslim, di mana kota ini dihormati sebagai Al-Quds, kiblat pertama umat Islam, dan tempat Isra' Mi'raj.

Pada masa pemerintahan Bani Umayyah, khususnya di bawah Khalifah Abd al-Malik ibn Marwan (685-705 M), dua bangunan Islam paling ikonik di Baitulmaqdis didirikan di Haram al-Sharif: Kubah Batu (Qubbat al-Sakhra) pada tahun 691 M dan Masjidil Aqsa yang lebih besar. Kubah Batu dibangun untuk melindungi batu tempat Nabi Muhammad SAW diyakini memulai Isra' Mi'raj-nya, dan juga tempat di mana Nabi Ibrahim AS diyakini hampir mengorbankan putranya. Kedua bangunan ini mengubah lanskap Baitulmaqdis dan menjadikannya pusat keagamaan dan arsitektur Islam yang tak tertandingi.

Periode Perang Salib

Setelah berabad-abad berada di bawah pemerintahan Islam yang relatif damai dan toleran, Baitulmaqdis menjadi medan pertempuran pada akhir abad ke-11 Masehi. Pada tahun 1099, Tentara Salib dari Eropa Barat menaklukkan Yerusalem dan mendirikan Kerajaan Yerusalem. Penaklukan ini disertai dengan pembantaian besar-besaran terhadap penduduk Muslim dan Yahudi di kota itu. Selama periode kekuasaan Tentara Salib, banyak gereja dibangun kembali atau diubah, dan masjid-masjid diubah fungsinya. Kubah Batu bahkan diubah menjadi gereja.

Namun, kekuasaan Tentara Salib tidak bertahan lama. Pada tahun 1187, Salahuddin Al-Ayyubi, pemimpin Muslim yang legendaris, berhasil merebut kembali Yerusalem dari Tentara Salib dalam Pertempuran Hattin dan memasuki kota dengan kemenangan. Salahuddin dikenal karena kemurahan hati dan toleransinya, memungkinkan umat Kristen untuk berziarah ke situs-situs suci mereka, meskipun ia mengembalikan fungsi masjid ke Kubah Batu dan Masjidil Aqsa. Periode ini menjadi simbol perlawanan dan kejayaan Islam.

Era Mamluk dan Utsmaniyah

Setelah Salahuddin, Baitulmaqdis berada di bawah pemerintahan Dinasti Ayyubiyah, kemudian Dinasti Mamluk dari Mesir (abad ke-13 hingga ke-16). Mamluk banyak berkontribusi pada pembangunan dan renovasi bangunan-bangunan Islam di kota, termasuk madrasah, masjid, dan khan. Periode ini sering disebut sebagai zaman keemasan bagi arsitektur dan ilmu pengetahuan Islam di Baitulmaqdis.

Pada tahun 1517, Baitulmaqdis ditaklukkan oleh Kekaisaran Utsmaniyah di bawah Sultan Selim I, dan tetap menjadi bagian dari kekaisaran ini selama empat abad berikutnya. Pemerintahan Utsmaniyah, terutama di bawah Sultan Sulaiman Agung (1520-1566), membawa stabilitas dan kemakmuran bagi Baitulmaqdis. Sultan Sulaiman memerintahkan pembangunan kembali tembok kota yang ikonik, yang masih berdiri hingga saat ini, serta renovasi Kubah Batu dan sistem pasokan air kota. Selama periode Utsmaniyah, Baitulmaqdis kembali menjadi pusat toleransi antaragama, dengan komunitas Muslim, Kristen, dan Yahudi hidup berdampingan, meskipun di bawah dominasi Muslim. Kehidupan keagamaan dan budaya berkembang pesat, dan kota ini menjadi tujuan ziarah yang penting bagi ketiga agama.

Periode Modern dan Konflik

Kekaisaran Utsmaniyah melemah pada awal abad ke-20. Selama Perang Dunia I, pada tahun 1917, Baitulmaqdis direbut oleh pasukan Inggris di bawah Jenderal Allenby. Setelah perang, Liga Bangsa-Bangsa memberikan mandat kepada Inggris untuk memerintah Palestina, termasuk Baitulmaqdis. Periode Mandat Inggris (1917-1948) ditandai dengan meningkatnya ketegangan antara penduduk Arab Palestina dan imigran Yahudi yang datang dalam jumlah besar, terutama setelah Deklarasi Balfour yang mendukung pembentukan "tanah air nasional bagi orang Yahudi" di Palestina.

Pada tahun 1948, setelah berakhirnya Mandat Inggris, PBB mengusulkan rencana partisi Palestina, dengan Yerusalem sebagai "corpus separatum" di bawah administrasi internasional. Namun, rencana ini ditolak dan pecahlah Perang Arab-Israel 1948. Akibat perang ini, Baitulmaqdis terbagi dua: Yerusalem Barat dikuasai oleh Israel, dan Yerusalem Timur (termasuk Kota Tua dan situs-situs suci) dikuasai oleh Yordania. Garis demarkasi membelah kota, memisahkan komunitas dan membatasi akses ke tempat-tempat suci.

Situasi ini berubah drastis pada Perang Enam Hari tahun 1967, ketika Israel merebut Yerusalem Timur dari Yordania dan secara efektif mencaploknya. Israel menyatakan Yerusalem sebagai ibu kota yang tak terbagi. Namun, tindakan ini tidak diakui secara luas oleh komunitas internasional, dan status Yerusalem tetap menjadi salah satu isu paling sentral dan paling pelik dalam konflik Israel-Palestina. Kedua belah pihak mengklaim Yerusalem sebagai ibu kota mereka, dan masa depannya tetap menjadi subjek negosiasi yang sulit dan kontroversi internasional.

Sejarah Baitulmaqdis adalah cerminan dari kompleksitas manusia – hasrat akan keimanan, perebutan kekuasaan, dan pencarian kedamaian yang tak pernah usai. Setiap lapisan tanah di kota ini menyimpan kisah, setiap bangunan berdiri sebagai monumen bagi masa lalu yang dinamis, dan setiap hari adalah babak baru dalam narasi abadi kota suci ini.

Signifikansi Keagamaan: Kota Suci Tiga Agama Samawi

Tidak ada kota lain di dunia yang memiliki signifikansi keagamaan sebesar Baitulmaqdis bagi begitu banyak orang. Bagi miliaran penganut Islam, Kristen, dan Yahudi, kota ini adalah pusat spiritual, tempat di mana Tuhan dan manusia seringkali diyakini berinteraksi secara paling mendalam. Memahami mengapa Baitulmaqdis begitu suci bagi masing-masing agama adalah kunci untuk memahami pentingnya dan kompleksitasnya.

Dalam Islam: Al-Quds dan Masjidil Aqsa

Bagi umat Islam, Baitulmaqdis adalah Al-Quds, kota ketiga paling suci setelah Makkah dan Madinah. Keagungannya berakar pada beberapa peristiwa dan lokasi kunci:

Kehadiran Baitulmaqdis dalam tradisi Islam adalah pengingat akan kesinambungan risalah ilahi, menghubungkan Nabi Muhammad dengan para nabi sebelumnya yang juga dihormati dalam Islam.

Dalam Kekristenan: Jejak Yesus Kristus

Bagi umat Kristen, Yerusalem adalah kota di mana peristiwa-peristiwa paling sentral dalam kehidupan, kematian, dan kebangkitan Yesus Kristus terjadi. Ini menjadikan kota ini situs ziarah utama dan sumber inspirasi spiritual:

Yerusalem bagi umat Kristen adalah kota yang memegang kunci untuk memahami penebusan dan harapan, tempat di mana sejarah keselamatan mencapai puncaknya.

Dalam Yudaisme: Ibu Kota Abadi

Bagi umat Yahudi, Yerusalem adalah kota paling suci di dunia, ibu kota abadi bagi bangsa Yahudi, dan pusat dari seluruh sejarah mereka. Signifikansinya tak terpisahkan dari identitas Yahudi:

Bagi umat Yahudi, Yerusalem adalah jantung dari keberadaan mereka, tempat di mana sejarah mereka, keyakinan mereka, dan harapan masa depan mereka bertemu.

Tumpang tindihnya klaim dan kekhususan keagamaan ini menjadikan Baitulmaqdis sebuah kota yang unik, penuh dengan ketegangan dan keindahan, menuntut penghormatan dan pemahaman dari semua yang mendekatinya. Kota ini adalah cerminan dari kerinduan manusia akan yang Ilahi, sebuah tempat di mana surga dan bumi seolah bertemu.

Situs-situs Suci dan Landmark Ikonik Baitulmaqdis

Baitulmaqdis adalah museum hidup yang tak tertandingi, di mana setiap sudut dan celah memiliki kisah yang terukir dalam batu. Situs-situs suci dan landmark ikoniknya adalah bukti nyata dari ribuan tahun sejarah dan signifikansi keagamaan yang mendalam bagi tiga agama samawi. Mari kita jelajahi beberapa yang paling menonjol.

1. Kompleks Haram al-Sharif / Temple Mount

Ini adalah salah satu situs yang paling diperebutkan dan paling suci di dunia, yang dihargai oleh umat Islam dan Yahudi. Bagi umat Islam, ini adalah Haram al-Sharif (Tempat Suci yang Mulia), rumah bagi Masjidil Aqsa dan Kubah Batu. Bagi umat Yahudi, ini adalah Temple Mount (Bukit Kuil), tempat di mana Bait Allah Pertama dan Kedua pernah berdiri.

a. Kubah Batu (Qubbat al-Sakhra)

Dengan kubah emasnya yang mencolok, Kubah Batu adalah salah satu bangunan paling ikonik di Baitulmaqdis dan di dunia Islam. Dibangun antara tahun 688 dan 691 Masehi oleh Khalifah Abd al-Malik, bangunan ini melindungi batu yang dianggap suci dalam tradisi Yahudi, Kristen, dan Islam. Bagi umat Islam, batu ini diyakini sebagai titik awal Isra' Mi'raj Nabi Muhammad SAW ke langit. Bagi umat Yahudi, ini adalah batu fondasi dunia, tempat Nabi Ibrahim diyakini hampir mengorbankan putranya, dan tempat di mana Tabut Perjanjian pernah diletakkan di dalam Bait Allah.

Arsitektur Kubah Batu adalah mahakarya seni Islam awal, dengan mosaik-mosaik Byzantium yang menakjubkan, kaligrafi Kufi yang indah, dan proporsi yang harmonis. Interiornya yang kaya dan kubah ganda yang megah menciptakan suasana spiritual yang mendalam, menarik perhatian dan kekaguman dari siapa saja yang melihatnya.

b. Masjidil Aqsa (Masjid Qibli)

Meskipun seringkali istilah "Masjidil Aqsa" digunakan untuk merujuk pada seluruh kompleks Haram al-Sharif, secara spesifik, ini adalah bangunan masjid beratap perak yang terletak di bagian selatan kompleks. Bangunan ini adalah masjid utama di Al-Quds, dan di sinilah umat Islam melaksanakan shalat Jumat dan shalat lima waktu. Masjid yang ada saat ini telah mengalami beberapa kali renovasi dan rekonstruksi sejak pembangunan awalnya pada masa Kekhalifahan Umayyah.

Dengan kapasitas menampung ribuan jamaah, Masjidil Aqsa menjadi pusat ibadah dan pendidikan Islam yang vital. Kehadirannya melengkapi signifikansi spiritual kompleks ini sebagai kiblat pertama dan tempat Isra' Mi'raj.

2. Tembok Ratapan (Western Wall / Kotel)

Terletak di kaki bagian barat Haram al-Sharif, Tembok Ratapan adalah sisa-sisa tembok penahan Kuil Kedua yang dibangun kembali dan diperluas oleh Raja Herodes Agung. Bagi umat Yahudi, ini adalah tempat tersuci di mana mereka diizinkan untuk berdoa, dan merupakan situs terdekat dengan "Holy of Holies" (Ruang Mahakudus) di Bait Allah. Jutaan orang Yahudi dari seluruh dunia datang ke sini setiap tahun untuk berdoa, menyelipkan catatan-catatan berisi doa ke celah-celah tembok, dan meratapi kehancuran Kuil.

Tembok ini menjadi simbol ketahanan dan kerinduan abadi umat Yahudi akan Kuil mereka yang telah hilang. Suasana di Tembok Ratapan selalu penuh dengan spiritualitas, di mana setiap doa yang dipanjatkan mencerminkan ribuan tahun sejarah dan harapan.

3. Gereja Makam Kudus (Church of the Holy Sepulchre)

Bagi umat Kristen, Gereja Makam Kudus adalah situs paling suci di Yerusalem. Terletak di tengah Kota Tua, gereja ini diyakini mencakup dua lokasi paling penting dalam Kekristenan: Golgota (Kalvari), tempat Yesus disalibkan, dan Makam Kosong (Holy Sepulchre), tempat Ia dikuburkan dan kemudian bangkit dari kematian. Gereja ini adalah kompleks bangunan yang megah, yang sebagian besar dibangun pada abad ke-4 Masehi di bawah arahan Ibu Kaisar Konstantinus, Helena.

Saat ini, gereja ini dikelola secara bersama oleh enam denominasi Kristen yang berbeda (Ortodoks Yunani, Katolik Roma, Ortodoks Armenia, Koptik, Suriah Ortodoks, dan Ethiopia Tewahedo), masing-masing memiliki kapel dan jam doa tersendiri, sebuah bukti nyata dari kompleksitas sejarah dan pluralisme Kristen di kota ini. Ziarah ke Gereja Makam Kudus adalah puncak perjalanan spiritual bagi banyak umat Kristen.

4. Via Dolorosa (Jalur Penderitaan)

Melintasi lorong-lorong sempit dan pasar-pasar di Kota Tua, Via Dolorosa adalah jalur ziarah yang mengikuti rute tradisional yang diyakini Yesus Kristus lalui sambil memanggul salib menuju Kalvari. Jalur ini memiliki 14 "Stasiun Salib" (Stations of the Cross), masing-masing menandai peristiwa tertentu dalam perjalanan penderitaan-Nya, dari saat Ia dihukum mati hingga penguburan-Nya. Peziarah Kristen sering mengikuti rute ini, berhenti di setiap stasiun untuk merenung dan berdoa, merasakan kedekatan dengan penderitaan Yesus.

5. Bukit Zaitun (Mount of Olives)

Menghadap ke Kota Tua Yerusalem dari timur, Bukit Zaitun adalah situs yang sangat signifikan bagi ketiga agama samawi. Bagi umat Yahudi, bukit ini adalah lokasi kuburan Yahudi kuno yang sangat dihormati dan diyakini sebagai tempat di mana kebangkitan orang mati akan dimulai di akhir zaman. Bagi umat Kristen, ini adalah tempat di mana Yesus mengajarkan murid-murid-Nya, berdoa di Taman Getsemani pada malam penangkapan-Nya, dan dari mana Ia naik ke surga. Beberapa gereja Kristen, seperti Gereja Segala Bangsa dan Gereja Kenaikan, berdiri di lereng bukit ini. Dalam Islam, bukit ini juga dihormati sebagai tempat bersejarah yang terkait dengan para nabi dan peristiwa akhir zaman.

6. Kota Tua Yerusalem dan Gerbangnya

Inti Baitulmaqdis adalah Kota Tua yang dikelilingi tembok, sebuah Situs Warisan Dunia UNESCO. Dibagi menjadi empat perempat utama—Kristen, Muslim, Yahudi, dan Armenia—setiap perempat memiliki karakter, arsitektur, dan situs-situsnya sendiri. Lorong-lorong sempit yang berliku, pasar-pasar yang ramai, dan rumah-rumah batu tua menciptakan labirin yang penuh sejarah.

Tembok Kota Tua saat ini sebagian besar dibangun kembali oleh Sultan Sulaiman Agung dari Kekaisaran Utsmaniyah pada abad ke-16. Tembok ini memiliki delapan gerbang, masing-masing dengan nama dan sejarahnya sendiri:

Mengunjungi Baitulmaqdis adalah pengalaman yang tak terlupakan, sebuah perjalanan melalui waktu dan iman. Setiap situs, setiap batu, setiap lorong menceritakan kisah tentang warisan bersama dan persimpangan peradaban yang membentuk kota suci ini.

Mozaik Kota Tua Baitulmaqdis Baitulmaqdis Kota Tua
Mozaik arsitektur dan situs-situs suci di Kota Tua Baitulmaqdis.

Tantangan dan Harapan: Menjaga Kedamaian di Kota Suci

Meskipun Baitulmaqdis adalah kota suci yang melambangkan kedamaian dan spiritualitas bagi miliaran orang, kenyataan di lapangan seringkali jauh dari ideal. Kota ini adalah salah satu titik api konflik paling intens di dunia, di mana klaim-klaim historis dan keagamaan yang tumpang tindih berujung pada ketegangan politik dan kadang-kadang kekerasan. Memahami tantangan-tantangan ini sangat penting untuk merumuskan harapan akan masa depan yang lebih damai.

Konflik Israel-Palestina: Perebutan Identitas dan Kedaulatan

Inti dari tantangan Baitulmaqdis adalah statusnya dalam konflik Israel-Palestina. Baik Israel maupun Palestina mengklaim Yerusalem sebagai ibu kota mereka. Israel menganggap Yerusalem yang 'tak terbagi' sebagai ibu kota abadinya, sebuah klaim yang diperkuat setelah pencaplokan Yerusalem Timur pada tahun 1967. Sementara itu, Palestina memandang Yerusalem Timur sebagai ibu kota negara Palestina di masa depan, tempat bagi identitas nasional, budaya, dan keagamaan mereka.

Konflik ini memanifestasikan dirinya dalam berbagai cara:

Preservasi Warisan Budaya dan Keagamaan

Di tengah konflik politik, ada tantangan besar dalam melestarikan warisan budaya dan keagamaan Baitulmaqdis yang tak ternilai. Setiap renovasi, penggalian arkeologi, atau pembangunan baru di kota ini harus dilakukan dengan kehati-hatian ekstrem dan rasa hormat terhadap semua tradisi, agar tidak merusak situs-situs kuno atau menyinggung perasaan komunitas agama mana pun.

Harapan untuk Masa Depan: Jalan Menuju Kedamaian

Meskipun tantangan yang dihadapi Baitulmaqdis sangat besar, harapan untuk masa depan yang damai tidak pernah padam. Banyak pihak, baik dari dalam maupun luar, terus menyerukan dan berupaya mencapai solusi yang adil dan langgeng. Beberapa elemen kunci dari harapan ini meliputi:

Baitulmaqdis adalah pengingat bahwa perdamaian bukan hanya ketiadaan konflik, tetapi juga kehadiran keadilan, kesetaraan, dan rasa hormat yang mendalam terhadap semua identitas dan keyakinan. Kota ini, dengan segala kompleksitas dan keindahannya, adalah ujian terbesar bagi kemanusiaan untuk menunjukkan bahwa perbedaan dapat menjadi sumber kekuatan, bukan perpecahan. Pesan kedamaian yang seharusnya terpancar dari kota suci ini adalah panggilan bagi kita semua untuk bekerja menuju masa depan di mana Baitulmaqdis benar-benar bisa menjadi "Kota Perdamaian" bagi seluruh dunia.

Simbol Kedamaian dan Tiga Agama di Baitulmaqdis
Simbol-simbol agama dan daun zaitun sebagai lambang harapan perdamaian di Baitulmaqdis.

Kesimpulan: Cahaya dan Harapan di Kota Suci

Baitulmaqdis adalah kota yang melampaui batas-batas geografis dan waktu. Ia adalah sebuah narasi abadi tentang peradaban manusia, tentang pencarian spiritual, tentang kegigihan iman, dan tentang kompleksitas sejarah yang tak teruraikan. Dari reruntuhan kuno hingga bangunan-bangunan megah yang menjulang, dari lorong-lorong sempit yang menyimpan bisikan masa lalu hingga hiruk pikuk kehidupan modern, setiap aspek Baitulmaqdis adalah cerminan dari warisan yang kaya dan tak tertandingi.

Bagi miliaran umat Islam, Kristen, dan Yahudi, Baitulmaqdis adalah sumber inspirasi, sebuah titik temu antara yang fana dan yang ilahi. Ia adalah tempat di mana sejarah suci dituliskan, di mana para nabi berjalan, dan di mana peristiwa-peristiwa transformatif membentuk landasan keyakinan mereka. Kehadirannya dalam setiap tradisi keagamaan menjadikannya sebuah simbol universal tentang iman, penantian, dan hubungan manusia dengan Sang Pencipta.

Namun, di tengah keagungan spiritualnya, Baitulmaqdis juga berdiri sebagai saksi bisu atas konflik dan tantangan yang menguji kemanusiaan. Ia mengingatkan kita bahwa warisan yang paling berharga seringkali datang dengan tanggung jawab terbesar. Upaya untuk menjaga kesuciannya, menjamin akses yang adil bagi semua, dan menyelesaikan perselisihan yang membelahnya, adalah tugas yang harus diemban oleh kita semua, baik sebagai individu maupun sebagai komunitas global.

Pada akhirnya, Baitulmaqdis adalah cermin bagi aspirasi tertinggi dan kelemahan terdalam manusia. Ia adalah kota yang menyerukan kedamaian, toleransi, dan saling pengertian di tengah perbedaan. Harapan untuk Baitulmaqdis adalah harapan untuk dunia—dunia di mana kebersamaan dapat mengalahkan perpecahan, di mana hormat dapat mengatasi permusuhan, dan di mana warisan spiritual bersama dapat menjadi landasan bagi masa depan yang lebih cerah. Biarlah cahaya dari kota suci ini terus menyinari jalan kita menuju kedamaian sejati, sebuah pesan abadi yang terus bergema dari Baitulmaqdis: Kota Suci, Peradaban, dan Pesan Kedamaian.