Bago: Permata Sejarah dan Budaya Myanmar yang Tak Tergantikan
(Para 1) Terletak di jantung Myanmar bagian selatan, kota Bago merupakan sebuah situs yang kaya akan sejarah, legenda, dan warisan budaya yang tak ternilai. Dulunya dikenal sebagai Pegu, Bago pernah menjadi ibu kota Kerajaan Mon yang perkasa dan kemudian menjadi pusat kekuasaan bagi kerajaan-kerajaan Burma lainnya. Dengan pagoda-pagoda kuno yang menjulang tinggi, patung-patung Buddha yang megah, dan reruntuhan istana yang menceritakan kisah masa lalu, Bago menawarkan jendela yang mendalam ke dalam jiwa spiritual dan sejarah Myanmar. Artikel ini akan membawa Anda dalam perjalanan eksplorasi mendalam untuk mengungkap keajaiban Bago, dari akarnya yang legendaris hingga posisinya sebagai destinasi penting di masa kini.
1. Sejarah Bago: Dari Legenda ke Kekaisaran yang Megah
Asal Mula dan Legenda
(Para 2) Sejarah Bago terjalin erat dengan legenda dan mitos yang menambah nuansa mistis pada kota ini. Menurut tradisi Mon, kota Bago didirikan pada tahun 573 M oleh dua putri Mon dari Thaton, yaitu Thamala dan Wimala. Mereka dikatakan telah melihat seekor itik jantan (hintha) berdiri di atas itik betina di sebuah pulau kecil di tengah genangan air selama air pasang. Ini diinterpretasikan sebagai pertanda baik dan kemudian menjadi simbol keberanian serta ketahanan, yang kemudian dijadikan lambang negara bagian Mon, dan menjadi nama Hintha Gon Pagoda di Bago. Lokasi ini diyakini sebagai tempat berdirinya Bago saat ini, sebuah kota yang tumbuh dari tanah basah dan subur.
(Para 3) Pada masa-masa awal, Bago adalah kota pelabuhan yang penting, terletak strategis di Sungai Bago yang bermuara ke Teluk Martaban. Posisi geografis ini menjadikannya pusat perdagangan maritim yang sibuk, menarik pedagang dari India, Persia, dan Kepulauan Melayu. Keberadaan Kerajaan Mon di wilayah ini sudah ada jauh sebelum catatan tertulis yang terperinci, dan mereka adalah salah satu peradaban tertua di Asia Tenggara yang memberikan pengaruh besar pada budaya, agama, dan aksara Burma.
Kerajaan Hanthawaddy (Pegu) dan Puncak Kejayaan
(Para 4) Puncak kejayaan Bago tiba saat kota ini menjadi ibu kota Kerajaan Hanthawaddy (atau dikenal sebagai Kerajaan Pegu), yang didirikan pada tahun 1287 oleh Raja Wareru. Kerajaan Mon ini mengalami kemajuan pesat dan menjadi kekuatan dominan di wilayah Burma bagian bawah. Namun, masa keemasan yang paling cemerlang datang pada abad ke-15 dan ke-16 di bawah pemerintahan raja-raja yang visioner.
(Para 5) Salah satu penguasa paling terkenal dari Bago adalah Raja Dhammazedi (memerintah 1471–1492). Ia dikenal karena kebijakannya yang adil, reformasi agama Buddha yang mendalam, dan upaya memperkuat hubungan dengan Sri Lanka untuk menjaga kemurnian ajaran Theravada. Pada masa pemerintahannya, Bago menjadi pusat pembelajaran Buddha yang disegani di seluruh Asia Tenggara. Ia juga memerintahkan pembangunan Maha Kalyani Sima (aula penahbisan suci) dan mencetak prasasti-prasasti yang berisi dekrit keagamaan penting.
(Para 6) Kemudian, pada abad ke-16, Bago berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Taungoo, yang merupakan kerajaan Burma. Raja Bayinnaung (memerintah 1550–1581), salah satu raja terbesar dalam sejarah Myanmar, menjadikan Bago sebagai ibu kota kekaisarannya yang luas. Di bawah Bayinnaung, kekaisaran ini membentang dari sebagian besar Asia Tenggara daratan, termasuk Thailand (Ayutthaya), Laos, dan sebagian Kamboja. Bago menjadi salah satu kota terbesar dan termegah di Asia Tenggara, dengan istana megah, kuil-kuil emas, dan jaringan perdagangan yang luas.
Ilustrasi megahnya Pagoda Shwemawdaw, simbol spiritual Bago.
Kemunduran dan Kebangkitan Kembali
(Para 7) Namun, kejayaan Bago tidak berlangsung selamanya. Setelah kematian Bayinnaung, kekaisaran Taungoo mulai runtuh, dan Bago mengalami serangkaian invasi dan penghancuran, terutama oleh pasukan Arakan dan Pegu itu sendiri dalam konflik internal. Pada tahun 1757, kota ini dihancurkan oleh Raja Alaungpaya, pendiri Dinasti Konbaung. Ibu kota kemudian dipindahkan ke Yangon (saat itu Dagon) dan akhirnya ke Mandalay. Selama bertahun-tahun, Bago menjadi kota yang relatif tidak penting, meskipun situs-situs keagamaannya tetap dihormati.
(Para 8) Pada masa kolonial Inggris, Bago menjadi bagian dari British Burma dan mengalami pembangunan infrastruktur seperti jalur kereta api. Meskipun kehilangan statusnya sebagai ibu kota, Bago tetap menjadi pusat pertanian dan perdagangan yang vital, terutama untuk beras. Abad ke-20 dan ke-21 menyaksikan kebangkitan kembali minat terhadap sejarahnya, dengan upaya restorasi situs-situs kuno dan peningkatan pariwisata. Bago kini berdiri sebagai kota yang modern namun tetap erat memegang warisan masa lalunya.
2. Geografi dan Demografi Bago
Lokasi dan Iklim
(Para 9) Bago adalah ibu kota Divisi Bago (sebelumnya Divisi Pegu) dan terletak sekitar 80 kilometer (50 mil) di timur laut Yangon, di wilayah selatan-tengah Myanmar. Kota ini berada di tepi Sungai Bago, sebuah anak sungai dari Sungai Sittaung, yang mengalir ke Teluk Martaban. Wilayah di sekitar Bago sebagian besar adalah dataran rendah yang subur, ideal untuk pertanian, terutama budidaya padi.
(Para 10) Iklim di Bago adalah tropis muson, yang ditandai dengan tiga musim utama: musim panas yang kering dari Maret hingga Mei, musim hujan dari Juni hingga Oktober, dan musim dingin yang sejuk dan kering dari November hingga Februari. Curah hujan tinggi selama musim hujan, mendukung ekosistem pertanian yang kaya. Suhu rata-rata sepanjang tahun berkisar antara 20°C hingga 35°C, dengan puncaknya di musim panas.
Populasi dan Etnis
(Para 11) Dengan populasi yang terus bertambah, Bago adalah salah satu kota terbesar di Myanmar. Komposisi etnisnya beragam, mencerminkan sejarah panjang wilayah ini sebagai persimpangan budaya. Kelompok etnis terbesar adalah Bamar (Burman), tetapi juga terdapat komunitas Mon yang signifikan, yang merupakan penduduk asli dan pendiri historis kota ini. Selain itu, ada juga kelompok etnis Karen, India, dan Tionghoa yang telah lama tinggal dan berkontribusi pada kehidupan sosial dan ekonomi Bago.
(Para 12) Bahasa Burma adalah bahasa resmi dan paling banyak digunakan, meskipun bahasa Mon masih dituturkan oleh komunitas Mon, terutama di daerah pedesaan dan di antara generasi yang lebih tua. Keragaman etnis ini memperkaya budaya Bago, tercermin dalam festival, masakan, dan tradisi lokal.
3. Situs Sejarah dan Keagamaan Penting di Bago
(Para 13) Bago adalah rumah bagi beberapa situs Buddha paling menakjubkan dan dihormati di Myanmar. Banyak di antaranya telah mengalami kehancuran dan restorasi berkali-kali sepanjang sejarah akibat perang dan gempa bumi, namun keagungannya tetap tak tergoyahkan.
Pagoda Shwemawdaw (Pagoda Emas Besar)
(Para 14) Pagoda Shwemawdaw adalah salah satu struktur paling ikonik di Bago dan merupakan pagoda tertinggi di Myanmar, menjulang setinggi 114 meter (sekitar 375 kaki). Legenda menyebutkan bahwa pagoda ini menyimpan dua helai rambut Buddha yang suci, menjadikannya situs ziarah yang sangat penting bagi umat Buddha. Sejarahnya kembali ke abad ke-10, meskipun telah dibangun ulang dan diperbesar berkali-kali.
(Para 15) Setiap kali gempa bumi besar melanda, seperti gempa pada tahun 1917 dan 1930, Shwemawdaw mengalami kerusakan parah, namun selalu bangkit kembali dengan ukuran dan kemegahan yang lebih besar. Versi pagoda saat ini adalah hasil rekonstruksi pasca-gempa 1930. Pengunjung dapat mendaki ke teras pagoda dan menikmati pemandangan kota Bago yang menakjubkan dari ketinggian. Di kompleks pagoda, terdapat juga sebuah stupa kecil yang menyimpan mahkota asli yang jatuh dari puncak pagoda saat gempa.
Ilustrasi megahnya patung Buddha Tidur Shwethalyaung.
Buddha Shwethalyaung (Buddha Tidur)
(Para 16) Salah satu daya tarik utama Bago adalah patung Buddha tidur Shwethalyaung yang mengesankan. Dengan panjang mencapai 55 meter (180 kaki) dan tinggi 16 meter (53 kaki), patung ini adalah salah satu patung Buddha tidur terbesar di dunia. Dikatakan bahwa patung ini dibangun pada tahun 994 M oleh Raja Migadipa. Namun, ia sempat menghilang di hutan belantara dan baru ditemukan kembali pada tahun 1881 oleh seorang insinyur kereta api Inggris.
(Para 17) Patung ini menggambarkan Buddha dalam posisi parinirvana, saat ia memasuki nirwana terakhir. Wajahnya yang damai, ekspresi yang tenang, dan detail ukiran di telapak kaki (yang menggambarkan 108 tanda keberuntungan Buddha) menjadikannya sebuah mahakarya seni dan spiritualitas. Sebuah paviliun besar melindungi patung dari cuaca, dan pengunjung dapat berjalan di sepanjang patung untuk mengagumi ukurannya yang kolosal serta detail artistiknya.
Pagoda Kyaik Pun (Empat Buddha Duduk)
(Para 18) Empat patung Buddha raksasa duduk saling membelakangi, mengarah ke empat arah mata angin, inilah ciri khas Pagoda Kyaik Pun. Masing-masing patung memiliki tinggi sekitar 27 meter (90 kaki) dan menggambarkan Buddha Gotama, Buddha Konagamana, Buddha Kakusandha, dan Buddha Kassapa. Pagoda ini konon dibangun pada tahun 1476 oleh Raja Dhammazedi.
(Para 19) Meskipun satu dari empat patung tersebut rusak akibat gempa bumi di masa lalu dan telah direstorasi, kemegahan dan keunikan tata letaknya tetap menarik perhatian. Situs ini adalah tempat yang tenang dan sakral, jauh dari keramaian kota, menawarkan pengalaman spiritual yang mendalam bagi para peziarah dan wisatawan di Bago.
Istana Kanbawzathadi (Rekonstruksi)
(Para 20) Istana Kanbawzathadi adalah rekonstruksi dari istana kerajaan yang dulunya megah, dibangun oleh Raja Bayinnaung pada pertengahan abad ke-16 ketika Bago menjadi ibu kota kekaisaran Taungoo yang luas. Istana asli terdiri dari 76 apartemen dan aula, dilapisi dengan emas murni, dan merupakan simbol kemewahan dan kekuasaan raja.
(Para 21) Setelah istana asli hancur akibat kebakaran pada tahun 1599 dan ditinggalkan, reruntuhannya digali pada tahun 1990-an. Berdasarkan catatan sejarah dan temuan arkeologi, sebagian dari istana ini telah direkonstruksi, termasuk Balai Singgasana Kerajaan, Balai Audiensi, dan bagian-bagian lain. Meskipun merupakan rekonstruksi, istana ini memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana kehidupan kerajaan di Bago di masa kejayaannya. Pengunjung dapat melihat artefak yang ditemukan di situs asli, termasuk tiang-tiang kayu jati asli yang masih bertahan.
Maha Kalyani Sima (Aula Penahbisan Suci)
(Para 22) Maha Kalyani Sima adalah aula penahbisan suci yang dibangun pada tahun 1476 oleh Raja Dhammazedi. Aula ini memiliki kepentingan religius yang besar karena di sinilah para bhikkhu (biksu) Mon yang baru saja ditahbiskan di Sri Lanka kembali dan menahbiskan ulang para biksu Burma untuk memastikan kemurnian garis keturunan keagamaan mereka.
(Para 23) Aula asli dihancurkan berkali-kali tetapi selalu dibangun kembali. Saat ini, yang tersisa adalah beberapa prasasti batu (Prasasti Kalyani) yang mencatat sejarah penahbisan ulang dan dekrit agama Raja Dhammazedi, yang memberikan wawasan berharga tentang praktik Buddha Theravada di Bago pada abad ke-15.
Pagoda Hintha Gon
(Para 24) Pagoda Hintha Gon adalah situs legendaris yang terletak di puncak bukit tertinggi di Bago. Seperti yang diceritakan dalam legenda pendirian kota, ini adalah tempat di mana burung hintha jantan mendarat di atas burung betina, yang ditafsirkan sebagai pertanda baik oleh dua putri Mon.
(Para 25) Dari puncak bukit ini, pengunjung dapat menikmati pemandangan panorama Bago yang indah, termasuk sawah yang membentang luas dan Pagoda Shwemawdaw yang menjulang di kejauhan. Di kompleks pagoda ini juga terdapat patung-patung dan relief yang menggambarkan legenda hintha, menjadikannya tempat yang menarik untuk memahami akar mitologis Bago.
4. Budaya, Seni, dan Tradisi di Bago
(Para 26) Bago bukan hanya tentang sejarah dan situs kuno; kota ini juga merupakan pusat kehidupan budaya yang dinamis, tempat tradisi Mon dan Burma bertemu dan berbaur, menciptakan permadani budaya yang unik dan kaya.
Festival dan Perayaan
(Para 27) Kehidupan di Bago diwarnai oleh berbagai festival sepanjang tahun, yang sebagian besar berkaitan dengan agama Buddha. Festival pagoda adalah yang paling menonjol, diadakan setiap tahun di sekitar pagoda-pagoda besar seperti Shwemawdaw. Festival ini biasanya melibatkan prosesi, pasar malam, pertunjukan seni tradisional, dan ritual persembahan kepada Buddha. Para peziarah datang dari seluruh wilayah untuk berpartisipasi dalam perayaan ini, menciptakan suasana yang meriah dan penuh warna.
(Para 28) Selain festival pagoda, perayaan Thingyan (Tahun Baru Burma) pada bulan April adalah acara besar lainnya. Selama Thingyan, seluruh kota berpartisipasi dalam festival air, yang diyakini membersihkan dosa-dosa dan membawa keberuntungan untuk tahun yang baru. Tarian tradisional, musik, dan makanan khas disajikan di jalan-jalan, menciptakan kegembiraan yang meluap-luap.
Seni dan Kerajinan Tangan
(Para 29) Seni dan kerajinan tangan memiliki tempat penting dalam budaya Bago. Ukiran kayu adalah salah satu bentuk seni tradisional yang paling dihargai, dengan pengrajin lokal menghasilkan patung Buddha, figur dewa, dan motif dekoratif yang rumit. Kayu jati, yang melimpah di wilayah ini, sering digunakan sebagai media utama.
(Para 30) Selain ukiran kayu, tenun tekstil tradisional, terutama kain Mon dengan pola dan warna khasnya, masih dipraktikkan. Produksi lacquerware (kerajinan melamin) juga dapat ditemukan, meskipun tidak sepusat di Bagan. Kerajinan ini seringkali diwariskan secara turun-temurun, menjaga teknik dan estetika tradisional tetap hidup.
Ilustrasi Burung Hintha, simbol legendaris Bago dan budaya Mon.
Kuliner Khas Bago
(Para 31) Masakan Bago menawarkan cita rasa yang autentik dan lezat, mencerminkan perpaduan pengaruh Mon dan Burma. Nasi adalah makanan pokok, sering disajikan dengan berbagai lauk pauk berupa kari ikan, ayam, atau daging, disertai dengan sayuran tumis, sup, dan bumbu pelengkap pedas.
(Para 32) Salah satu hidangan khas Mon yang bisa ditemukan di Bago adalah mohinga, sup mie ikan yang kaya rasa dan sering disantap sebagai sarapan. Ada juga oh no khao swè (mie kari kelapa) dan berbagai jenis salad Myanmar (thoke) yang menggunakan sayuran segar, kacang-kacangan, dan berbagai saus yang gurih. Pasar lokal adalah tempat terbaik untuk mencicipi makanan jalanan dan jajanan tradisional.
Musik dan Tari Tradisional
(Para 33) Musik dan tari tradisional merupakan bagian integral dari perayaan dan kehidupan sosial di Bago. Musik Mon, dengan alat musik seperti gong, drum, dan flute bambu, memiliki melodi dan ritme yang khas. Tarian tradisional sering menceritakan kisah-kisah epik atau legenda lokal, dilakukan dengan gerakan anggun dan kostum yang berwarna-warni. Pertunjukan ini sering dapat disaksikan selama festival atau acara budaya khusus.
5. Ekonomi dan Kehidupan Modern di Bago
Pertanian sebagai Tulang Punggung
(Para 34) Ekonomi Bago secara tradisional sangat bergantung pada pertanian. Wilayah dataran rendah yang subur di sekitar kota ini menjadikannya salah satu lumbung padi utama di Myanmar. Ribuan hektar lahan ditanami padi, dan siklus tanam serta panen mendominasi kehidupan banyak penduduk pedesaan. Selain padi, komoditas pertanian lainnya seperti tebu, jagung, dan berbagai sayuran juga dibudidayakan.
(Para 35) Produksi karet juga merupakan sektor pertanian penting, dengan banyak perkebunan karet yang tersebar di wilayah Bago. Produk-produk pertanian ini tidak hanya memenuhi kebutuhan lokal tetapi juga diekspor, memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian regional dan nasional.
Perdagangan dan Industri Kecil
(Para 36) Sebagai pusat regional, Bago memiliki sektor perdagangan yang aktif. Pasar-pasar lokal, seperti Pasar Bago, adalah pusat kegiatan sehari-hari di mana barang-barang pertanian, pakaian, kerajinan tangan, dan kebutuhan sehari-hari diperdagangkan. Kota ini juga menjadi jalur penting untuk transportasi barang antara Yangon dan bagian lain negara itu.
(Para 37) Industri kecil dan menengah juga berkembang di Bago, termasuk pabrik penggilingan padi, pabrik pengolahan karet, dan bengkel-bengkel kerajinan tangan. Sektor pariwisata, meskipun belum sebesar Yangon atau Bagan, juga mulai memberikan kontribusi yang berarti, menciptakan lapangan kerja di sektor perhotelan, transportasi, dan jasa pemandu wisata.
Infrastruktur dan Pembangunan
(Para 38) Infrastruktur di Bago terus berkembang. Kota ini terhubung dengan Yangon dan kota-kota lain melalui jaringan jalan dan kereta api. Stasiun kereta api Bago adalah salah satu stasiun penting di jalur kereta api Myanmar. Aksesibilitas yang baik ini memfasilitasi perdagangan, perjalanan, dan konektivitas dengan wilayah lain.
(Para 39) Dalam beberapa tahun terakhir, ada upaya untuk meningkatkan fasilitas umum seperti pasokan listrik, air bersih, dan layanan kesehatan. Pembangunan perumahan dan komersial juga terus berjalan, seiring dengan pertumbuhan penduduk dan ekonomi. Meskipun demikian, masih ada tantangan dalam memastikan pembangunan yang merata dan berkelanjutan bagi semua warganya.
6. Bago sebagai Destinasi Wisata
(Para 40) Daya tarik utama Bago bagi wisatawan adalah kekayaan sejarah dan spiritualitasnya. Bagi mereka yang tertarik dengan budaya Buddha dan warisan kuno, Bago menawarkan pengalaman yang tak terlupakan.
Pengalaman Spiritual dan Budaya
(Para 41) Wisatawan dapat memulai hari dengan mengunjungi Pagoda Shwemawdaw, menyaksikan prosesi doa pagi para biksu, dan mengagumi kemegahan stupa emasnya. Kemudian, melanjutkan perjalanan ke Buddha Tidur Shwethalyaung untuk merenungkan keagungan patung raksasa tersebut dan mengamati detail artistiknya. Pagoda Kyaik Pun juga menawarkan pengalaman yang unik dengan empat patung Buddha yang menghadap ke empat arah.
(Para 42) Mengunjungi Istana Kanbawzathadi memberikan wawasan tentang kehidupan kerajaan di masa lalu, sementara Pagoda Hintha Gon adalah tempat yang bagus untuk menikmati pemandangan dan mendengarkan legenda pendirian kota Bago. Selain situs-situs utama ini, banyak pagoda dan vihara kecil lainnya yang tersebar di seluruh kota, masing-masing dengan ceritanya sendiri.
Interaksi dengan Masyarakat Lokal
(Para 43) Selain situs-situs bersejarah, interaksi dengan masyarakat lokal adalah bagian penting dari pengalaman di Bago. Mengunjungi pasar-pasar lokal, mengamati kehidupan sehari-hari, dan mencicipi hidangan khas di warung makan pinggir jalan dapat memberikan wawasan yang lebih dalam tentang budaya Burma dan Mon. Penduduk Bago umumnya ramah dan menyambut baik para pengunjung.
(Para 44) Wisatawan juga dapat mengamati pengrajin lokal yang membuat ukiran kayu atau menenun kain tradisional, dan bahkan membeli suvenir autentik. Pengalaman ini tidak hanya mendukung ekonomi lokal tetapi juga memungkinkan pengunjung untuk membawa pulang kenangan otentik dari Bago.
Tips Berwisata ke Bago
- (Para 45) Waktu Terbaik: Musim dingin (November-Februari) adalah waktu terbaik untuk mengunjungi Bago karena cuaca lebih sejuk dan kering.
- (Para 46) Transportasi: Bago dapat dijangkau dengan kereta api atau bus dari Yangon dalam waktu sekitar 2-3 jam. Di dalam kota, taksi, tuk-tuk, atau motor sewaan adalah pilihan transportasi yang umum.
- (Para 47) Pakaian: Kenakan pakaian yang sopan (menutupi bahu dan lutut) saat mengunjungi situs keagamaan, dan siapkan untuk melepas alas kaki di dalam area pagoda.
- (Para 48) Pemandu Lokal: Menyewa pemandu lokal dapat memperkaya pengalaman Anda dengan cerita dan wawasan sejarah yang lebih mendalam tentang Bago.
7. Tantangan dan Masa Depan Bago
(Para 49) Seperti banyak kota bersejarah lainnya, Bago menghadapi sejumlah tantangan sambil merencanakan masa depannya. Tantangan-tantangan ini berkisar dari konservasi warisan budaya hingga pembangunan berkelanjutan.
Konservasi Warisan Budaya
(Para 50) Banyak situs kuno di Bago telah bertahan selama berabad-abad, tetapi mereka rentan terhadap erosi waktu, bencana alam (seperti gempa bumi), dan dampak pariwisata. Konservasi dan pemeliharaan pagoda, istana, dan artefak bersejarah memerlukan investasi besar dan keahlian khusus. Pemerintah dan organisasi internasional bekerja sama untuk memastikan bahwa warisan tak ternilai ini terlindungi untuk generasi mendatang. Edukasi masyarakat tentang pentingnya menjaga situs-situs ini juga menjadi kunci.
Pembangunan Berkelanjutan
(Para 51) Seiring pertumbuhan kota dan perekonomian, Bago perlu menyeimbangkan pembangunan modern dengan pelestarian identitas historis dan lingkungan alaminya. Perencanaan kota yang bijaksana, pengelolaan limbah yang efektif, dan pengembangan infrastruktur yang ramah lingkungan menjadi sangat penting. Peningkatan akses terhadap pendidikan dan layanan kesehatan juga merupakan aspek krusial dari pembangunan berkelanjutan, memastikan bahwa semua warga Bago dapat berkembang.
Perubahan Iklim dan Lingkungan
(Para 52) Sebagai wilayah dataran rendah yang subur, Bago rentan terhadap dampak perubahan iklim, termasuk banjir dan kekeringan yang lebih ekstrem. Perlindungan lingkungan, pengelolaan sumber daya air, dan praktik pertanian yang berkelanjutan menjadi tantangan penting untuk memastikan ketahanan dan kesejahteraan jangka panjang bagi masyarakat Bago yang sebagian besar bergantung pada pertanian.
Pariwisata yang Bertanggung Jawab
(Para 53) Dengan meningkatnya jumlah wisatawan, Bago perlu mengembangkan pariwisata yang bertanggung jawab dan berkelanjutan. Ini berarti mengelola dampak lingkungan dan sosial dari pariwisata, memastikan manfaat ekonomi tersebar luas di antara masyarakat lokal, dan melestarikan keaslian budaya serta lingkungan. Promosi pariwisata yang menekankan penghormatan terhadap tradisi lokal dan situs suci juga sangat penting.