Bade Bali: Simbol Perjalanan Roh, Filosofi, dan Tradisi Ngaben
Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern, Bali tetap memegang teguh warisan budayanya yang kaya dan spiritual. Salah satu tradisi paling mendalam dan memukau adalah upacara Ngaben, sebuah ritual kremasi yang bertujuan mengantarkan jiwa yang telah meninggal dunia menuju alamnya yang sejati. Dalam setiap upacara Ngaben yang megah, terdapat satu elemen sentral yang tak terpisahkan: bade. Kata bade, dalam konteks Bali, merujuk pada menara pengusung jenazah yang dihias megah, berfungsi sebagai wahana sementara bagi roh untuk melepaskan diri dari ikatan duniawi.
Lebih dari sekadar struktur fisik, bade adalah manifestasi artistik dan filosofis dari keyakinan Hindu Dharma tentang kehidupan, kematian, dan reinkarnasi. Keberadaannya bukan hanya sebagai alat pengangkut, melainkan sebuah simbolisasi perjalanan spiritual, jembatan antara dunia fana dan alam niskala. Setiap detail pada bade, mulai dari bentuk dasar hingga hiasan puncaknya, mengandung makna mendalam yang diwariskan secara turun-temurun, menggambarkan kosmologi Hindu dan harapan akan penyatuan kembali jiwa dengan Sang Pencipta.
Artikel ini akan menyelami lebih jauh tentang bade: pengertiannya yang mendalam, filosofi yang melatarinya, struktur dan arsitekturnya yang unik, proses pembuatannya yang melibatkan semangat gotong royong, perannya dalam upacara Ngaben yang sakral, serta bagaimana tradisi ini bertahan dan berkembang di tengah arus modernisasi. Melalui pemahaman akan bade, kita dapat mengapresiasi keagungan spiritualitas Bali yang tak lekang oleh waktu.
I. Pengertian dan Konteks Bade dalam Upacara Ngaben
Apa itu Bade?
Secara harfiah, bade adalah menara atau usungan bertingkat yang digunakan untuk membawa jenazah menuju tempat kremasi (setra atau kuburan). Namun, maknanya jauh melampaui definisi fungsional tersebut. Bade adalah simbolisasi dari Gunung Mahameru, gunung suci dalam mitologi Hindu yang diyakini sebagai tempat bersemayamnya para dewa dan roh leluhur. Dengan membawa jenazah di atas bade, diharapkan roh dapat mencapai tingkatan suci tersebut dan kembali ke asalnya.
Menara ini dirancang sedemikian rupa sehingga membentuk tingkatan-tingkatan yang disebut "meru". Jumlah tingkatan pada bade tidak sembarangan; ia melambangkan status sosial atau kasta dari orang yang meninggal. Bade dengan tiga tingkatan (tumpang tiga) umumnya untuk sudra (rakyat biasa), lima tingkatan (tumpang lima) untuk wesya, tujuh tingkatan (tumpang tujuh) untuk ksatria, dan sebelas tingkatan (tumpang sebelas) untuk pendeta atau orang suci (sulinggih). Kadang-kadang juga ada bade dengan sembilan tingkatan (tumpang sembilan), juga untuk ksatria atau bangsawan tinggi. Setiap tingkatan meru ini bukan hanya estetika, melainkan representasi dari alam semesta (loka) dalam kosmologi Hindu Bali.
Posisi Bade dalam Rangkaian Upacara Ngaben
Upacara Ngaben merupakan salah satu ritual Pitra Yadnya (persembahan suci kepada leluhur) yang paling penting dalam agama Hindu di Bali. Rangkaian upacaranya sangat panjang dan kompleks, meliputi beberapa tahap penting:
- Mendem Lemah/Nepen: Penguburan sementara jenazah (jika Ngaben tidak segera dilaksanakan).
- Ngulapin/Nyakapin: Penjemputan dan pembersihan roh dari kuburan.
- Memasar: Pembersihan dan penataan jenazah sebelum ditempatkan di bade.
- Ngaben: Puncak upacara kremasi. Di sinilah bade memegang peranan krusial sebagai alat pengangkut.
- Ngerorasin/Nyekah: Ritual penyucian roh setelah kremasi.
- Nyegara Gunung: Pengembalian abu jenazah ke laut (nyegara) dan penempatan persembahan di gunung (ngunung) sebagai simbol penyatuan roh dengan alam semesta.
Bade digunakan pada tahap Ngaben, di mana jenazah yang telah disucikan ditempatkan di dalamnya, kemudian diusung secara beramai-ramai menuju setra atau tempat pembakaran. Prosesi pengusungan ini adalah momen yang paling spektakuler dan penuh emosi, diiringi gamelan beleganjur yang rancak dan sorak sorai masyarakat.
Perbedaan Bade dan Lembu (Patulangan)
Seringkali terjadi kekeliruan antara bade dan lembu (atau patulangan). Keduanya adalah bagian dari Ngaben, namun memiliki fungsi yang berbeda:
- Bade: Adalah menara pengusung jenazah dari rumah duka menuju tempat kremasi. Jenazah diletakkan di dalam bade selama perjalanan.
- Lembu (Patulangan): Adalah wadah berbentuk binatang (umumnya sapi/lembu, singa, gajah, atau naga) yang berfungsi sebagai sarkofagus atau tempat pembakaran jenazah. Setelah jenazah tiba di tempat kremasi dengan bade, ia akan dipindahkan dari bade ke dalam lembu ini untuk dibakar. Bentuk lembu juga seringkali disesuaikan dengan kasta atau status sosial orang yang meninggal.
Jadi, bade adalah wahana perjalanan, sedangkan lembu adalah wadah akhir untuk proses pembakaran. Keduanya sama-sama dibuat dengan detail artistik dan filosofis yang mendalam.
II. Filosofi dan Simbolisme Bade
Perjalanan Atma (Roh) Menuju Kebebasan
Inti dari upacara Ngaben dan keberadaan bade adalah keyakinan Hindu Bali tentang atma (roh) yang abadi. Kematian dipandang bukan sebagai akhir, melainkan sebagai transisi, sebuah pintu gerbang menuju kehidupan berikutnya atau penyatuan dengan Brahman (Tuhan Yang Maha Esa). Bade hadir sebagai simbol perjalanan atma yang sedang dilepaskan dari ikatan raga dan dunia material (maya). Dengan diusungnya jenazah di dalam bade, diyakini atma akan lebih mudah menemukan jalannya menuju alam pitra (leluhur) atau moksa (kebebasan sempurna).
"Bade bukan hanya alat angkut, melainkan sebuah jembatan suci yang mengantarkan atma dari alam manusia menuju alam dewa, meleburkan segala kekotoran duniawi."
Kosmologi Hindu: Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit
Struktur bade mencerminkan konsep Bhuwana Agung (makrokosmos, alam semesta) dan Bhuwana Alit (mikrokosmos, tubuh manusia). Filosofi ini terwujud dalam tiga bagian utama bade yang merepresentasikan Tri Loka (tiga alam) atau Tri Bhuwana:
- Dasar (Bawah): Bhur Loka
Bagian bawah bade yang menopang seluruh struktur, tempat para pengusung memikulnya. Ini melambangkan Bhur Loka, alam bawah atau alam manusia, tempat di mana manusia menjalani kehidupan fisik dengan segala nafsu dan keinginan duniawi. Bagian ini seringkali dihiasi dengan motif binatang-binatang mitologi yang melambangkan kekuatan duniawi atau penjaga.
- Badan (Tengah): Bwah Loka
Bagian tengah yang berbentuk piramida bertingkat (meru). Ini melambangkan Bwah Loka, alam perantara atau alam roh. Di alam ini, atma mengalami proses penyucian atau pertanggungjawaban atas perbuatan selama hidup. Tingkatan meru pada bade mewakili tingkatan spiritual yang harus dilalui atma untuk mencapai kesempurnaan. Hiasan pada bagian ini lebih halus, seringkali berupa ukiran tumbuh-tumbuhan atau pola-pola geometris yang indah.
- Puncak (Atas): Swah Loka
Bagian paling atas yang berupa atap bertingkat dan mahkota atau singgasana suci (kadang dihiasi burung Garuda atau payung keemasan). Ini melambangkan Swah Loka, alam dewa atau alam surga, tempat atma yang telah suci bersemayam dan bersatu dengan Brahman. Bagian ini adalah titik tertinggi dan tersuci dari bade, menunjukkan tujuan akhir perjalanan atma.
Keseluruhan struktur bade, dari bawah hingga puncak, adalah sebuah perjalanan vertikal spiritual, dari alam materi menuju alam spiritual tertinggi.
Simbolisme Ornamen dan Hiasan
Setiap ukiran, warna, dan bentuk pada bade tidaklah dibuat tanpa makna. Semuanya adalah simbol yang memperkuat tujuan spiritual bade:
- Warna: Warna-warna cerah seperti emas, merah, putih, dan hitam memiliki makna filosofis tersendiri dalam kebudayaan Bali, seringkali melambangkan arah mata angin, elemen, atau kualitas spiritual tertentu.
- Naga: Seringkali digambarkan di bagian dasar bade, melambangkan kekuatan alam bawah, penjaga atau penopang bumi. Naga juga merupakan simbol kesuburan dan kekuatan mistis.
- Garuda: Burung mitologi ini sering menghiasi bagian atas bade, melambangkan kendaraan para dewa (terutama Dewa Wisnu) dan kebebasan atma yang melayang menuju surga. Garuda adalah simbol keagungan dan pelepasan.
- Bhoma/Karang Boma: Makhluk mitologi ini sering ditempatkan di pintu masuk bade, berfungsi sebagai penolak bala dan penjaga dari kekuatan negatif, memastikan perjalanan atma berjalan lancar dan aman.
- Patung Dewa-Dewi: Terkadang, patung atau ukiran dewa-dewi tertentu dapat ditemukan, melambangkan perlindungan dan bimbingan ilahi selama perjalanan spiritual.
- Payung Tedung: Payung keemasan yang dipasang di puncak bade melambangkan kemuliaan, perlindungan, dan status keagungan.
Melalui simbolisme yang kaya ini, bade tidak hanya menjadi benda mati, melainkan sebuah living art yang menceritakan kisah spiritualitas dan keyakinan masyarakat Bali.
III. Struktur dan Arsitektur Bade
Bahan Dasar dan Pembangunan
Pembuatan bade adalah sebuah mahakarya kolaborasi antara seni, kerajinan, dan kearifan lokal. Bahan-bahan yang digunakan sebagian besar berasal dari alam dan mudah didapat di Bali:
- Kayu: Sebagai rangka utama yang kokoh, biasanya menggunakan kayu nangka atau jenis kayu lain yang kuat dan mudah diukir.
- Bambu: Digunakan untuk struktur tambahan, tangga, atau penguat. Bambu memiliki sifat fleksibel namun kuat.
- Kertas: Berbagai jenis kertas, mulai dari kertas koran bekas hingga kertas warna, digunakan untuk membuat ornamen, lapisan, dan hiasan.
- Kain: Kain putih, kuning, merah, atau hitam digunakan sebagai pembungkus atau hiasan, masing-masing dengan makna simbolisnya.
- Styrofoam: Dalam perkembangannya, styrofoam sering digunakan untuk membuat ukiran atau ornamen yang lebih ringan dan detail, menggantikan bahan tradisional yang lebih berat dan rumit.
- Cat dan Lem: Digunakan untuk merekatkan dan memberi warna cerah pada setiap bagian bade.
- Hiasan Tradisional: Daun lontar, janur (daun kelapa muda), bunga-bunga segar, dan sesajen juga melengkapi keindahan dan kesakralan bade.
Proses pembangunannya melibatkan banyak tangan dan keahlian, dimulai dari para undagi (arsitek tradisional) yang merancang, hingga seniman ukir dan masyarakat yang bergotong royong menghias.
Bagian-bagian Utama Bade
Meskipun bervariasi dalam ukuran dan hiasan, struktur dasar bade umumnya terdiri dari:
- Dasar (Pengawak):
Ini adalah bagian paling bawah yang berfungsi sebagai pondasi dan tempat para pengusung memikul bade. Bentuknya kokoh, seringkali berupa pondasi segi empat atau segi delapan. Di sinilah sering dihiasi dengan patung atau ukiran naga, penyu, atau makhluk mitologi lain yang melambangkan kekuatan bumi. Di bagian tengah dasar ini terdapat sebuah rongga tempat jenazah akan ditempatkan sebelum diusung.
- Badan (Meru atau Tingkatan):
Bagian inilah yang paling mencolok dengan tingkatan-tingkatan (tumpang) yang semakin mengecil ke atas, menyerupai piramida atau gunung. Setiap tingkatan meru memiliki makna kosmologis seperti yang dijelaskan sebelumnya. Bentuknya biasanya kotak atau segi delapan. Permukaannya dihiasi dengan ukiran kertas, kain, dan styrofoam yang membentuk motif flora, fauna, atau figur dewa-dewi. Jumlah tingkatan meru ini adalah penentu kasta orang yang meninggal.
- Puncak (Pelinggih atau Mahkota):
Bagian paling atas dari bade, yang merupakan representasi dari puncak Gunung Mahameru atau singgasana suci. Di sini sering diletakkan simbol-simbol suci seperti mahkota, payung tedung, atau patung burung Garuda. Bagian ini adalah titik tersuci, melambangkan tujuan akhir atma untuk mencapai alam kebebasan abadi.
Variasi Bentuk Berdasarkan Kasta dan Status Sosial
Jumlah tingkatan meru pada bade adalah penanda paling jelas dari status sosial almarhum:
- Tumpang Tiga (3 tingkat): Untuk golongan Sudra (rakyat biasa).
- Tumpang Lima (5 tingkat): Untuk golongan Wesya (pedagang, petani kaya).
- Tumpang Tujuh (7 tingkat): Untuk golongan Ksatria (bangsawan, pemimpin).
- Tumpang Sembilan (9 tingkat): Untuk golongan Ksatria utama atau raja.
- Tumpang Sebelas (11 tingkat): Untuk Sulinggih (pendeta, orang suci), menunjukkan tingkatan spiritual tertinggi.
Selain tingkatan, ukuran dan kemegahan hiasan juga seringkali mencerminkan kemampuan finansial keluarga. Bade untuk Sulinggih biasanya dihias dengan sangat detail dan menggunakan warna-warna yang lebih sakral, kadang dilengkapi dengan singgasana kecil di puncaknya. Ada juga bade yang memiliki bentuk dasar khusus, misalnya dihiasi dengan Patung Lembu atau Naga di bagian dasar untuk menampung jenazah. Variasi ini menunjukkan kekayaan tradisi dan hierarki sosial yang ada dalam masyarakat Bali.
IV. Proses Pembuatan dan Persiapan Bade
Perencanaan Awal dan Musyawarah Adat (Paruman)
Pembuatan bade bukanlah proyek dadakan. Ia memerlukan perencanaan matang yang melibatkan seluruh komunitas. Ketika sebuah keluarga memutuskan untuk mengadakan Ngaben, langkah pertama adalah melakukan musyawarah adat atau paruman di banjar (dusun) atau desa adat. Dalam paruman ini, diputuskanlah jenis dan ukuran bade yang akan dibuat, disesuaikan dengan status almarhum dan kemampuan keluarga, serta jadwal upacara. Penentuan jenis bade yang tepat sangat penting karena berkaitan dengan nilai-nilai filosofis dan tradisi yang berlaku di desa setempat.
Para pemangku adat, tokoh masyarakat, dan undagi (arsitek atau seniman tradisional) akan terlibat aktif dalam diskusi ini. Mereka akan memberikan panduan berdasarkan dresta (adat istiadat) yang berlaku, memastikan bahwa semua aspek spiritual dan teknis terpenuhi. Proses ini memperlihatkan eratnya ikatan kekeluargaan dan komunal di Bali.
Pemilihan Bahan dan Penentuan Undagi
Setelah rencana disepakati, bahan-bahan mulai dikumpulkan. Kayu dan bambu dipilih yang terbaik, sementara kertas, kain, dan bahan hiasan lainnya disiapkan. Pemilihan undagi atau seniman yang akan memimpin pembuatan bade juga merupakan hal penting. Undagi bukan hanya seorang pengrajin, melainkan juga seorang yang memahami filosofi dan spiritualitas di balik bade. Mereka memiliki keahlian khusus dalam merancang, mengukir, dan menghias, seringkali dengan pola-pola tradisional yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.
Undagi akan membuat sketsa dan pola, kemudian memimpin masyarakat dalam proses pengerjaan. Penggunaan styrofoam dalam beberapa tahun terakhir telah mempermudah pembuatan ornamen yang detail dan rumit, mengurangi berat total bade, dan mempercepat proses pengerjaan. Namun, prinsip dasar pembuatan dan makna filosofisnya tetap dipertahankan.
Ritual Sebelum Pembuatan
Sebelum kapak pertama mengenai kayu atau bambu, serangkaian ritual kecil dilaksanakan. Ini adalah bagian dari tradisi Nyukat Genah atau Ngawit Karya, yaitu memohon restu kepada Tuhan dan leluhur agar proses pembuatan bade berjalan lancar dan aman. Sesajen sederhana dipersembahkan, doa-doa dipanjatkan, dan air suci (tirta) dipercikkan pada bahan-bahan yang akan digunakan. Tujuannya adalah untuk membersihkan bahan dari energi negatif dan menjadikannya suci untuk tujuan spiritual yang luhur.
Ritual ini menegaskan bahwa bade bukanlah sekadar kerajinan tangan, melainkan sebuah benda sakral yang akan menjadi wahana atma. Setiap tahap pembangunan, mulai dari pemilihan bahan hingga penyelesaian, dijiwai oleh nilai-nilai spiritual dan penghormatan terhadap alam.
Proses Gotong Royong (Ngayah)
Salah satu aspek paling indah dalam pembuatan bade adalah semangat ngayah, yaitu kerja bakti sukarela tanpa mengharapkan upah. Seluruh anggota banjar atau desa adat, baik laki-laki maupun perempuan, tua maupun muda, akan terlibat. Laki-laki biasanya mengerjakan struktur rangka dan mengangkat bagian-bagian yang berat, sementara perempuan dan anak-anak membantu dengan hiasan, pemotongan kertas, dan pewarnaan.
Proses ngayah ini bukan hanya tentang menyelesaikan pekerjaan, tetapi juga tentang mempererat tali persaudaraan dan solidaritas sosial. Dalam semangat kebersamaan ini, beban keluarga yang sedang berduka menjadi lebih ringan, dan kebersamaan menjadi nilai luhur yang dijunjung tinggi. Pembuatan bade bisa memakan waktu berminggu-minggu, tergantung ukuran dan kerumitannya, semuanya diselesaikan dengan gotong royong.
Persiapan Akhir dan Upacara Pembersihan
Setelah bade selesai dibuat, ia akan dihias dengan lebih detail. Daun janur yang dirangkai indah (busung), bunga-bunga segar, dan kain-kain beraneka warna ditambahkan untuk mempercantik dan menyucikan. Beberapa hari sebelum Ngaben, bade akan ditempatkan di halaman rumah duka atau di tempat khusus yang telah disucikan.
Pada hari H upacara Ngaben, sebelum jenazah dimasukkan ke dalam bade, dilakukan upacara Mapepada atau Majar-ujar, yaitu upacara pembersihan dan penyucian terakhir terhadap bade. Upacara ini memastikan bahwa bade telah siap secara spiritual untuk mengemban tugasnya sebagai wahana suci bagi atma. Ini adalah persiapan akhir sebelum bade menjadi pusat perhatian dalam prosesi Ngaben yang megah.
V. Peran Bade dalam Upacara Ngaben
Sebelum Ngaben: Penempatan Jenazah
Pada pagi hari upacara Ngaben, jenazah yang telah dimandikan dan dibersihkan (seringkali dalam keadaan kerangka jika sebelumnya dikubur) akan dihias dan dibungkus kain putih. Kemudian, dengan hati-hati dan penuh hormat, jenazah akan dimasukkan ke dalam ruang khusus di bagian dasar bade. Beberapa ritual kecil dilakukan saat jenazah ditempatkan, memastikan atma dapat bersemayam dengan tenang di dalam bade untuk perjalanan terakhirnya.
Jenazah diletakkan dalam posisi yang merefleksikan posisi tidur atau berbaring, seolah-olah sedang beristirahat sebelum memulai perjalanan spiritual yang panjang. Ruangan di dalam bade dirancang agar jenazah dapat disemayamkan dengan layak selama prosesi pengusungan.
Prosesi Pengusungan: Nganyut dan Makna Memutar
Inilah momen paling dinantikan dan spektakuler dari upacara Ngaben. Puluhan, bahkan ratusan laki-laki dari desa adat akan bergotong royong mengangkat bade yang berat. Prosesi dimulai dari rumah duka menuju setra (tempat kremasi) atau lokasi pembakaran. Diiringi oleh suara gamelan beleganjur yang dinamis dan riuh rendah teriakan "hooo!" dari para pengusung, bade diarak melalui jalanan desa.
Salah satu tradisi unik dalam pengusungan bade adalah gerakan memutar bade di setiap persimpangan atau perempatan jalan. Gerakan memutar ini, yang disebut nganyut atau muter bade, memiliki makna filosofis yang sangat dalam. Ia bertujuan untuk:
- Mengelabui Roh Jahat: Dipercaya bahwa dengan memutar bade, roh-roh jahat atau bhuta kala yang mungkin mencoba mengganggu perjalanan atma akan bingung dan tidak dapat mengikuti.
- Melepaskan Ikatan Duniawi: Gerakan berputar juga melambangkan pelepasan ikatan atma dengan dunia material dan segala hawa nafsu yang mungkin masih melekat pada raga.
- Menghormati Arah Mata Angin: Dalam kosmologi Bali, empat arah mata angin memiliki penjaga dan makna spiritual tersendiri. Memutar bade dianggap sebagai bentuk penghormatan dan permintaan restu dari penjaga setiap arah.
Suasana selama prosesi ini sangat kontras: di satu sisi ada duka dan kesedihan keluarga, di sisi lain ada semangat kebersamaan dan kegembiraan spiritual dari masyarakat yang membantu atma untuk kembali ke asalnya.
Tiba di Setra dan Pemindahan Jenazah
Setibanya di setra atau tempat pembakaran, bade akan diturunkan dengan hati-hati. Di tempat ini, sudah menunggu lembu (patulangan) yang juga telah disiapkan. Jenazah kemudian dipindahkan dari bade ke dalam lembu. Proses pemindahan ini juga dilakukan dengan serangkaian ritual dan doa-doa, menegaskan bahwa atma telah menyelesaikan perjalanannya di atas bade dan siap untuk tahap selanjutnya: pembakaran.
Bade yang telah kosong dari jenazah, dalam beberapa tradisi, akan dibakar bersama dengan lembu dan jenazah. Namun, ada juga tradisi di mana bade hanya dirobohkan atau dibongkar setelah jenazah dipindahkan, dan hanya lembu yang dibakar bersama jenazah. Keputusan ini seringkali tergantung pada dresta desa setempat dan juga pertimbangan efisiensi atau ketersediaan lahan untuk pembakaran.
Pembakaran Bade (atau Pembongkaran) dan Makna Spiritual
Ketika api membakar lembu dan jenazah, jika bade juga ikut dibakar, maka seluruh struktur megah itu akan lenyap menjadi abu. Pembakaran ini melambangkan proses penyucian sempurna, di mana elemen-elemen fisik (Panca Maha Bhuta) kembali ke alam asalnya dan atma terbebaskan dari raga. Asap yang membumbung tinggi dari pembakaran diyakini membawa atma menuju surga.
Jika bade tidak dibakar, ia akan dibongkar dan materialnya dikembalikan ke alam, sebagai bentuk penghormatan terhadap bahan-bahan yang telah membantu atma dalam perjalanannya. Dalam kedua kasus, bade telah menunaikan tugas sucinya, menjadi jembatan spiritual yang mengantarkan jiwa menuju kebebasan. Proses ini adalah penutup dari perjalanan fisik atma di dunia fana.
VI. Bade dalam Berbagai Jenis Ngaben
Ngaben Massal (Ngaben Kolektif)
Untuk meringankan beban finansial dan tenaga bagi keluarga, seringkali diadakan Ngaben massal atau Ngaben kolektif. Dalam Ngaben massal, beberapa jenazah dari keluarga atau banjar yang berbeda diupacarai secara bersamaan. Meskipun jenazah diarak bersama, biasanya setiap jenazah akan memiliki bade atau setidaknya keranda tersendiri yang dihias. Ukuran dan kerumitan bade mungkin lebih sederhana dibandingkan Ngaben perorangan yang sangat besar, namun filosofi dan esensinya tetap sama.
Ngaben massal juga seringkali menggunakan satu bade raksasa yang dihias megah sebagai simbolisasi kolektif, dan di dalamnya terdapat beberapa kerangka yang kemudian akan dipindahkan ke lembu masing-masing untuk pembakaran. Ini adalah bentuk gotong royong yang luar biasa, menunjukkan kekuatan komunitas dalam mempertahankan tradisi.
Ngaben untuk Sulinggih (Ida Pedanda)
Upacara Ngaben untuk seorang Sulinggih (pendeta atau orang suci) memiliki tingkatan kesakralan dan kemegahan yang sangat tinggi. Bade yang digunakan untuk Sulinggih biasanya memiliki sebelas tingkatan (tumpang solas), merupakan tingkatan tertinggi dan paling suci, melambangkan pencapaian spiritual tertinggi dari Sulinggih tersebut. Hiasannya pun sangat detail, mewah, dan dipenuhi dengan simbol-simbol keagamaan yang mendalam.
Prosesi pengusungan bade Sulinggih juga sangat istimewa, seringkali diiringi oleh iring-iringan upacara yang lebih panjang dan jenis gamelan yang lebih lengkap. Ini adalah bentuk penghormatan tertinggi masyarakat terhadap sosok yang telah mendedikasikan hidupnya untuk melayani agama dan membimbing umat.
Ngaben Ngerit (Ngebet)
Ada pula tradisi Ngaben Ngerit atau Ngebet, yaitu upacara kremasi yang dilakukan tanpa jenazah fisik, melainkan hanya menggunakan simbolis berupa puspa (bunga) atau kerangka buatan. Ini biasanya dilakukan jika jenazah tidak ditemukan atau telah meninggal di luar negeri dan tidak dapat dibawa pulang. Meskipun tidak ada jenazah, bade tetap dibuat sebagai simbol wahana bagi atma, menegaskan bahwa esensi bade adalah untuk perjalanan roh, bukan hanya raga.
VII. Aspek Sosial dan Ekonomi Bade
Gotong Royong (Ngayah) dan Solidaritas Masyarakat
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, ngayah adalah tulang punggung dari pelaksanaan Ngaben, termasuk pembuatan bade. Semangat ini menciptakan ikatan sosial yang kuat antarwarga desa. Tidak ada pembayaran upah, semua bekerja atas dasar tulus ikhlas, dengan keyakinan bahwa membantu orang yang meninggal adalah kewajiban sosial dan keagamaan. Ngayah bukan hanya meringankan beban keluarga yang berduka, tetapi juga memperkuat rasa kekeluargaan dan identitas komunitas.
Di balik kemegahan bade, terhampar kisah-kisah kebersamaan, tawa canda, dan keringat yang mengalir dari ribuan tangan yang bahu-membahu. Ini adalah wujud nyata dari filosofi Tri Hita Karana (tiga penyebab kebahagiaan), khususnya hubungan harmonis antarmanusia (pawongan).
Peran Krama Desa (Desa Adat)
Setiap desa adat (dusun) di Bali memiliki peran sentral dalam mengatur dan melaksanakan upacara Ngaben. Krama desa (anggota desa adat) memiliki tugas dan tanggung jawab masing-masing, mulai dari penyediaan tempat, pengaturan logistik, hingga pelaksanaan ritual. Keputusan mengenai Ngaben, termasuk jenis bade, seringkali melalui kesepakatan adat yang dipegang teguh. Peran desa adat memastikan bahwa tradisi tetap terjaga dan terlaksana sesuai dengan dresta yang berlaku.
Desa adat juga berfungsi sebagai penengah jika ada perbedaan pandangan atau masalah yang muncul selama persiapan. Mereka memastikan bahwa seluruh prosesi berjalan dengan lancar dan harmonis, mencerminkan persatuan dan keselarasan dalam masyarakat.
Biaya dan Upaya Penghematan
Pembuatan bade yang megah, apalagi yang bertingkat banyak, memerlukan biaya yang tidak sedikit. Bahan baku, hiasan, tenaga ahli (undagi), dan waktu pengerjaan bisa sangat mahal. Hal ini seringkali menjadi beban finansial bagi keluarga, terutama bagi mereka dengan status sosial menengah ke bawah.
Untuk mengatasi masalah ini, masyarakat Bali telah mengembangkan beberapa strategi:
- Ngaben Massal: Seperti yang disebutkan, ini adalah cara paling efektif untuk menekan biaya karena beban dibagi oleh banyak keluarga. Sumber daya dan tenaga juga digunakan secara efisien.
- Penyederhanaan Bade: Tidak semua bade harus sangat megah. Bade yang lebih sederhana namun tetap memenuhi unsur filosofis juga umum digunakan, terutama di pedesaan.
- Penggunaan Kembali Bahan: Beberapa bahan, terutama rangka dasar bade, kadang-kadang bisa dipertimbangkan untuk digunakan kembali jika kondisinya masih baik (meskipun ini tidak selalu berlaku untuk semua bagian, mengingat nilai kesakralan).
- Bantuan dari Banjar: Masyarakat desa adat seringkali memiliki dana kas atau sistem bantuan yang dapat digunakan untuk membantu keluarga yang membutuhkan dalam penyelenggaraan upacara adat.
Upaya-upaya ini menunjukkan adaptasi masyarakat Bali untuk tetap mempertahankan tradisi luhur tanpa harus terbebani secara berlebihan oleh aspek material.
Pengaruh Pariwisata: Antara Sakral dan Tontonan
Bali adalah destinasi pariwisata dunia, dan upacara Ngaben, dengan bade-nya yang megah, seringkali menjadi daya tarik bagi wisatawan. Fenomena ini menimbulkan dilema: di satu sisi, pariwisata dapat membantu pelestarian budaya dengan menarik perhatian dan mungkin dana, namun di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa upacara sakral ini bisa berubah menjadi "tontonan" belaka, kehilangan esensi spiritualnya.
Masyarakat Bali sendiri berusaha keras untuk menjaga kesakralan upacara. Meskipun wisatawan diizinkan untuk menyaksikan, mereka diharapkan untuk menghormati adat istiadat, mengenakan pakaian sopan, dan tidak mengganggu jalannya ritual. Pengusung bade juga tetap fokus pada tujuan spiritual mereka, tidak terpengaruh oleh keramaian di sekitar.
Pariwisata juga terkadang memicu keinginan untuk membuat bade yang lebih megah dan spektakuler, namun ini juga harus diimbangi dengan pemahaman filosofis agar tidak kehilangan makna aslinya. Keseimbangan antara pelestarian tradisi dan adaptasi terhadap modernitas adalah tantangan yang terus-menerus dihadapi.
VIII. Konservasi dan Modernisasi
Dinamika Bentuk Bade di Era Modern
Tradisi adalah sesuatu yang hidup dan dinamis, termasuk pembuatan bade. Seiring waktu, ada beberapa perubahan dan adaptasi yang terjadi:
- Penggunaan Material Modern: Seperti disebutkan, styrofoam kini sering digunakan untuk detail ukiran, membuat bade lebih ringan dan cepat dibuat. Ini adalah kompromi praktis yang tidak mengurangi esensi spiritual.
- Desain yang Lebih Berani: Beberapa undagi muda mungkin bereksperimen dengan desain yang sedikit lebih modern atau menggabungkan elemen-elemen baru, selama tetap berpegang pada filosofi dasar dan simbolisme yang diakui.
- Efisiensi Pembuatan: Dengan teknologi dan alat yang lebih canggih, proses pemotongan kayu atau penyambungan rangka bisa menjadi lebih efisien, mengurangi waktu dan tenaga yang dibutuhkan.
Namun, perubahan ini selalu berada dalam batasan norma adat dan kesepakatan masyarakat. Inti dari bade sebagai wahana atma dan simbol Gunung Mahameru tetap tak tergoyahkan.
Tantangan Pelestarian Tradisi
Di tengah modernisasi, tradisi Ngaben dan pembuatan bade menghadapi beberapa tantangan:
- Generasi Muda: Tidak semua generasi muda tertarik atau memiliki waktu luang untuk ngayah dalam pembuatan bade. Edukasi dan keterlibatan aktif sangat diperlukan.
- Biaya: Meskipun ada upaya penghematan, biaya Ngaben perorangan yang besar tetap menjadi tantangan, terutama bagi keluarga di perkotaan.
- Urbanisasi: Di daerah perkotaan, lahan untuk upacara Ngaben yang luas semakin terbatas, dan prosesi pengusungan bade yang panjang menjadi sulit dilakukan karena kepadatan lalu lintas.
- Komersialisasi: Risiko komersialisasi tradisi yang dapat mengurangi nilai sakralnya.
Upaya Pelestarian dan Edukasi
Meskipun demikian, masyarakat Bali secara aktif melakukan berbagai upaya untuk melestarikan tradisi ini. Salah satunya adalah melalui pendidikan budaya di sekolah-sekolah, mengajarkan generasi muda tentang makna dan pentingnya Ngaben, termasuk filosofi bade. Pelatihan undagi muda juga terus dilakukan untuk memastikan keahlian dalam membuat bade tidak punah.
Pemerintah daerah dan lembaga kebudayaan juga sering menyelenggarakan festival atau pameran yang menampilkan seni Ngaben, termasuk replika bade, sebagai bentuk edukasi dan promosi budaya. Dengan demikian, bade tidak hanya menjadi saksi bisu perjalanan roh, tetapi juga simbol vitalitas dan ketahanan budaya Bali dalam menghadapi modernisasi.
Kesimpulan
Bade adalah lebih dari sekadar menara pengusung jenazah dalam upacara Ngaben di Bali. Ia adalah sebuah mahakarya yang sarat akan filosofi, simbolisme, dan kearifan lokal. Dari tingkatan-tingkatan meru yang melambangkan kosmologi Hindu hingga ukiran naga dan garuda yang merepresentasikan kekuatan alam semesta, setiap elemen bade adalah cerminan mendalam dari keyakinan masyarakat Bali tentang kehidupan, kematian, dan reinkarnasi.
Peran bade sebagai wahana sementara bagi atma untuk melepaskan ikatan duniawi dan menuju alam kebebasan adalah inti spiritualnya. Proses pembuatannya yang melibatkan semangat gotong royong (ngayah) menunjukkan kekuatan solidaritas sosial yang tak ternilai. Meskipun dihadapkan pada tantangan modernisasi dan biaya, masyarakat Bali terus berupaya menjaga dan melestarikan tradisi luhur ini, memastikan bahwa bade akan terus berdiri megah sebagai simbol perjalanan roh yang abadi.
Memahami bade berarti memahami salah satu pilar utama spiritualitas dan kebudayaan Bali yang kaya. Ia mengajarkan kita tentang siklus hidup yang tak terputus, pentingnya penghormatan terhadap leluhur, dan keindahan dalam melepaskan. Bade adalah jembatan antara dua dunia, manifestasi nyata dari keyakinan bahwa kematian bukanlah akhir, melainkan awal dari sebuah perjalanan baru yang penuh harapan.