Asas Konkordansi: Fondasi Sistem Hukum Indonesia

Menyelami sejarah, prinsip, dan relevansi asas konkordansi dalam membentuk wajah hukum di Republik Indonesia, dari era kolonial hingga tantangan modern.

Pendahuluan: Memahami Akar Hukum Indonesia

Sistem hukum suatu negara adalah cerminan kompleks dari sejarah, budaya, filosofi, dan aspirasi masyarakatnya. Indonesia, sebagai negara kepulauan yang kaya akan keragaman, memiliki sistem hukum yang unik, di mana salah satu pilar fundamentalnya adalah Asas Konkordansi. Asas ini bukan sekadar istilah hukum yang usang, melainkan sebuah prinsip yang telah membentuk dan terus mempengaruhi struktur serta substansi hukum di Indonesia sejak zaman kolonial hingga saat ini. Untuk memahami lanskap hukum Indonesia secara utuh, adalah krusial untuk menelusuri secara mendalam apa itu asas konkordansi, bagaimana ia lahir, berkembang, diterapkan, serta dampak-dampak yang ditimbulkannya.

Pada pandangan pertama, asas konkordansi mungkin tampak seperti konsep yang terkesan rumit atau bahkan arkais. Namun, esensinya sangat mendasar: ia mengatur tentang pemberlakuan hukum yang sama di wilayah jajahan dengan hukum yang berlaku di negeri induk. Bagi Indonesia, ini berarti hukum-hukum kolonial Belanda diberlakukan di Hindia Belanda, yang kemudian menjadi cikal bakal dari sebagian besar sistem hukum modern kita. Pemahaman tentang asas ini akan membuka wawasan mengenai mengapa banyak undang-undang kita memiliki kesamaan, bahkan kemiripan redaksional, dengan hukum-hukum di Belanda, terutama dalam bidang hukum perdata dan dagang.

Artikel ini akan membawa pembaca pada perjalanan komprehensif untuk mengurai seluk-beluk asas konkordansi. Kita akan memulai dengan definisi dan konsep dasar, lalu menyelami latar belakang sejarah yang mendalam, mulai dari motif kolonial hingga evolusinya pasca-kemerdekaan. Selanjutnya, kita akan membahas tujuan dan filosofi di balik pembentukan asas ini, serta prinsip-prinsip utama yang menjadi panduan dalam penerapannya. Ruang lingkup dan bidang-bidang penerapan hukum konkordansi, seperti hukum perdata, dagang, dan catatan khusus untuk hukum pidana, akan dianalisis secara rinci. Tak kalah penting, kita akan mengevaluasi dampak positif dan negatif, serta berbagai kritik yang muncul seiring waktu. Akhirnya, artikel ini akan merenungkan perdebatan dan tantangan modern yang dihadapi asas konkordansi, bagaimana ia berinteraksi dengan kebutuhan modernisasi hukum, relevansi global, dan masa depannya di tengah arus globalisasi dan reformasi hukum di Indonesia.

Definisi dan Konsep Dasar Asas Konkordansi

Secara etimologis, kata "konkordansi" berasal dari bahasa Latin concordantia, yang berarti persesuaian atau keselarasan. Dalam konteks hukum, Asas Konkordansi merujuk pada prinsip penyesuaian sistem hukum suatu wilayah jajahan atau daerah protektorat dengan sistem hukum yang berlaku di negara penjajah atau induknya. Dengan kata lain, asas ini menghendaki adanya keseragaman hukum antara wilayah koloni dan metropol (negara induk). Di Indonesia, asas ini secara spesifik berarti bahwa hukum yang berlaku di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) diselaraskan dengan hukum yang berlaku di Belanda.

Definisi ini diperkuat oleh sejumlah ahli hukum dan peraturan perundang-undangan. Salah satu landasan yuridis paling penting bagi asas konkordansi di Hindia Belanda adalah Pasal 131 dari Indische Staatsregeling (IS) atau Reglement Op de Staatsinrichting van Nederlandsch-Indië tahun 1854. Pasal 131 IS secara eksplisit menyatakan bahwa “ketentuan-ketentuan dalam undang-undang yang berlaku di Negeri Belanda tentang hukum perdata, hukum dagang, hukum pidana, dan hukum acara harus diberlakukan juga di Hindia Belanda, sejauh tidak bertentangan dengan kepentingan-kepentingan khusus di Hindia Belanda.” Klausul "sejauh tidak bertentangan dengan kepentingan-kepentingan khusus di Hindia Belanda" ini memberikan sedikit ruang adaptasi, meskipun dalam praktiknya seringkali interpretasinya cukup ketat untuk memastikan keseragaman.

Konsep dasar asas konkordansi bukan hanya sekadar mengimpor undang-undang, tetapi juga mengimpor sistem nilai, struktur hukum, dan bahkan pola pikir yudisial. Ini berarti, bukan hanya teks hukumnya yang diadopsi, tetapi juga cara menafsirkan, menerapkan, dan mengembangkan hukum tersebut. Oleh karena itu, asas konkordansi memiliki implikasi yang sangat luas, meliputi:

Penting untuk dicatat bahwa asas konkordansi tidak berlaku secara mutlak untuk seluruh aspek kehidupan hukum. Ada pengecualian dan adaptasi yang muncul, terutama terkait dengan hukum adat atau hukum agama yang sudah mengakar kuat di masyarakat pribumi. Namun, untuk bidang-bidang hukum yang dianggap "modern" atau "strategis" oleh kolonial, seperti hukum perdata, dagang, dan pidana yang berkaitan dengan kepentingan ekonomi dan ketertiban umum, asas konkordansi diterapkan dengan sangat konsisten. Hal ini yang kemudian menciptakan dualisme atau pluralisme hukum di Indonesia, di mana hukum Barat berdampingan dengan hukum adat dan hukum agama, suatu warisan yang masih terasa hingga kini.

Asas Konkordansi: Fondasi Hukum HUKUMBELANDA HUKUMINDONESIA
Ilustrasi konsep asas konkordansi yang menyatukan hukum Belanda dan Indonesia, menunjukkan aliran pengaruh.

Latar Belakang Sejarah dan Perkembangan

Untuk benar-benar memahami asas konkordansi, kita harus menengok jauh ke belakang, ke masa di mana Nusantara masih bernama Hindia Belanda dan berada di bawah cengkeraman kolonialisme Eropa. Asas ini bukan muncul begitu saja, melainkan merupakan hasil dari dinamika politik, ekonomi, dan sosial yang kompleks pada era tersebut. Sejarah asas konkordansi dapat dibagi menjadi beberapa fase penting yang saling terkait.

Era Kolonial Belanda: Awal Mula Penerapan

Lahirnya asas konkordansi tidak lepas dari kebutuhan Belanda untuk menata dan mengelola wilayah jajahannya yang begitu luas dan beragam. Pada awalnya, hukum yang berlaku di Hindia Belanda sangatlah tidak seragam, tergantung pada wilayah dan komunitas. VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), yang menguasai sebagian besar wilayah ini sebelum diambil alih oleh pemerintah Belanda, cenderung menerapkan hukum yang pragmatis dan disesuaikan dengan kebutuhan perdagangan, seringkali mencampurkan unsur hukum adat lokal dengan hukum dagang Eropa.

Ketika pemerintah Belanda mengambil alih kekuasaan dari VOC pada awal abad ke-19, muncul kebutuhan akan sistem hukum yang lebih terstruktur dan seragam. Liberalisme ekonomi dan politik di Eropa pada masa itu mendorong ide bahwa hukum haruslah rasional, sistematis, dan tertulis (kodifikasi). Di Belanda sendiri, setelah berakhirnya kekuasaan Napoleon, terjadi kodifikasi hukum yang monumental, menghasilkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW - Burgerlijk Wetboek), Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (WvK - Wetboek van Koophandel), dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (WvS - Wetboek van Strafrecht) pada tahun 1838. Kodifikasi ini merupakan puncak dari upaya menyatukan berbagai hukum regional di Belanda menjadi satu sistem hukum nasional.

Pemerintah kolonial melihat kodifikasi ini sebagai model ideal untuk diterapkan di Hindia Belanda. Motifnya multifaset. Pertama, aspek efisiensi administratif. Dengan menerapkan hukum yang sama, para pejabat kolonial dari Belanda tidak perlu mempelajari sistem hukum yang sama sekali baru di Hindia Belanda. Ini menghemat waktu, biaya, dan mempermudah pengawasan. Kedua, aspek ekonomi. Kodifikasi hukum perdata dan dagang yang modern dianggap penting untuk menopang kegiatan ekonomi kolonial, seperti perkebunan, perdagangan, dan investasi, yang membutuhkan kepastian hukum dan perlindungan terhadap hak milik. Ketiga, aspek ideologis. Belanda ingin menampilkan diri sebagai penguasa yang membawa peradaban dan modernitas hukum ke wilayah jajahannya, meskipun pada kenyataannya penerapan ini seringkali bersifat diskriminatif dan eksploitatif.

Pemberlakuan resmi asas konkordansi di Hindia Belanda terjadi melalui berbagai peraturan, yang puncaknya adalah Reglement op de Rechtsvordering (RV) pada tahun 1847 dan yang paling penting Pasal 131 Indische Staatsregeling (IS) tahun 1854. Pasal ini menjadi dasar hukum utama bagi pemberlakuan hukum perdata, hukum dagang, hukum pidana, dan hukum acara dari Belanda di Hindia Belanda. Melalui Pasal 131 IS, secara efektif hampir seluruh kodifikasi hukum Belanda tahun 1838-1847 diimpor ke Hindia Belanda. Ini meliputi BW (menjadi KUH Perdata), WvK (menjadi KUHD), WvS (menjadi KUHP), RV (menjadi HIR), dan lain-lain. Proses ini sering disebut sebagai "impor hukum" atau "transplantasi hukum".

Namun, perlu diingat bahwa penerapan konkordansi tidaklah homogen untuk semua golongan penduduk. Sistem hukum kolonial menerapkan penggolongan penduduk (Eropa, Timur Asing, dan Bumiputera) dan memberlakukan hukum yang berbeda untuk masing-masing golongan. Untuk golongan Eropa, hukum Belanda diterapkan secara penuh. Untuk golongan Timur Asing (Tionghoa, Arab, India), beberapa bagian hukum Belanda diterapkan, sementara untuk golongan Bumiputera (pribumi), hukum adat dan hukum agama (terutama Islam) masih tetap dipertahankan, meskipun seringkali di bawah pengawasan dan intervensi pemerintah kolonial. Inilah yang kemudian dikenal sebagai pluralisme atau dualisme hukum yang menjadi ciri khas sistem hukum Indonesia hingga kini.

Pasca Kemerdekaan: Adaptasi dan Kontinuitas

Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, salah satu pertanyaan besar yang muncul adalah mengenai status hukum kolonial yang telah berlaku selama ratusan tahun. Jawabannya ditemukan dalam Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum amendemen), yang menyatakan: “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.

Pasal ini menjadi payung hukum bagi keberlanjutan sebagian besar produk hukum kolonial Belanda di Indonesia. Filosofi di balik keputusan ini adalah pragmatisme. Indonesia yang baru merdeka membutuhkan stabilitas dan kepastian hukum untuk menjalankan roda pemerintahan dan kehidupan bermasyarakat. Mengganti seluruh sistem hukum yang sudah berjalan dengan yang baru dalam semalam adalah tugas yang mustahil dan berpotensi menimbulkan kekacauan. Oleh karena itu, prinsip kontinuitas hukum menjadi pilihan strategis.

Meskipun demikian, ada semangat untuk melakukan nasionalisasi dan dekolonisasi hukum. Pemerintah Indonesia pasca-kemerdekaan secara bertahap mulai mengganti undang-undang kolonial dengan undang-undang nasional yang baru. Namun, proses ini sangatlah panjang dan kompleks. Banyak undang-undang baru yang dibuat masih mengacu pada kerangka, struktur, dan bahkan substansi dari undang-undang kolonial yang diwarisi. Contohnya, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru disahkan pada tahun 2023, meskipun merupakan produk nasional, masih tidak dapat dilepaskan sepenuhnya dari bayang-bayang WvS peninggalan Belanda, setidaknya dalam hal kerangka berpikir dan beberapa konsep fundamentalnya.

Sejak kemerdekaan, asas konkordansi tidak lagi diberlakukan secara langsung sebagai prinsip wajib yang mengikat. Indonesia memiliki kedaulatan penuh untuk membuat hukumnya sendiri. Namun, warisan konkordansi tetap terasa dalam dua bentuk:

  1. Hukum yang Masih Berlaku: Banyak undang-undang kolonial yang belum dicabut atau diganti masih tetap berlaku hingga saat ini, seperti KUH Perdata (BW) dan KUHD (WvK), meskipun ada upaya untuk merevisinya.
  2. Pengaruh Doktrinal dan Struktural: Cara berpikir hukum, klasifikasi hukum, sistem peradilan, dan bahkan kurikulum pendidikan hukum di Indonesia banyak dipengaruhi oleh sistem hukum kontinental Eropa, yang dibawa melalui asas konkordansi. Para hakim, jaksa, pengacara, dan akademisi hukum di Indonesia pada umumnya masih familiar dengan konsep-konsep hukum yang berasal dari tradisi hukum Belanda.

Dengan demikian, sejarah asas konkordansi adalah kisah tentang bagaimana warisan kolonial secara fundamental membentuk cetak biru sistem hukum Indonesia, yang kemudian diadaptasi dan dinasionalisasi dalam konteks negara merdeka, menciptakan sebuah sistem hukum yang terus berdialog antara tradisi dan modernitas.

Tujuan dan Filosofi Asas Konkordansi

Asas konkordansi, seperti disebutkan sebelumnya, bukanlah sekadar tindakan administratif tanpa dasar pemikiran. Di baliknya terdapat tujuan dan filosofi tertentu yang mendorong penerapannya oleh pemerintah kolonial Belanda. Memahami tujuan ini sangat penting untuk mengapresiasi mengapa asas tersebut diadopsi dan mengapa ia memiliki dampak yang begitu mendalam.

Tujuan Utama

  1. Kepastian Hukum (Rechtszekerheid): Ini adalah salah satu tujuan utama. Pemerintah kolonial membutuhkan kepastian hukum untuk menopang kegiatan ekonomi dan administrasi mereka di Hindia Belanda. Dengan memberlakukan hukum yang sudah dikenal di negeri induk, mereka berharap menciptakan lingkungan hukum yang stabil dan dapat diprediksi, yang sangat penting bagi para pedagang, investor, dan pejabat. Tanpa kepastian hukum, akan sulit bagi mereka untuk merencanakan dan melaksanakan aktivitas ekonomi atau menjalankan pemerintahan.
  2. Efisiensi dan Kemudahan Administratif: Para pejabat kolonial, hakim, dan administrator yang dikirim dari Belanda sudah familiar dengan sistem hukum di negeri mereka. Akan sangat tidak efisien dan memakan waktu jika mereka harus mempelajari sistem hukum yang sama sekali baru di setiap wilayah jajahan. Dengan konkordansi, mereka dapat langsung menerapkan pengetahuan dan pengalaman hukum yang sudah mereka miliki, sehingga proses administrasi dan peradilan berjalan lebih lancar.
  3. Unifikasi Hukum (Rechtseenheid): Hindia Belanda adalah wilayah yang sangat luas dengan beragam suku dan sistem hukum adat yang berbeda-beda. Pemerintah kolonial berupaya menciptakan suatu sistem hukum yang terpadu, setidaknya untuk golongan Eropa dan, pada tingkat tertentu, untuk kepentingan umum. Unifikasi ini diharapkan dapat mengatasi fragmentasi hukum dan mempermudah kontrol pusat.
  4. Kepentingan Ekonomi Kolonial: Ini adalah motif yang sangat kuat. Hukum perdata, terutama yang berkaitan dengan kontrak, hak milik, dan hukum dagang, sangat vital untuk mendukung eksploitasi sumber daya alam dan kegiatan perdagangan yang menguntungkan Belanda. Penerapan hukum yang 'modern' (menurut standar Eropa) diharapkan dapat melindungi kepentingan modal kolonial, memfasilitasi transaksi bisnis, dan menyelesaikan sengketa komersial dengan cara yang efisien.
  5. Ideologi 'Membawa Peradaban' (Civilisation Mission): Di balik alasan pragmatis, terdapat juga justifikasi ideologis. Kekuatan kolonial seringkali membenarkan penjajahan mereka dengan narasi bahwa mereka membawa peradaban, kemajuan, dan hukum 'modern' kepada masyarakat yang dianggap 'tertinggal'. Penerapan hukum Barat adalah bagian dari misi ini, meskipun seringkali disertai dengan diskriminasi dan pengabaian terhadap kearifan lokal.
  6. Penguatan Kontrol Politik dan Sosial: Sistem hukum adalah alat kontrol sosial yang ampuh. Dengan menerapkan hukum pidana dan hukum acara dari negeri induk, pemerintah kolonial dapat menegakkan ketertiban, menekan perlawanan, dan menjaga stabilitas politik yang diperlukan untuk mempertahankan kekuasaan mereka.

Filosofi di Balik Konkordansi

Filosofi yang mendasari asas konkordansi sangat terkait dengan pemikiran hukum Eropa Kontinental pada abad ke-19, khususnya aliran legalisme atau positivisme hukum. Beberapa poin filosofis penting adalah:

Secara keseluruhan, tujuan dan filosofi asas konkordansi adalah campuran dari kebutuhan praktis administratif, kepentingan ekonomi kolonial, dan ideologi yang didasarkan pada superioritas hukum Barat. Meskipun pada akhirnya ia meninggalkan jejak yang tak terhapuskan pada sistem hukum Indonesia, penting untuk mengingat konteks historis dan motif di balik kelahirannya, yang tidak selalu sejalan dengan cita-cita keadilan bagi seluruh rakyat Hindia Belanda.

Prinsip-prinsip Utama Penerapan Asas Konkordansi

Penerapan asas konkordansi tidaklah dilakukan secara sembarangan, melainkan mengikuti beberapa prinsip utama yang termaktub dalam peraturan perundang-undangan kolonial, terutama Pasal 131 IS. Prinsip-prinsip ini menjadi pedoman bagi pemerintah kolonial dalam memutuskan hukum apa yang akan diberlakukan dan bagaimana penyesuaiannya.

  1. Prinsip Kesamaan (Gelijkheidsbeginsel)

    Prinsip ini menegaskan bahwa pada dasarnya, hukum yang berlaku di Hindia Belanda harus sama dengan hukum yang berlaku di Belanda. Ini adalah inti dari konkordansi. Pasal 131 IS secara jelas mengarahkan agar hukum perdata, dagang, pidana, dan acara dari Belanda diberlakukan di Hindia Belanda. Kesamaan ini bukan hanya pada substansi norma, melainkan juga pada struktur kodifikasi, penafsiran, dan yurisprudensi. Tujuannya adalah menciptakan satu korpus hukum yang koheren antara metropol dan koloni, setidaknya untuk golongan Eropa.

    Dalam praktiknya, prinsip kesamaan ini diupayakan semaksimal mungkin. Para pembentuk undang-undang kolonial (Gouvernement) akan berusaha meniru kodifikasi Belanda secara verbatim atau dengan sedikit perubahan. Ini memudahkan para hakim dan penegak hukum yang berasal dari Belanda untuk langsung bekerja tanpa perlu adaptasi yang signifikan. Contoh paling nyata adalah adopsi KUH Perdata (BW) dan KUHD (WvK) yang hampir identik dengan aslinya di Belanda.

  2. Prinsip Pengecualian dan Penyesuaian (Afwijking en Aanpassing)

    Meskipun prinsip kesamaan menjadi pedoman utama, Pasal 131 IS juga menyertakan klausul penting: "sejauh tidak bertentangan dengan kepentingan-kepentingan khusus di Hindia Belanda" (voorzoover daarmede niet strijdig zijn de bijzondere belangen van Nederlandsch-Indië). Prinsip ini mengakui bahwa ada perbedaan mendasar antara kondisi di Belanda dan Hindia Belanda, baik dari segi geografis, demografis, sosial, budaya, maupun ekonomi. Oleh karena itu, ada ruang bagi pengecualian atau penyesuaian terhadap hukum Belanda jika dianggap bertentangan dengan "kepentingan khusus" Hindia Belanda.

    Pengecualian ini seringkali muncul dalam beberapa bentuk:

    • Tidak Diperlukan: Beberapa bagian hukum Belanda mungkin tidak relevan atau tidak diperlukan di Hindia Belanda.
    • Tidak Dapat Diterapkan: Kondisi sosial atau geografis Hindia Belanda membuat suatu ketentuan hukum Belanda tidak dapat diterapkan secara praktis.
    • Bertentangan dengan Hukum Adat atau Agama: Ini adalah pengecualian yang paling signifikan, terutama bagi golongan Bumiputera. Pemerintah kolonial menyadari kekuatan hukum adat dan agama yang mengakar dalam masyarakat pribumi, dan mencoba menghindari konflik langsung yang dapat memicu ketidakstabilan sosial. Oleh karena itu, hukum perdata dan dagang Belanda tidak diberlakukan sepenuhnya kepada golongan Bumiputera, yang masih diperbolehkan tunduk pada hukum adat mereka.

    Meski ada pengecualian, interpretasi terhadap "kepentingan khusus" ini seringkali bersifat sempit dan cenderung mendukung kepentingan kolonial. Hanya dalam kasus-kasus yang sangat jelas atau jika potensi konfliknya terlalu besar, pengecualian ini diterapkan. Misalnya, institusi perkawinan dan perceraian bagi umat Islam diatur oleh hukum Islam melalui Pengadilan Agama, bukan oleh BW.

  3. Prinsip Pluralisme Hukum (Rechtspluralisme)

    Sebagaimana telah disinggung, asas konkordansi diterapkan dalam konteks masyarakat yang sangat plural. Belanda tidak menghapus seluruh sistem hukum yang ada sebelum kedatangannya. Sebaliknya, mereka menerapkan sistem hukum yang berbeda untuk golongan penduduk yang berbeda. Inilah yang menciptakan pluralisme hukum di Hindia Belanda, yang merupakan salah satu prinsip tidak langsung dari konkordansi.

    • Golongan Eropa: Diberlakukan hukum Belanda secara penuh.
    • Golongan Timur Asing (Tionghoa, Arab, India): Sebagian besar tunduk pada hukum Belanda, terutama dalam bidang perdata dan dagang, tetapi dengan beberapa pengecualian yang disesuaikan dengan kebiasaan atau agama mereka (misalnya, hukum keluarga).
    • Golongan Bumiputera (Pribumi): Pada umumnya tunduk pada hukum adat mereka, tetapi dalam beberapa hal (terutama hukum pidana dan ketertiban umum) tunduk pada hukum Belanda. Dalam bidang perdata, jika ada perselisihan dengan golongan Eropa, hukum Eropa seringkali diterapkan.

    Prinsip pluralisme ini bukan hanya hasil dari pertimbangan pragmatis untuk menjaga stabilitas, tetapi juga dari pandangan kolonial yang menganggap masyarakat pribumi belum siap untuk sepenuhnya menerima hukum Barat. Ini juga memungkinkan pemerintah kolonial untuk menerapkan kontrol yang lebih spesifik dan disesuaikan dengan setiap golongan, seringkali dengan tujuan memecah belah dan menguasai (devide et impera).

  4. Prinsip Kontinuitas Yurisprudensi dan Doktrin

    Selain mengimpor teks undang-undang, asas konkordansi juga secara implisit mengimpor yurisprudensi (putusan pengadilan sebelumnya) dan doktrin hukum dari Belanda. Para hakim di Hindia Belanda, yang banyak di antaranya adalah lulusan hukum dari Belanda, akan merujuk pada putusan-putusan pengadilan tinggi di Belanda (Hoge Raad) dan karya-karya doktrinal para ahli hukum Belanda dalam menafsirkan dan menerapkan undang-undang. Hal ini memastikan bahwa penafsiran hukum di koloni selaras dengan penafsiran di metropol, memperkuat konsistensi dan kesamaan sistem hukum.

Prinsip-prinsip ini, meskipun tampak lugas, dalam implementasinya seringkali menimbulkan kompleksitas dan perdebatan. Mereka menunjukkan bagaimana kekuasaan kolonial berusaha menyeimbangkan antara idealisme unifikasi dan efisiensi dengan realitas keragaman sosial dan resistensi lokal, menciptakan sistem hukum hibrida yang menjadi warisan bagi Indonesia merdeka.

Ruang Lingkup dan Bidang Penerapan

Asas konkordansi tidak diterapkan secara merata di semua bidang hukum. Ada beberapa area di mana penerapannya sangat kuat dan mendalam, sementara di area lain ada pengecualian atau penyesuaian yang signifikan. Pemahaman tentang ruang lingkup ini akan membantu kita mengidentifikasi bagian mana dari sistem hukum Indonesia saat ini yang paling banyak dipengaruhi oleh warisan Belanda.

Hukum Perdata (Privaatrecht)

Bidang hukum perdata adalah salah satu ranah paling dominan di mana asas konkordansi diterapkan secara ekstensif. Hampir seluruh substansi dari Burgerlijk Wetboek (BW) Belanda tahun 1838 diimpor ke Hindia Belanda dan menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang berlaku hingga saat ini. Ini mencakup:

Penting untuk ditekankan bahwa meskipun KUH Perdata masih berlaku, tidak semua pasalnya masih relevan atau sesuai dengan kondisi Indonesia modern. Beberapa pasalnya telah dicabut atau diubah oleh undang-undang nasional yang baru, misalnya terkait agraria (UU Pokok Agraria), perkawinan (UU Perkawinan), dan lain-lain. Namun, kerangka dasar dan banyak prinsip di dalamnya masih menjadi referensi utama dalam praktik hukum perdata di Indonesia.

Hukum Dagang (Handelsrecht)

Mirip dengan hukum perdata, hukum dagang juga merupakan bidang yang sangat dipengaruhi oleh asas konkordansi. Wetboek van Koophandel (WvK) Belanda tahun 1838 diimpor menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) di Hindia Belanda dan masih berlaku di Indonesia. KUHD mengatur aspek-aspek penting dalam kegiatan bisnis, seperti:

Hukum dagang sangat krusial bagi kepentingan ekonomi kolonial, yang sangat bergantung pada perdagangan dan eksploitasi komoditas. Oleh karena itu, penerapan konkordansi dalam bidang ini memastikan bahwa perdagangan di Hindia Belanda berjalan di bawah aturan yang sama dengan di Belanda, memudahkan integrasi ekonomi kolonial dengan ekonomi global.

Hukum Pidana (Strafrecht)

Hukum pidana juga termasuk dalam ruang lingkup konkordansi. Wetboek van Strafrecht (WvS) Belanda diimpor menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di Hindia Belanda pada tahun 1918. Meskipun relatif lebih baru dibandingkan BW dan WvK, KUHP ini menjadi pilar utama sistem peradilan pidana di Indonesia hingga digantikan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP Nasional.

Penerapan konkordansi dalam hukum pidana memiliki tujuan utama untuk menjaga ketertiban umum dan keamanan di wilayah jajahan, serta melindungi kepentingan penguasa kolonial dari berbagai bentuk kejahatan dan pemberontakan. Meskipun KUHP baru telah berlaku, banyak dari prinsip-prinsip umum hukum pidana dan bahkan beberapa delik khusus yang termuat dalam KUHP lama masih diadopsi atau menjadi dasar pemikiran dalam KUHP yang baru.

Hukum Acara (Procesrecht)

Hukum acara, baik perdata maupun pidana, juga merupakan bagian integral dari penerapan konkordansi. Hukum acara perdata diatur dalam Reglement op de Rechtsvordering (RV) untuk golongan Eropa dan Herziene Indonesisch Reglement (HIR) untuk golongan Bumiputera. HIR, meskipun disesuaikan, masih banyak mengambil prinsip-prinsip dari RV yang notabene adalah hukum acara di Belanda. Demikian pula hukum acara pidana yang merupakan bagian dari WvS.

Hukum acara sangat penting untuk memastikan bagaimana hukum materiil (hukum perdata, dagang, pidana) dapat ditegakkan di pengadilan. Dengan demikian, penerapan konkordansi dalam hukum acara memastikan bahwa proses peradilan di Hindia Belanda berjalan sesuai dengan standar dan prosedur yang berlaku di Belanda.

Pengecualian dan Batasan Penerapan

Meskipun luas, asas konkordansi memiliki batasan. Beberapa bidang hukum yang tidak sepenuhnya tunduk pada konkordansi adalah:

Dengan demikian, asas konkordansi memang memiliki jangkauan yang sangat luas dan fundamental dalam membentuk inti sistem hukum Indonesia, khususnya dalam ranah hukum perdata, dagang, dan pidana. Namun, ia juga berinteraksi dengan realitas lokal dan menciptakan warisan pluralisme hukum yang terus berlanjut hingga saat ini.

Dampak dan Konsekuensi Asas Konkordansi

Penerapan asas konkordansi selama berabad-abad di Hindia Belanda, dan warisannya pasca-kemerdekaan, telah membawa dampak yang sangat signifikan dan kompleks bagi sistem hukum serta masyarakat Indonesia. Dampak-dampak ini dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, baik positif maupun negatif.

Dampak Positif

  1. Kepastian dan Keseragaman Hukum

    Salah satu manfaat terbesar dari asas konkordansi adalah terciptanya kepastian hukum, khususnya di bidang-bidang yang diatur oleh hukum konkordan. Dengan adanya kodifikasi yang jelas dan terstruktur, para pihak yang terlibat dalam hubungan hukum (misalnya, kontrak) memiliki pedoman yang baku. Ini sangat penting untuk pertumbuhan ekonomi dan stabilitas sosial. Keseragaman ini juga memudahkan penegakan hukum dan administrasi peradilan, karena adanya satu set aturan yang relatif standar.

    Sebagai contoh, para pelaku usaha, baik pada masa kolonial maupun setelah kemerdekaan, mendapatkan kepastian mengenai hak dan kewajiban mereka dalam transaksi dagang berkat KUHD yang seragam. Para pihak yang ingin berinvestasi juga memiliki kerangka hukum yang dapat diprediksi, yang menjadi salah satu faktor penarik modal asing.

  2. Modernisasi Sistem Hukum

    Hukum yang dibawa Belanda adalah hasil dari gerakan kodifikasi di Eropa yang bertujuan menciptakan hukum yang rasional, sistematis, dan tertulis. Penerapan hukum ini memperkenalkan konsep-konsep hukum modern, struktur yudisial, dan metode penafsiran hukum yang relatif canggih ke Hindia Belanda. Ini mendorong terjadinya modernisasi dalam cara berpikir dan berpraktik hukum di Indonesia, meninggalkan sistem hukum yang seringkali berbasis kebiasaan lisan dan kurang terstruktur.

    Konsep-konsep seperti pemisahan kekuasaan, independensi peradilan (meskipun dalam konteks kolonial ada batasan), dan hak-hak dasar individu (meskipun terbatas bagi pribumi) mulai diperkenalkan melalui sistem hukum Barat ini. Infrastruktur peradilan modern, seperti hierarki pengadilan dan prosedur acara yang baku, juga merupakan warisan langsung dari konkordansi.

  3. Fondasi Hukum Nasional

    Pada saat Indonesia merdeka, warisan hukum kolonial yang kokoh ini menjadi "titik tolak" yang tidak bisa diabaikan. Ketimbang memulai dari nol, yang akan menimbulkan kekacauan, Indonesia memilih untuk melanjutkan sebagian besar hukum kolonial sembari secara bertahap melakukan pembaharuan. Hukum-hukum seperti KUH Perdata, KUHD, dan KUHP, meskipun berakar kolonial, menjadi fondasi penting yang menopang berjalannya negara baru.

    Para perancang undang-undang dan ahli hukum Indonesia pasca-kemerdekaan memiliki kerangka kerja yang sudah teruji, meskipun perlu disesuaikan. Pendidikan hukum di Indonesia juga secara inheren mengikuti struktur dan doktrin hukum kontinental yang dibawa oleh Belanda, membentuk pola pikir para praktisi dan akademisi hukum hingga kini.

  4. Pengembangan Ilmu Hukum

    Keberadaan kodifikasi yang sistematis memungkinkan pengembangan ilmu hukum yang lebih terstruktur. Para ahli hukum dapat menganalisis, menafsirkan, dan mengembangkan teori-teori hukum berdasarkan teks-teks undang-undang yang ada. Ini menjadi dasar bagi pendidikan hukum formal dan pengembangan doktrin hukum di Indonesia, yang banyak mengacu pada literatur hukum Belanda.

Dampak Negatif dan Kritik

  1. Dualisme dan Pluralisme Hukum yang Kompleks

    Salah satu kritik terbesar terhadap asas konkordansi adalah terciptanya dualisme atau pluralisme hukum yang rumit dan seringkali diskriminatif. Dengan memberlakukan hukum yang berbeda untuk golongan penduduk yang berbeda (Eropa, Timur Asing, Bumiputera), pemerintah kolonial menciptakan sistem hukum yang tidak setara. Dualisme ini tidak hanya menciptakan ketidakadilan, tetapi juga kompleksitas dalam praktik hukum, terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan pihak-pihak dari golongan yang berbeda.

    Meskipun dualisme ini merupakan realitas yang dihadapi Indonesia merdeka, upaya untuk menyatukan dan menasionalisasi hukum menjadi tantangan besar yang belum sepenuhnya teratasi. KUH Perdata, misalnya, masih menjadi sumber dualisme dengan hukum adat dan hukum Islam dalam bidang-bidang tertentu.

  2. Ketidaksesuaian dengan Kondisi Sosial dan Budaya Lokal

    Hukum Belanda dirancang untuk masyarakat Eropa pada abad ke-19, dengan konteks sosial, ekonomi, dan budaya yang sangat berbeda dengan Hindia Belanda. Penerapan hukum ini secara paksa seringkali tidak sesuai dengan nilai-nilai, adat istiadat, dan kebutuhan masyarakat lokal. Hal ini menciptakan "gap" antara hukum formal yang berlaku dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law).

    Contohnya, konsep hak milik perseorangan yang mutlak dalam BW seringkali bertentangan dengan konsep hak ulayat atau kepemilikan komunal dalam hukum adat. Demikian pula, pengaturan perkawinan dan warisan dalam BW sangat berbeda dengan praktik dalam hukum adat atau hukum Islam. Ketidaksesuaian ini dapat menyebabkan ketegangan sosial, ketidakadilan, dan resistensi terhadap hukum negara.

  3. Alat Eksploitasi Kolonial

    Terlepas dari klaim tentang 'misi peradaban', asas konkordansi pada dasarnya berfungsi sebagai alat untuk memfasilitasi dan melegitimasi eksploitasi ekonomi dan politik oleh Belanda. Hukum perdata dan dagang yang diimpor dirancang untuk melindungi kepentingan modal kolonial, mempermudah penguasaan tanah, dan memastikan pasokan bahan mentah untuk industri di Eropa.

    Hukum pidana juga seringkali digunakan untuk menekan gerakan perlawanan dan menjaga ketertiban yang menguntungkan penguasa kolonial, seringkali dengan menerapkan standar yang berbeda atau hukuman yang lebih berat bagi penduduk pribumi.

  4. Ketergantungan Intelektual dan Akademik

    Warisan konkordansi juga menciptakan ketergantungan intelektual dan akademik pada tradisi hukum Belanda. Banyak ahli hukum Indonesia generasi awal dididik dengan literatur hukum Belanda dan seringkali merujuk pada doktrin dan yurisprudensi Belanda dalam analisis mereka. Hal ini kadang-kadang menghambat pengembangan teori dan konsep hukum yang lebih orisinal dan sesuai dengan konteks Indonesia.

    Meskipun ada upaya dekolonisasi dan nasionalisasi hukum, pengaruh pemikiran hukum Barat yang dibawa melalui konkordansi masih sangat kuat dalam kurikulum pendidikan hukum, praktik peradilan, dan pembentukan undang-undang di Indonesia.

  5. Proses Legislasi yang Lamban Pasca-Kemerdekaan

    Karena keberlanjutan hukum kolonial melalui Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, urgensi untuk mengganti seluruh undang-undang kolonial terasa berkurang. Hal ini menyebabkan proses legislasi di Indonesia menjadi sangat lamban. Banyak undang-undang kolonial yang seharusnya diganti dengan produk hukum nasional yang lebih sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 membutuhkan waktu puluhan tahun untuk direvisi atau diganti.

    Contohnya adalah pembahasan RUU KUH Perdata dan RUU KUHD yang masih belum tuntas hingga saat ini, meskipun sudah ada semangat untuk melakukan pembaharuan hukum sejak lama. Ini menunjukkan betapa kuatnya cengkeraman warisan konkordansi dan betapa sulitnya untuk melepaskan diri darinya sepenuhnya.

Secara keseluruhan, dampak asas konkordansi adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, ia memberikan fondasi sistem hukum yang stabil dan modern bagi Indonesia. Di sisi lain, ia menciptakan kompleksitas, ketidakadilan, dan ketergantungan yang membutuhkan upaya berkelanjutan untuk diatasi dalam rangka membangun sistem hukum yang sepenuhnya berdaulat dan responsif terhadap kebutuhan bangsa.

Studi Kasus dan Contoh Penerapan Nyata

Untuk lebih memahami bagaimana asas konkordansi bekerja dalam praktik, ada baiknya kita melihat beberapa contoh konkret dari penerapan dan warisannya dalam sistem hukum Indonesia. Contoh-contoh ini akan menyoroti baik keberhasilan maupun tantangan yang ditimbulkan oleh prinsip tersebut.

1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata / BW)

Ini adalah contoh paling gamblang dari asas konkordansi. Burgerlijk Wetboek (BW) Belanda, yang disahkan pada tahun 1838, secara harfiah diimpor ke Hindia Belanda dan mulai berlaku pada tahun 1848 sebagai KUH Perdata. Kitab ini mengatur seluruh aspek hukum perdata, mulai dari orang, keluarga, harta kekayaan, perikatan, hingga warisan. Bahkan setelah lebih dari satu setengah abad kemerdekaan, KUH Perdata (BW) ini masih menjadi sumber hukum utama dalam banyak perkara perdata di Indonesia.

Sebagai contoh, konsep perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) yang diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata adalah salinan dari Pasal 1401 BW Belanda (sebelum direvisi). Konsep ini menjadi dasar bagi banyak tuntutan ganti rugi dalam kasus-kasus kecelakaan, pencemaran nama baik, atau pelanggaran hak. Demikian pula dengan pengaturan mengenai kontrak atau perjanjian dalam Buku III KUH Perdata, yang mencakup prinsip kebebasan berkontrak, syarat sahnya perjanjian, dan akibat hukum dari wanprestasi, semuanya berakar kuat pada BW Belanda.

Meskipun telah ada upaya nasionalisasi melalui undang-undang seperti UU Perkawinan (UU No. 1/1974) yang menggantikan ketentuan perkawinan dalam BW, dan UU Pokok Agraria (UU No. 5/1960) yang menggantikan konsep hak atas tanah dalam BW, banyak ketentuan lainnya masih berlaku. Ini menunjukkan betapa dalamnya akar konkordansi dalam hukum perdata Indonesia.

2. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD / WvK)

Serupa dengan KUH Perdata, Wetboek van Koophandel (WvK) Belanda tahun 1838 juga diimpor menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) di Hindia Belanda pada tahun 1848 dan masih berlaku di Indonesia. KUHD ini mengatur tentang berbagai aspek perdagangan, dari bentuk-bentuk perusahaan hingga surat-surat berharga dan asuransi.

Misalnya, pengaturan mengenai perseroan terbatas (PT) dalam KUHD, meskipun kemudian diatur ulang dalam UU Perseroan Terbatas (UU No. 40/2007), memiliki akar konsep yang kuat dari WvK. Begitu pula dengan ketentuan mengenai surat berharga seperti wesel, cek, dan surat sanggup (promes), yang diatur dalam KUHD dan masih menjadi dasar praktik perbankan dan keuangan di Indonesia. Konsep asuransi, baik asuransi kerugian maupun jiwa, juga banyak mengambil dari KUHD lama.

KUHD merupakan bukti nyata bagaimana konkordansi digunakan untuk menciptakan kerangka hukum yang mendukung aktivitas ekonomi kolonial dan kemudian terus berlanjut karena kebutuhan akan kepastian dalam dunia bisnis modern.

3. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP / WvS)

Meskipun disahkan belakangan (1915 untuk WvS di Belanda, 1918 untuk KUHP di Hindia Belanda), KUHP juga merupakan produk konkordansi. Wetboek van Strafrecht (WvS) Belanda diimpor menjadi KUHP di Hindia Belanda, dan kemudian menjadi KUHP nasional yang berlaku di Indonesia sejak kemerdekaan hingga akhir 2022. Hampir 75 tahun KUHP ini menjadi pilar utama hukum pidana di Indonesia.

Banyak prinsip hukum pidana yang fundamental, seperti asas legalitas (nullum crimen nulla poena sine praevia lege poenali), konsep kesalahan (schuld), dan berbagai jenis delik (kejahatan dan pelanggaran), berasal langsung dari WvS Belanda. Pasal-pasal tentang pembunuhan, pencurian, penggelapan, penipuan, hingga makar, memiliki kemiripan substansial dengan pasal-pasal dalam WvS.

Meskipun Indonesia kini telah memiliki KUHP nasional yang baru (UU No. 1/2023), pembentukan KUHP baru tersebut tidak dapat dilepaskan dari konteks dan perdebatan mengenai KUHP warisan kolonial. Banyak ahli hukum dan pembentuk undang-undang masih merujuk pada prinsip-prinsip dan kerangka berpikir yang termuat dalam KUHP lama, menunjukkan pengaruh abadi dari asas konkordansi.

4. Hukum Acara Perdata (HIR)

Herziene Indonesisch Reglement (HIR) atau Reglement Indonesia yang Diperbarui, adalah contoh menarik dari penyesuaian konkordansi. HIR diberlakukan untuk golongan Bumiputera, sementara Reglement op de Rechtsvordering (RV) diberlakukan untuk golongan Eropa. Meskipun HIR dibuat khusus untuk Bumiputera, banyak prinsip dan prosedur yang termuat di dalamnya tetap mengacu pada hukum acara Belanda.

HIR mengatur bagaimana gugatan diajukan, bagaimana persidangan dijalankan, bagaimana putusan dijatuhkan, dan bagaimana eksekusi dilakukan di pengadilan negeri. Prosedur-prosedur ini, meski disederhanakan dari RV, tetap mencerminkan pengaruh sistem hukum kontinental dalam praktik peradilan Indonesia. Hingga saat ini, HIR masih menjadi salah satu dasar hukum acara perdata di Indonesia, meskipun sebagian telah direvisi atau dilengkapi oleh undang-undang lain seperti UU Kekuasaan Kehakiman.

5. Pluralisme Hukum dalam Bidang Keluarga dan Tanah

Di sisi lain, konkordansi juga memicu dan mempertahankan pluralisme hukum. Misalnya, dalam bidang hukum keluarga dan waris, untuk golongan Bumiputera, hukum adat dan hukum Islam tetap diakui dan diterapkan melalui peradilan adat atau Pengadilan Agama, bukannya KUH Perdata.

Demikian pula dalam hal tanah. Meskipun BW memiliki ketentuan tentang hak milik atas tanah, praktik hukum adat tentang hak ulayat dan berbagai hak atas tanah tradisional terus diakui dan berdampingan. Konflik antara hukum agraria kolonial (BW) dan hukum adat inilah yang kemudian menjadi salah satu dorongan kuat lahirnya UU Pokok Agraria 1960 untuk menyatukan dan menasionalisasi hukum pertanahan.

Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa asas konkordansi bukan hanya sekadar aturan formal, melainkan kekuatan historis yang membentuk infrastruktur hukum Indonesia, baik dalam bentuk kodifikasi yang langsung diadopsi maupun dalam bentuk pluralisme yang harus diatasi oleh negara merdeka.

Perdebatan dan Tantangan Modern

Meskipun asas konkordansi telah menjadi fondasi historis bagi sistem hukum Indonesia, relevansinya di era modern terus menjadi subjek perdebatan dan menghadapi berbagai tantangan. Indonesia sebagai negara merdeka memiliki kedaulatan untuk menentukan arah hukumnya sendiri, namun warisan konkordansi masih menjadi bagian tak terpisahkan dari diskusi tersebut.

1. Modernisasi Hukum dan Dekolonisasi

Salah satu tantangan utama adalah kebutuhan untuk memodernisasi hukum dan sekaligus melakukan dekolonisasi. Banyak undang-undang warisan konkordansi, seperti KUH Perdata dan KUHD, sudah berusia lebih dari 170 tahun. Tentu saja, norma-norma yang ada di dalamnya tidak sepenuhnya relevan atau memadai untuk menghadapi kompleksitas masyarakat dan perkembangan teknologi di abad ke-21.

2. Harmonisasi dalam Pluralisme Hukum

Warisan pluralisme hukum yang diciptakan oleh konkordansi masih menjadi tantangan besar. Di Indonesia, hukum Barat (bekas konkordansi) hidup berdampingan dengan hukum adat dan hukum Islam. Harmonisasi ketiga sistem hukum ini adalah tugas yang sangat kompleks.

3. Relevansi Global dan Perbandingan Sistem Hukum

Di era globalisasi, Indonesia semakin banyak berinteraksi dengan sistem hukum lain di dunia, baik yang berbasis civil law maupun common law. Asas konkordansi telah menempatkan Indonesia dalam tradisi hukum civil law. Namun, perkembangan hukum internasional dan transaksi lintas batas menuntut fleksibilitas dan adaptasi.

4. Pendidikan dan Budaya Hukum

Pengaruh konkordansi juga terasa dalam pendidikan dan budaya hukum. Kurikulum fakultas hukum di Indonesia secara tradisional sangat terikat pada doktrin hukum kontinental, dengan fokus pada kodifikasi dan sistematika hukum.

Secara keseluruhan, tantangan modern bagi asas konkordansi adalah bagaimana Indonesia dapat sepenuhnya mengklaim kedaulatan hukumnya, menciptakan sistem hukum yang sepenuhnya nasional, responsif terhadap dinamika global dan lokal, sambil tetap menghargai fondasi historis yang telah membentuknya. Ini adalah sebuah proses pembaharuan hukum yang berkelanjutan dan tidak pernah berakhir.

Perbandingan dengan Sistem Hukum Lain dan Konsep Serupa

Asas konkordansi bukanlah fenomena yang unik hanya bagi Hindia Belanda. Konsep serupa dari "impor hukum" atau "transplantasi hukum" telah terjadi di berbagai belahan dunia, meskipun dengan alasan dan konsekuensi yang berbeda. Membandingkan konkordansi di Indonesia dengan kasus-kasus lain dapat memberikan pemahaman yang lebih kaya tentang dinamika di baliknya.

1. Transplantasi Hukum di Negara-negara Bekas Koloni Lain

Banyak negara bekas koloni di seluruh dunia juga mewarisi sistem hukum dari negara penjajahnya. Fenomena ini sangat umum, terutama bagi negara-negara yang dijajah oleh kekuatan Eropa.

Meskipun ada kesamaan, konkordansi di Indonesia memiliki ciri khasnya sendiri, terutama dalam intensitas penerapan dan bagaimana ia berinteraksi dengan pluralisme hukum (hukum adat dan hukum Islam) yang kuat. Banyak negara bekas koloni lain menghadapi tantangan serupa dalam menasionalisasi hukum dan menyesuaikannya dengan kebutuhan pasca-kemerdekaan.

2. Konsep Unifikasi Hukum Internal

Selain transplantasi hukum eksternal dari negara penjajah, beberapa negara juga melakukan unifikasi hukum secara internal untuk mengatasi fragmentasi hukum di wilayahnya.

Perbedaan penting antara konkordansi di Indonesia dan kasus-kasus ini adalah motif di baliknya. Konkordansi di Indonesia adalah produk dari kekuasaan kolonial, sementara unifikasi atau transplantasi di Jerman, Italia, atau Turki adalah hasil dari keputusan politik internal negara berdaulat untuk mencapai tujuan nasional.

3. Konsep Akulturasi dan Asimilasi Hukum

Konkordansi dapat dilihat sebagai bentuk akulturasi atau asimilasi hukum, di mana satu sistem hukum dominan (Belanda) mempengaruhi atau diserap oleh sistem hukum lain (Hindia Belanda).

Dalam konteks Indonesia, warisan konkordansi bukan sekadar asimilasi total, melainkan lebih pada proses akulturasi yang menciptakan sistem hukum hibrida dengan berbagai lapisan dan kompleksitas.

4. Pengaruh Hukum Internasional

Di era kontemporer, konsep "konkordansi" modern dapat dilihat dalam konteks hukum internasional, di mana negara-negara mengadopsi atau menyelaraskan hukum domestik mereka dengan standar dan norma-norma internasional. Misalnya, negara-negara mengadopsi konvensi hak asasi manusia internasional ke dalam hukum nasional mereka, atau menyelaraskan hukum dagang mereka dengan standar WTO.

Perbedaannya adalah bahwa "konkordansi" modern ini bersifat sukarela dan didasarkan pada kedaulatan negara, bukan paksaan kolonial. Namun, tekanan ekonomi dan politik dari lembaga internasional atau perjanjian bilateral/multilateral dapat menjadi faktor pendorong di balik penyesuaian hukum ini, yang kadang kala terasa mirip dengan dinamika di balik konkordansi kolonial, meskipun dengan tingkat paksaan yang jauh lebih rendah.

Dengan membandingkan asas konkordansi dengan konsep-konsep serupa, kita dapat melihat bahwa sementara transplantasi hukum adalah fenomena umum, konteks historis, motif politik, dan hasil akhirnya di Indonesia memberikan pelajaran yang unik tentang bagaimana hukum dapat menjadi alat kekuasaan, adaptasi, dan evolusi dalam pembentukan suatu bangsa.

Masa Depan Asas Konkordansi di Indonesia

Sebagai sebuah prinsip hukum, asas konkordansi telah lama kehilangan kekuatan mengikatnya sebagai dasar pembentukan hukum di Indonesia. Sejak proklamasi kemerdekaan, Indonesia telah menegaskan kedaulatan hukumnya untuk membentuk, mengubah, dan mencabut undang-undang sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi bangsanya sendiri. Namun, sebagai warisan historis dan kultural hukum, pengaruh konkordansi tidak akan pernah sepenuhnya hilang. Masa depan asas konkordansi di Indonesia akan lebih banyak berbicara tentang bagaimana negara ini mengelola warisan tersebut dan bukan tentang penerapannya sebagai prinsip aktif.

1. Pengelolaan Warisan Hukum

Masa depan konkordansi di Indonesia adalah tentang bagaimana kita sebagai bangsa mengelola warisan hukum yang ditinggalkannya. Ini mencakup beberapa aspek:

2. Integrasi Pluralisme Hukum

Warisan pluralisme hukum yang diperkuat oleh konkordansi akan terus menjadi ciri khas sistem hukum Indonesia. Masa depan akan menuntut upaya lebih lanjut dalam mengintegrasikan hukum adat dan hukum Islam secara lebih harmonis ke dalam kerangka hukum nasional.

3. Respons Terhadap Tantangan Global

Masa depan sistem hukum Indonesia juga akan sangat dipengaruhi oleh bagaimana ia merespons tantangan global. Meskipun warisan konkordansi menempatkan Indonesia dalam tradisi civil law, keterbukaan terhadap inovasi dari sistem hukum lain dan komitmen terhadap hukum internasional akan menjadi kunci.

4. Peran Peradilan dan Yurisprudensi

Lembaga peradilan dan yurisprudensi akan memainkan peran krusial dalam membentuk masa depan hukum Indonesia. Para hakim akan terus ditantang untuk menafsirkan undang-undang yang diwarisi dari konkordansi agar relevan dengan kondisi kontemporer, atau bahkan menciptakan hukum baru melalui putusan mereka ketika undang-undang tidak lagi memadai.

Masa depan asas konkordansi di Indonesia bukanlah tentang menghidupkannya kembali, melainkan tentang bagaimana bangsa ini dapat menransformasikan warisan kolonial menjadi kekuatan pendorong bagi pengembangan sistem hukum nasional yang modern, adil, responsif, dan berdaulat. Ini adalah perjalanan panjang yang terus berlangsung, di mana masa lalu menjadi pelajaran, masa kini adalah medan perjuangan, dan masa depan adalah harapan untuk sistem hukum yang semakin matang.

Kesimpulan

Asas konkordansi merupakan salah satu pilar sejarah yang tak terpisahkan dari pembentukan sistem hukum di Indonesia. Berawal dari kebutuhan pragmatis pemerintah kolonial Belanda untuk menciptakan keseragaman hukum dan kepastian bagi kepentingan mereka di Hindia Belanda, asas ini secara fundamental telah mentransplantasikan sebagian besar kodifikasi hukum Eropa Kontinental, khususnya dari Belanda, ke tanah Nusantara. Bidang-bidang seperti hukum perdata, hukum dagang, hukum pidana, dan hukum acara menjadi saksi bisu dari penerapan prinsip ini, yang hingga kini masih menyisakan jejak yang dalam.

Pada satu sisi, asas konkordansi telah memberikan dampak positif yang tidak dapat dipungkiri. Ia memperkenalkan sistem hukum yang lebih terstruktur, tertulis, dan modern, yang kemudian menjadi fondasi bagi kepastian hukum dan efisiensi administrasi di Indonesia. Warisan hukum yang diakomodasi oleh Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 pasca-kemerdekaan, meskipun berakar kolonial, menjadi "titik tolak" yang krusial bagi berjalannya roda pemerintahan dan kehidupan sosial di negara yang baru merdeka. Sistem pendidikan hukum di Indonesia pun secara inheren terpengaruh oleh doktrin dan struktur hukum kontinental yang dibawa melalui asas ini, membentuk cara berpikir dan praktik para ahli hukum kita.

Namun, di sisi lain, asas konkordansi juga membawa konsekuensi negatif dan kritik yang tidak kalah penting. Ia menciptakan dualisme dan pluralisme hukum yang kompleks, membedakan perlakuan hukum berdasarkan golongan penduduk, dan seringkali mengabaikan kekayaan serta kearifan hukum adat dan hukum agama yang telah hidup berabad-abad di masyarakat pribumi. Hukum yang diimpor seringkali tidak sesuai dengan kondisi sosial, budaya, dan kebutuhan lokal, sehingga menciptakan ketidakadilan dan ketegangan. Lebih jauh lagi, asas ini pada dasarnya adalah alat eksploitasi kolonial yang dirancang untuk melayani kepentingan penguasa, bukan kesejahteraan rakyat jajahan.

Di era modern, asas konkordansi tidak lagi berlaku sebagai prinsip yang mengikat dalam pembentukan hukum. Indonesia memiliki kedaulatan penuh untuk menciptakan hukumnya sendiri. Namun, kita tidak bisa mengabaikan bahwa warisan konkordansi masih menjadi bagian dari realitas hukum kita. Tantangan masa depan adalah bagaimana Indonesia dapat melanjutkan proses dekolonisasi hukum, memodernisasi undang-undang yang usang, mengintegrasikan pluralisme hukum yang ada secara harmonis, dan merespons tantangan global dengan tetap berpegang pada identitas hukum nasional yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Ini adalah tugas berkelanjutan untuk membangun sistem hukum yang tidak hanya adil dan berkeadilan, tetapi juga responsif terhadap dinamika zaman dan berakar pada nilai-nilai luhur bangsa.

Pemahaman mendalam tentang asas konkordansi bukan hanya sekadar kilas balik sejarah, melainkan sebuah kunci untuk memahami kompleksitas sistem hukum Indonesia saat ini. Dengan memahami akar-akarnya, kita dapat lebih bijaksana dalam menentukan arah pembaharuan hukum ke depan, menciptakan hukum yang tidak hanya berlaku, tetapi juga hidup dan bermakna bagi seluruh rakyat Indonesia.