Menjelajahi peran krusial Aksara Pegon dalam membentuk identitas intelektual dan spiritual masyarakat Muslim di Asia Tenggara.
Di tengah gemuruh modernitas dan dominasi aksara Latin, tersembunyi sebuah warisan berharga yang pernah menjadi denyut nadi peradaban Islam di Nusantara: Aksara Pegon. Bukan sekadar bentuk tulisan, Pegon adalah jembatan yang menghubungkan masyarakat Muslim Asia Tenggara dengan khazanah keilmuan Islam global, sekaligus media ekspresi bagi kekayaan budaya dan spiritual lokal. Ia adalah saksi bisu perjalanan sejarah, dari penyebaran agama, pengembangan ilmu pengetahuan, hingga pembentukan identitas keislaman yang unik di wilayah ini.
Artikel ini akan mengajak Anda menyelami dunia Aksara Pegon secara mendalam. Kita akan menguak seluk-beluknya, mulai dari definisi dan asal-usulnya yang menarik, jejak sejarahnya yang panjang dalam membentuk lanskap intelektual Nusantara, hingga struktur dan kaidah penulisannya yang unik. Lebih jauh, kita akan memahami peran vitalnya dalam berbagai aspek kehidupan, dari keilmuan agama, sastra, administrasi, hingga komunikasi sehari-hari. Terakhir, kita akan menilik tantangan yang dihadapinya di era modern dan berbagai upaya yang dilakukan untuk melestarikan warisan berharga ini, memastikan bahwa cahaya Pegon tetap bersinar di masa depan.
Bersiaplah untuk sebuah perjalanan pencerahan yang mengungkap betapa mendalamnya pengaruh Aksara Pegon dalam membentuk peradaban Islam Nusantara, dan mengapa ia tetap relevan sebagai simbol kebanggaan dan identitas budaya hingga hari ini.
Aksara Pegon adalah sebuah sistem penulisan Arab yang dimodifikasi untuk menuliskan bahasa-bahasa pribumi di Nusantara, seperti Jawa, Sunda, Madura, Melayu (sebelum Jawi menjadi standar), dan beberapa bahasa daerah lainnya. Istilah "Pegon" sendiri memiliki etimologi yang menarik dan sering dikaitkan dengan makna "menyimpang" atau "tidak lazim" dalam konteks bahasa Jawa atau Sunda. Ada yang berpendapat bahwa kata "pégo" dalam bahasa Jawa berarti "sengau" atau "tidak jelas", merujuk pada cara penulisan yang dianggap tidak murni Arab. Pendapat lain menghubungkan "pégo" dengan "miring" atau "menyimpang", mengindikasikan bahwa aksara ini menyimpang dari standar penulisan Arab yang asli, terutama dalam hal vokalisasi dan penambahan huruf untuk mengakomodasi fonem lokal.
Meskipun namanya menyiratkan "penyimpangan", Aksara Pegon justru merupakan adaptasi jenius yang memungkinkan masyarakat lokal untuk mengasimilasi dan menyebarkan ajaran Islam dengan bahasa mereka sendiri. Sebelum kedatangan Islam, masyarakat Nusantara telah mengenal aksara-aksara lokal seperti aksara Kawi, Jawa Kuno (Hanacaraka), Sunda Kuno, dan lainnya. Namun, ketika Islam mulai merambah dan menyebar luas, kebutuhan akan aksara yang mampu menuliskan ajaran-ajaran agama dan ilmu-ilmu Islam menjadi mendesak. Aksara Arab, sebagai aksara suci Al-Qur'an dan bahasa ilmu pengetahuan Islam, menjadi pilihan alami.
Proses adaptasi ini tidak terjadi secara instan, melainkan melalui evolusi bertahap. Para ulama dan cendekiawan Muslim lokal menghadapi tantangan dalam menuliskan fonem atau bunyi bahasa daerah yang tidak ada dalam sistem huruf Arab murni. Misalnya, bunyi "nga" (seperti pada kata "ngaji"), "nya" (seperti pada kata "nyanyi"), "ca" (seperti pada kata "cabe"), dan "pa" (seperti pada kata "padang") tidak memiliki padanan langsung dalam 28 huruf hijaiyah standar. Untuk mengatasi ini, mereka berinovasi dengan menambahkan titik-titik di atas atau di bawah huruf Arab yang sudah ada, atau menciptakan kombinasi baru dari huruf-huruf tersebut. Penambahan titik-titik ini menjadi ciri khas yang membedakan Pegon dari aksara Arab standar, dan bahkan dari aksara Jawi yang digunakan di wilayah Melayu.
Secara historis, Pegon mulai berkembang seiring dengan proses Islamisasi di Nusantara, diperkirakan sejak abad ke-13 atau ke-14, dan mencapai puncaknya pada abad ke-17 hingga ke-19. Wilayah Jawa, khususnya, menjadi salah satu pusat utama perkembangan Pegon, terutama di lingkungan pesantren dan keraton. Di sinilah banyak karya keagamaan, sastra, dan dokumen sejarah ditulis dan disalin menggunakan Pegon. Aksara ini bukan hanya alat tulis, melainkan juga simbol identitas keislaman yang kuat, menjembatani bahasa Arab dengan bahasa lokal, dan menjadikan ilmu-ilmu Islam lebih mudah diakses oleh masyarakat luas.
Dengan demikian, Aksara Pegon bukanlah sekadar transliterasi harfiah, melainkan sebuah sistem penulisan yang mandiri dengan kaidah dan konvensinya sendiri, yang mencerminkan kreativitas dan kejeniusan intelektual para ulama Nusantara dalam mengadaptasi budaya universal Islam ke dalam konteks lokal.
Perjalanan Aksara Pegon di Nusantara adalah kisah panjang tentang adaptasi, inovasi, dan pergeseran budaya yang tak terpisahkan dari sejarah penyebaran Islam. Aksara ini muncul dan berkembang sebagai respons terhadap kebutuhan mendesak untuk menyampaikan ajaran-ajaran Islam dan ilmu pengetahuan berbahasa Arab ke dalam bahasa-bahasa lokal yang digunakan oleh masyarakat pribumi.
Kedatangan Islam di Nusantara, yang secara umum diperkirakan mulai masif sejak abad ke-13, membawa serta kebudayaan dan sistem penulisan baru: Aksara Arab. Para pedagang, ulama, dan sufi yang datang dari Timur Tengah tidak hanya membawa ajaran agama, tetapi juga tradisi keilmuan yang kaya. Awalnya, bahasa Arab digunakan secara langsung untuk penulisan kitab-kitab agama. Namun, agar pesan-pesan Islam dapat dipahami oleh masyarakat yang lebih luas, diperlukan sarana untuk menuliskan ajaran-ajaran tersebut dalam bahasa mereka sendiri, seperti Jawa, Sunda, atau Melayu.
Pada periode awal ini, kemungkinan besar terjadi proses trial and error dalam mengadaptasi aksara Arab. Para ulama lokal, yang seringkali juga menguasai aksara-aksara pribumi, berupaya mencari padanan bunyi dan cara terbaik untuk menuliskan kata-kata lokal menggunakan huruf Arab. Inilah cikal bakal Pegon. Proses ini melibatkan identifikasi fonem-fonem yang khas dalam bahasa-bahasa Nusantara yang tidak ada dalam abjad Arab standar, seperti 'ng', 'ny', 'c', 'p', dan 'g' dalam konteks tertentu. Untuk mengisi kekosongan ini, mereka mulai menambahkan titik-titik di atas atau di bawah huruf-huruf Arab yang memiliki kemiripan bunyi. Misalnya, huruf 'sin' (س) dengan tiga titik di atas menjadi 'ca' (چ), atau 'fa' (ف) dengan tiga titik menjadi 'pa' (ڤ).
Adapun mengenai vokalisasi, Pegon memiliki pendekatan yang berbeda dari harakat penuh dalam bahasa Arab klasik. Jika dalam bahasa Arab klasik setiap huruf mati (konsonan) sering diberi harakat (fathah, kasrah, dhammah, sukun) untuk menunjukkan vokalnya, Pegon cenderung menggunakan huruf vokal (alif, ya, wawu) untuk mewakili bunyi vokal 'a', 'i', 'u', 'e', 'o' secara lebih eksplisit, mirip dengan sistem penulisan bahasa Indonesia modern. Pendekatan ini membuat Pegon lebih mudah dibaca oleh penutur bahasa lokal, meskipun juga memberikan fleksibilitas yang terkadang bisa ambigu bagi mereka yang tidak terbiasa dengan konteks bahasanya.
Abad ke-17 hingga ke-19 sering disebut sebagai periode emas Aksara Pegon. Pada masa inilah Pegon mencapai kematangan dan digunakan secara luas sebagai aksara utama keilmuan Islam dan kesusastraan di banyak wilayah Nusantara, terutama di Jawa dan Madura. Pesantren-pesantren menjadi pusat-pusat utama produksi dan penyebaran manuskrip Pegon. Ribuan kitab kuning, yang berisi tafsir Al-Qur'an, hadis, fikih, tasawuf, akidah, hingga sejarah lokal (babad), disalin dan diajarkan dalam bahasa Jawa atau Sunda dengan Aksara Pegon.
Tidak hanya di lingkungan pesantren, Pegon juga menemukan tempatnya di keraton-keraton kerajaan Islam. Banyak dokumen resmi, surat-menyurat antar bangsawan, perjanjian, dan karya sastra istana ditulis menggunakan Aksara Pegon. Hal ini menunjukkan status Pegon sebagai aksara yang dihormati dan memiliki legitimasi baik di lingkungan agama maupun pemerintahan. Kekayaan khazanah naskah Pegon dari periode ini menjadi bukti tak terbantahkan atas perannya yang sentral dalam membangun fondasi peradaban Islam Nusantara.
Pada masa ini pula, Aksara Pegon menjadi media bagi para ulama dan pujangga lokal untuk menuangkan pemikiran-pemikiran orisinal mereka, bukan sekadar menyalin atau menerjemahkan. Mereka mengembangkan genre sastra baru, menggabungkan tradisi sastra lokal dengan nilai-nilai Islam, dan menciptakan karya-karya monumental yang masih dipelajari hingga kini. Pegon menjadi identitas kultural yang kuat, mencerminkan perpaduan harmonis antara ajaran Islam dan kearifan lokal.
Memasuki abad ke-20, posisi Aksara Pegon mulai menghadapi tantangan serius. Pengaruh kolonial Belanda membawa serta sistem pendidikan modern dan dominasi aksara Latin. Bahasa Melayu dengan aksara Latin mulai distandardisasi dan diajarkan di sekolah-sekolah umum, yang secara bertahap menggeser peran Pegon dari ranah publik.
Selain itu, perkembangan teknologi cetak yang lebih maju juga cenderung mengadopsi aksara Latin karena kemudahannya. Meskipun ada upaya untuk mencetak buku-buku Pegon, namun produksinya tidak secepat dan semudah buku-buku berbahasa Latin. Persaingan dengan aksara lain seperti Aksara Jawi yang lebih mapan di wilayah Melayu, serta kembalinya penggunaan aksara-aksara pribumi seperti Hanacaraka, juga memberikan tekanan tersendiri bagi Pegon.
Pemerintah kolonial, dengan agenda politiknya, juga turut mempromosikan aksara Latin sebagai alat komunikasi modern. Setelah kemerdekaan, kebijakan pendidikan nasional yang menjadikan bahasa Indonesia dengan aksara Latin sebagai bahasa resmi dan pengantar utama semakin mempercepat kemunduran Pegon dari penggunaan sehari-hari dan pendidikan formal. Akibatnya, generasi muda semakin sedikit yang mampu membaca dan menulis Pegon, dan warisan manuskripnya terancam terlupakan.
Meskipun demikian, Pegon tidak pernah sepenuhnya mati. Di lingkungan pesantren dan komunitas-komunitas tradisional tertentu, ia tetap dipertahankan dan diajarkan, menjadi penghubung penting dengan warisan intelektual para leluhur. Namun, skalanya jauh lebih kecil dibandingkan masa kejayaannya.
Struktur dan kaidah penulisan Aksara Pegon adalah cerminan dari kecerdasan adaptif para ulama Nusantara. Meskipun berakar pada Aksara Arab, Pegon memiliki inovasi-inovasi signifikan yang memungkinkannya mengakomodasi kekayaan fonem bahasa-bahasa lokal. Memahami kaidah ini sangat penting untuk dapat membaca dan menulis teks Pegon dengan benar.
Dasar Aksara Pegon adalah 28 huruf hijaiyah standar dalam Aksara Arab. Namun, untuk menuliskan bunyi-bunyi konsonan yang ada dalam bahasa Jawa, Sunda, Madura, atau Melayu tetapi tidak terdapat dalam bahasa Arab, Pegon menambahkan sejumlah huruf modifikasi. Penambahan ini umumnya dilakukan dengan memberikan titik-titik (tiga titik adalah yang paling umum) pada huruf Arab yang memiliki bentuk dasar atau bunyi terdekat.
Berikut adalah beberapa huruf tambahan yang paling umum dalam Pegon:
Kombinasi huruf-huruf standar dan inovatif inilah yang memungkinkan Pegon untuk menuliskan hampir semua kata dalam bahasa-bahasa Nusantara dengan akurasi fonetik yang cukup baik.
Salah satu aspek paling membedakan Aksara Pegon dari Aksara Arab standar adalah sistem vokalisasinya. Dalam bahasa Arab, harakat (fathah, kasrah, dhammah, sukun, tanwin) digunakan untuk menunjukkan vokal dan status gramatikal. Namun, dalam Pegon, harakat sangat jarang digunakan secara penuh dan konsisten, terutama dalam teks-teks yang lebih panjang atau yang ditujukan untuk pembaca yang sudah familiar dengan bahasanya. Sebaliknya, Pegon lebih sering menggunakan huruf-huruf vokal (alif, ya, wawu) sebagai penanda vokal, mirip dengan cara kerja abjad Latin atau aksara-aksara pribumi.
Sistem ini memberikan fleksibilitas, tetapi juga menuntut pembaca untuk memiliki pemahaman yang kuat tentang bahasa yang ditulis. Banyak teks Pegon yang tidak memiliki harakat sama sekali, sehingga pembaca harus mengandalkan konteks dan pengetahuan tentang kosakata bahasa lokal untuk menginterpretasikan vokal yang benar. Ini adalah alasan mengapa membaca Pegon sering dianggap lebih sulit daripada membaca Aksara Arab berharakat penuh.
Untuk penulisan angka, Pegon secara universal menggunakan angka Arab (Hindu-Arab) seperti ٠, ١, ٢, ٣, ٤, ٥, ٦, ٧, ٨, ٩. Ini konsisten dengan penggunaan angka di sebagian besar dunia Islam.
Sementara itu, tanda baca modern seperti titik (.), koma (,), tanda tanya (?), dan tanda seru (!) tidak selalu ada dalam manuskrip Pegon tradisional. Penulis sering mengandalkan spasi, pemenggalan baris, atau penggunaan partikel tertentu untuk menunjukkan jeda atau intonasi. Namun, dalam teks-teks Pegon yang lebih modern, terutama yang dicetak, tanda baca Latin mulai diadopsi untuk meningkatkan keterbacaan.
Sama seperti Aksara Arab, Aksara Pegon ditulis dari kanan ke kiri. Huruf-hurufnya juga bersifat sambung, artinya bentuk huruf dapat berubah tergantung posisinya dalam kata (di awal, tengah, akhir, atau berdiri sendiri). Beberapa ligatur (gabungan dua huruf atau lebih menjadi satu bentuk) yang umum dalam Aksara Arab juga digunakan dalam Pegon, seperti ligatur 'lam-alif' (لا).
Kaidah-kaidah ini, meskipun tampak rumit, adalah kunci untuk membuka pintu gerbang ke ribuan manuskrip dan teks yang menjadi bukti kekayaan intelektual dan spiritual masyarakat Islam Nusantara. Pemahaman yang mendalam tentang struktur Pegon tidak hanya membantu dalam membaca teks kuno, tetapi juga menghargai kejeniusan budaya yang terkandung di dalamnya.
Aksara Pegon bukan sekadar alat tulis, melainkan sebuah entitas budaya yang meresap ke dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Islam Nusantara. Perannya sangat sentral dalam menyokong peradaban, mulai dari ranah keilmuan agama yang paling sakral hingga dokumen administrasi yang bersifat profan, bahkan komunikasi sehari-hari.
Pilar utama penggunaan Aksara Pegon adalah dalam penulisan dan penyebaran "kitab kuning" atau kitab klasik di pesantren-pesantren. Kitab kuning adalah karya-karya keagamaan yang menjadi kurikulum inti dalam pendidikan Islam tradisional. Melalui Pegon, ribuan jilid kitab yang berisi tafsir Al-Qur'an, hadis, fikih (hukum Islam), tasawuf (mistisisme Islam), akidah (teologi Islam), hingga ilmu tata bahasa Arab (nahwu sharaf) diterjemahkan, diulas, dan disalin ke dalam bahasa-bahasa lokal seperti Jawa, Sunda, dan Madura.
Peran Pegon dalam konteks ini sangat krusial. Ia menjembatani jurang bahasa antara teks-teks berbahasa Arab klasik dengan para santri dan masyarakat awam yang tidak sepenuhnya menguasai bahasa Arab. Dengan Pegon, ulama-ulama Nusantara mampu menjelaskan konsep-konsep agama yang kompleks, menyebarkan fatwa, dan membimbing umat dengan bahasa yang akrab di telinga mereka. Ini memungkinkan Islam tumbuh dan berakar kuat di Nusantara dengan kedalaman intelektual yang substansial.
Pesantren menjadi pusat produksi intelektual di mana para santri tidak hanya belajar membaca Pegon, tetapi juga menyalin kitab-kitab dengan tangan, sebuah tradisi yang melatih ketelitian dan memperdalam pemahaman mereka terhadap isi kitab. Kitab-kitab ini menjadi warisan tak ternilai yang kini disimpan di perpustakaan pesantren, museum, dan koleksi pribadi.
Di samping ranah keagamaan, Aksara Pegon juga menjadi media ekspresi yang kaya bagi kesusastraan lokal. Banyak karya sastra penting, mulai dari hikayat, syair, hingga tembang-tembang klasik seperti Macapat dalam tradisi Jawa, ditulis menggunakan Aksara Pegon. Karya-karya ini seringkali mengandung nilai-nilai moral, filosofis, sejarah, dan ajaran agama yang dibungkus dalam bentuk narasi atau puisi yang indah.
Contohnya, banyak babad (sejarah lokal) kerajaan-kerajaan Islam di Jawa ditulis dalam Pegon, mencatat silsilah raja, peristiwa-peristiwa penting, dan mitologi. Syair-syair sufistik yang melambangkan perjalanan spiritual juga banyak ditemukan dalam Pegon, menjadi panduan bagi para penempuh jalan tasawuf. Melalui sastra Pegon, identitas budaya yang terintegrasi dengan nilai-nilai Islam terbentuk dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Para pujangga dan penulis lokal menggunakan Pegon untuk menciptakan karya orisinal mereka, seringkali mengadaptasi bentuk-bentuk sastra Persia atau Arab, tetapi dengan sentuhan dan substansi lokal. Kesusastraan Pegon bukan hanya memperkaya khazanah sastra Nusantara, tetapi juga menunjukkan bagaimana sebuah aksara dapat menjadi alat untuk mengabadikan kearifan lokal dalam bingkai peradaban yang lebih luas.
Pada masa kejayaannya, Aksara Pegon tidak hanya terbatas pada lingkungan agama dan sastra, tetapi juga digunakan dalam urusan pemerintahan dan administrasi. Surat-menyurat antar bangsawan, naskah perjanjian, undang-undang kerajaan, hingga catatan-catatan penting di keraton-keraton Islam, banyak yang ditulis menggunakan Aksara Pegon.
Di beberapa kerajaan, cap atau stempel resmi bahkan juga memuat tulisan Pegon, menunjukkan legitimasi dan statusnya sebagai aksara resmi. Penggunaan Pegon dalam dokumen-dokumen kenegaraan ini menggarisbawahi bahwa ia bukan hanya milik kaum agamawan, tetapi juga alat penting bagi administrasi publik dan diplomasi pada masanya. Ini juga menunjukkan kemampuan Pegon untuk berfungsi dalam konteks formal dan profesional, jauh melampaui sekadar catatan pribadi.
Penemuan berbagai manuskrip arsip kerajaan yang ditulis dalam Pegon oleh para peneliti modern memberikan wawasan berharga tentang struktur sosial, politik, dan ekonomi masyarakat Nusantara di masa lalu, yang sebagian besar informasi itu hanya dapat diakses melalui kemampuan membaca aksara ini.
Meskipun mungkin tidak semasif aksara lokal lainnya untuk komunikasi massa, Aksara Pegon juga digunakan untuk komunikasi sehari-hari di kalangan tertentu, terutama mereka yang terpelajar atau dekat dengan lingkungan pesantren. Catatan pribadi, surat-surat antar kerabat, hingga azimat atau jimat yang berisi doa-doa seringkali ditulis dalam Pegon.
Hal ini menunjukkan bahwa Pegon bukan hanya aksara elitis, melainkan juga akrab digunakan dalam konteks personal dan praktis. Kemampuan membaca dan menulis Pegon adalah penanda literasi dan keterhubungan dengan tradisi keilmuan Islam. Bahkan, di beberapa daerah, penggunaan Pegon dalam bentuk-bentuk populer seperti kaligrafi pada spanduk atau papan nama juga pernah marak.
Yang menarik dari Aksara Pegon adalah kemampuannya beradaptasi dengan berbagai bahasa di Nusantara. Meskipun paling menonjol di Jawa, Sunda, dan Madura, variasi Pegon juga ditemukan dalam bahasa-bahasa lain:
Keragaman adaptasi ini menunjukkan vitalitas Aksara Pegon sebagai alat tulis yang fleksibel dan meresap ke dalam berbagai identitas linguistik di kepulauan ini. Ia menjadi benang merah yang mengikat keragaman bahasa Nusantara dalam satu jalinan peradaban Islam yang kaya.
Di era modern yang didominasi oleh teknologi dan aksara Latin, Aksara Pegon menghadapi berbagai tantangan serius yang mengancam kelestariannya. Namun, kesadaran akan nilai historis, budaya, dan intelektualnya juga telah memicu berbagai upaya pelestarian yang gigih.
Salah satu tantangan terbesar bagi Aksara Pegon adalah globalisasi dan dominasi aksara Latin. Pendidikan formal di Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lainnya hampir secara eksklusif menggunakan aksara Latin. Akibatnya, generasi muda tumbuh tanpa pernah terpapar atau diajarkan Pegon di sekolah-sekolah umum. Ini menciptakan jurang pemisah antara generasi masa kini dengan warisan tulisan leluhur mereka.
Kurangnya pengajaran di sekolah formal berarti Pegon kini hanya bertahan di lingkungan pesantren tradisional dan beberapa komunitas kecil. Di luar lingkungan tersebut, kemampuan membaca dan menulis Pegon menjadi sangat langka. Jumlah pembaca yang semakin sedikit ini berdampak pada menurunnya minat untuk mempelajari dan melestarikan aksara ini. Bahkan, banyak manuskrip Pegon yang berharga kini hanya bisa dibaca oleh segelintir ahli filologi atau santri senior.
Selain itu, digitalisasi dan pengembangan teknologi juga menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, teknologi dapat membantu pelestarian. Di sisi lain, pembuatan font Pegon yang standar dan keyboard digital yang mendukungnya masih merupakan pekerjaan yang menantang dan belum sepenuhnya terintegrasi dalam sistem operasi atau aplikasi sehari-hari. Berbeda dengan aksara Latin atau bahkan Arab standar yang sudah memiliki dukungan luas, Pegon masih memerlukan upaya khusus.
Tantangan lain adalah keragaman dan kurangnya standarisasi. Karena Pegon berkembang secara organik di berbagai daerah dan bahasa, terdapat beberapa variasi dalam bentuk huruf, konvensi vokalisasi, dan penggunaan titik-titik. Hal ini membuat proses pembelajaran menjadi lebih kompleks dan menyulitkan upaya standardisasi untuk tujuan pendidikan atau digitalisasi.
Meskipun dihadapkan pada berbagai tantangan, berbagai pihak telah melakukan upaya nyata untuk melestarikan Aksara Pegon:
Meskipun mungkin tidak akan kembali menjadi aksara utama dalam komunikasi sehari-hari, Aksara Pegon tetap memiliki relevansi yang kuat di era digital:
Melestarikan Aksara Pegon bukan hanya tugas para ahli, tetapi juga tanggung jawab kolektif masyarakat. Ini adalah investasi dalam kekayaan intelektual dan spiritual yang tak ternilai, memastikan bahwa jejak kebudayaan Islam Nusantara yang abadi ini akan terus menginspirasi generasi mendatang.
Sebagai warisan budaya yang mendalam, Aksara Pegon tak luput dari berbagai mitos dan fakta menarik yang melingkupinya. Membedah hal ini akan memperkaya pemahaman kita tentang keunikan dan peran sesungguhnya dari aksara ini.
Salah satu mitos yang sering beredar adalah bahwa Aksara Pegon merupakan "aksara rahasia" atau hanya digunakan oleh kalangan tertentu untuk tujuan mistis atau esoteris. Mitos ini mungkin muncul karena kenyataan bahwa Pegon tidak diajarkan secara luas di pendidikan formal modern, sehingga terkesan eksklusif dan sulit diakses oleh orang aworang umum. Selain itu, banyak naskah Pegon memang berisi ajaran tasawuf atau ilmu kebatinan yang bersifat filosofis dan mendalam, yang mungkin disalahpahami sebagai "rahasia" dalam konteks mistis.
Namun, fakta sebenarnya adalah bahwa Pegon pada masa kejayaannya adalah aksara yang sangat umum digunakan. Ia adalah aksara utama untuk pendidikan, sastra, dan bahkan administrasi. Kitab-kitab fikih, tafsir, dan hadis yang diajarkan secara terbuka di pesantren-pesantren ditulis dalam Pegon. Bahkan, surat-menyurat pribadi atau dokumen resmi keraton juga menggunakan aksara ini. Sulitnya membaca Pegon saat ini lebih disebabkan oleh kemunduran pengajarannya, bukan karena ia didesain sebagai aksara rahasia. Ia adalah aksara publik pada masanya, sama seperti aksara Latin sekarang.
Meskipun bukan aksara rahasia, tidak dapat dimungkiri bahwa Pegon memiliki hubungan erat dengan ajaran tasawuf. Banyak karya-karya tasawuf klasik dan kontemporer ulama Nusantara yang ditulis dalam Pegon. Tasawuf adalah dimensi spiritual dalam Islam yang menekankan penyucian jiwa, kecintaan kepada Tuhan, dan pencapaian makrifat. Konsep-konsep tasawuf seringkali kompleks dan membutuhkan bahasa yang puitis serta mendalam untuk mengungkapkannya.
Pegon, dengan fleksibilitasnya dalam mengekspresikan nuansa bahasa lokal dan kemampuannya mengintegrasikan terminologi Arab, menjadi media yang ideal. Para sufi menggunakan Pegon untuk menuliskan syair-syair syi'ir, tembang, atau hikayat yang sarat makna simbolis, membimbing murid-murid mereka dalam perjalanan spiritual. Karya-karya seperti Serat Centhini (meskipun lebih banyak ditulis dalam Aksara Jawa, beberapa bagian mungkin memiliki pengaruh Pegon atau gaya penulisan keislaman yang mirip) dan berbagai risalah tasawuf di pesantren-pesantren adalah bukti nyata dari ikatan ini. Oleh karena itu, hubungan Pegon dengan tasawuf adalah fakta historis yang penting, menunjukkan dimensi spiritual yang dalam dari aksara ini.
Salah satu karakteristik unik Pegon adalah kecenderungannya untuk tidak sepenuhnya diberi harakat, atau tanda baca vokal. Berbeda dengan Al-Qur'an atau teks-teks Arab klasik yang sering memiliki harakat lengkap untuk menghindari ambiguitas, banyak naskah Pegon yang minim harakat. Ini mungkin terlihat sebagai kekurangan, namun sebenarnya adalah sebuah adaptasi cerdas.
Dalam bahasa-bahasa Nusantara, pola vokal seringkali lebih teratur atau bisa dipahami dari konteks kalimat. Penutur asli bahasa Jawa atau Sunda yang sudah terbiasa dengan kosakata dan tata bahasa mereka dapat membaca teks Pegon tanpa harakat dengan relatif mudah, karena mereka secara intuitif tahu vokal apa yang harus diucapkan. Ini mirip dengan bagaimana pembaca bahasa Inggris dapat memahami kata "read" meskipun bisa dibaca 'rid' (membaca) atau 'red' (telah membaca), tergantung konteks. Minimnya harakat juga mempercepat proses penulisan dan penyalinan naskah.
Tentu saja, hal ini juga menjadi salah satu faktor yang membuat Pegon sulit dibaca oleh orang yang tidak familiar dengan bahasa lokal yang ditulisnya. Namun, bagi masyarakat pada zamannya, praktik ini adalah standar yang efisien, mencerminkan pemahaman mendalam mereka tentang struktur fonologi bahasa ibu mereka dan cara mengadaptasikannya ke dalam sistem penulisan baru.
Melalui fakta-fakta dan demistifikasi mitos ini, kita dapat melihat Aksara Pegon sebagai sebuah sistem penulisan yang kompleks, dinamis, dan sangat relevan dalam konteks budaya dan sejarah Islam Nusantara. Ia bukan hanya sebuah alat, melainkan sebuah living heritage yang merekam kecerdasan, spiritualitas, dan identitas sebuah peradaban.
Perjalanan kita menelusuri Aksara Pegon telah mengungkap sebuah tapestry budaya yang kaya dan mendalam. Lebih dari sekadar serangkaian huruf, Pegon adalah cerminan dari kecerdasan adaptif, semangat keilmuan, dan kekayaan spiritual masyarakat Islam Nusantara. Dari definisi dan asal-usulnya yang mengakar pada kebutuhan adaptasi, hingga perannya yang sentral dalam menyebarkan ajaran Islam, mengembangkan sastra, dan mencatat sejarah, Pegon telah membuktikan dirinya sebagai sebuah warisan yang tak ternilai harganya.
Aksara ini menjadi saksi bisu bagaimana Islam dapat berintegrasi secara harmonis dengan budaya lokal, menciptakan sebuah peradaban yang unik dan penuh warna. Ribuan manuskrip kitab kuning, karya sastra, dan dokumen sejarah yang ditulis dalam Pegon adalah bukti nyata dari peran krusialnya sebagai jembatan ilmu pengetahuan dan media ekspresi identitas.
Meskipun dihadapkan pada tantangan modernisasi dan dominasi aksara Latin, semangat untuk melestarikan Aksara Pegon tetap membara. Upaya-upaya pendidikan di pesantren, penelitian akademis, digitalisasi manuskrip, hingga pengembangan teknologi font Pegon adalah langkah-langkah konkret yang memastikan bahwa cahaya warisan ini tidak akan padam. Ia terus menjadi sumber inspirasi dan identitas bagi generasi mendatang, mengingatkan kita akan akar-akar peradaban kita.
Menghargai dan mempelajari Aksara Pegon berarti menghormati jejak para leluhur yang telah berjuang membangun fondasi keilmuan dan kebudayaan Islam di Nusantara. Ini adalah panggilan untuk mengakui kekayaan warisan kita dan menjaganya tetap hidup, sebagai penanda bahwa kebudayaan Islam Nusantara adalah abadi, kokoh, dan tak lekang oleh zaman. Mari kita bersama-sama menjaga nyala obor Aksara Pegon agar terus menerangi perjalanan peradaban kita.