Airlangga: Sang Penyatuan Nusantara dan Pelopor Kebudayaan Jawa
Kisah epik Raja Airlangga, dari pengungsi hingga pendiri Kerajaan Kahuripan yang megah, merefleksikan kebangkitan kembali peradaban Jawa kuno setelah masa kegelapan. Warisannya membentuk dasar bagi kerajaan-kerajaan besar berikutnya dan menjadi cermin kebijaksanaan seorang pemimpin sejati.
Pendahuluan: Sekilas Tentang Airlangga dan Signifikansinya
Dalam lembaran sejarah Nusantara, nama Airlangga bersinar terang sebagai salah satu figur paling karismatik dan transformatif. Ia bukan hanya seorang raja, melainkan seorang penyatu, pembangun peradaban, dan pelindung kebudayaan di tengah gejolak politik yang dahsyat. Kehidupan Airlangga adalah epik tentang ketahanan, kebijaksanaan, dan kepemimpinan yang luar biasa, dimulai dari seorang pangeran pengungsi hingga menjadi maharaja yang dihormati, membangun kembali kerajaan yang nyaris runtuh dan meletakkan dasar bagi kejayaan peradaban Jawa berikutnya.
Lahir dengan nama asli Rakai Halu Sri Lokeswara Dharmmawangsa Airlangga, ia adalah keturunan dari dua dinasti penting. Dari garis ayah, ia terhubung dengan Wangsa Warmadewa di Bali, dan dari garis ibu, ia adalah cucu dari Raja Mpu Sindok dari Wangsa Isyana di Mataram Kuno di Jawa Timur. Persilangan dua wangsa ini memberikan legitimasi kuat bagi klaimnya atas takhta, yang kelak ia rebut kembali setelah keruntuhan mendalam yang menimpa Mataram Kuno akibat serangan Raja Wurawari dari Lwaram.
Masa pemerintahannya, khususnya saat ia mendirikan Kerajaan Kahuripan, ditandai oleh stabilitas politik yang luar biasa, kebangkitan ekonomi, dan mekarnya kebudayaan. Airlangga berhasil memulihkan ketertiban setelah periode anarki yang panjang, menyatukan kembali wilayah-wilayah yang terpecah belah, dan mengembalikan Jawa ke panggung politik regional sebagai kekuatan yang patut diperhitungkan. Kebijakan-kebijakannya yang visioner, mulai dari pengembangan infrastruktur hingga perlindungan sastra, menorehkan jejak abadi yang membentuk karakter peradaban Jawa.
Artikel ini akan menelusuri perjalanan hidup Airlangga secara komprehensif, mulai dari latar belakang keluarganya yang berpengaruh, peristiwa tragis yang membuatnya menjadi pengungsi, perjuangan heroiknya untuk mengembalikan kejayaan Mataram Kuno, kebijakannya sebagai seorang raja, hingga warisan abadi yang ia tinggalkan. Melalui kisah ini, kita akan memahami mengapa Airlangga dianggap sebagai salah satu tokoh sentral dalam sejarah Indonesia, seorang raja yang kepemimpinannya menjadi tolok ukur bagi banyak penguasa di kemudian hari.
Latar Belakang dan Garis Keturunan: Akar-Akar Kekuasaan Airlangga
Warisan Dinasti dan Lingkungan Politik Awal
Untuk memahami kebangkitan Airlangga, penting untuk menelusuri akar-akar kekuasaannya dan lingkungan politik yang membentuk masa mudanya. Airlangga dilahirkan dalam keluarga bangsawan yang memiliki hubungan erat dengan dua pusat kekuasaan utama di Nusantara: Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Timur dan Kerajaan Warmadewa di Bali. Ayahnya adalah Udayana, seorang raja dari Dinasti Warmadewa di Bali, sedangkan ibunya adalah Mahendradatta (juga dikenal sebagai Gunapriya Dharmapatni), putri dari Raja Sri Makutawangsawarddhana, yang merupakan keturunan langsung dari Mpu Sindok, pendiri Dinasti Isyana di Jawa Timur.
Pernikahan antara Udayana dan Mahendradatta adalah aliansi politik strategis yang bertujuan untuk memperkuat hubungan antara Jawa dan Bali. Airlangga, yang lahir sekitar tahun 990 Masehi, tumbuh besar di lingkungan istana yang sarat dengan intrik politik dan tradisi keagamaan. Kakeknya dari pihak ibu, Sri Makutawangsawarddhana, memerintah Mataram Kuno setelah Mpu Sindok, dan pada saat Airlangga muda, tampuk kekuasaan dipegang oleh Raja Dharmawangsa Teguh, pamannya dari pihak ibu.
Dharmawangsa Teguh adalah raja yang ambisius. Ia tidak hanya melanjutkan tradisi pembangunan dan stabilitas Mataram Kuno, tetapi juga berani melancarkan ekspansi politik yang signifikan. Salah satu tindakan paling menonjol dari Dharmawangsa adalah upaya penyerangan terhadap Kerajaan Sriwijaya, sebuah kekuatan maritim besar di Sumatera yang telah lama mendominasi jalur perdagangan di Asia Tenggara. Meskipun upaya ini sempat berhasil melemahkan Sriwijaya, tindakan ini juga menciptakan musuh yang kuat dan bertekad untuk membalas dendam.
Pendidikan dan Pengaruh Awal
Sebagai seorang pangeran, Airlangga menerima pendidikan yang komprehensif, meliputi sastra, agama, filsafat, seni perang, dan tata negara. Ia dibekali pengetahuan yang luas tentang tradisi Jawa-Hindu-Buddha, tata kelola pemerintahan, dan strategi militer. Lingkungan istana tempat ia dibesarkan memberinya pemahaman mendalam tentang dinamika kekuasaan, aliansi, dan konflik yang menjadi ciri khas politik Nusantara pada masa itu.
Pengaruh Mpu Sindok, kakek buyutnya, kemungkinan besar sangat besar. Mpu Sindok adalah figur yang berhasil memindahkan pusat Mataram dari Jawa Tengah ke Jawa Timur dan mendirikan Dinasti Isyana yang kuat. Kisah-kisah tentang Mpu Sindok yang mampu menciptakan stabilitas dan kemakmuran mungkin telah menanamkan ambisi pada diri Airlangga untuk mengikuti jejak leluhurnya.
Pada saat ia mencapai usia dewasa muda, Airlangga telah menunjukkan kualitas kepemimpinan yang menonjol. Ia bukan hanya cerdas dan cakap, tetapi juga memiliki kharisma alami yang kelak akan membantunya mengumpulkan dukungan dalam masa-masa sulit. Takdirnya mulai terjalin dengan masa depan Mataram Kuno ketika ia diundang ke Jawa untuk menikahi putri Dharmawangsa Teguh, sebuah langkah yang akan mengukuhkan posisinya sebagai calon penerus takhta atau setidaknya sebagai figur penting di istana.
Tragedi Pralaya Medang: Kejatuhan Mataram Kuno
Peristiwa Serangan Raja Wurawari
Momen paling menentukan dalam kehidupan Airlangga, dan dalam sejarah Mataram Kuno, adalah peristiwa yang dikenal sebagai "Pralaya Medang" atau "Mahapralaya," yang berarti kehancuran besar. Peristiwa ini terjadi pada saat pernikahan Airlangga dengan putri Dharmawangsa Teguh di Wwatan, ibu kota Mataram Kuno.
Menurut berbagai sumber sejarah, termasuk Prasasti Pucangan yang dikeluarkan oleh Airlangga sendiri, pada saat upacara pernikahan yang megah tersebut, sebuah serangan mendadak dilancarkan oleh Raja Wurawari dari Lwaram. Raja Wurawari diduga merupakan sekutu dari Kerajaan Sriwijaya, yang kemungkinan besar membalas dendam atas serangan Dharmawangsa Teguh sebelumnya. Serangan ini terjadi pada tahun 1006 Masehi.
Serangan Wurawari sangatlah brutal dan tidak terduga. Istana Wwatan luluh lantak, banyak anggota keluarga kerajaan dan bangsawan terbunuh, termasuk Raja Dharmawangsa Teguh sendiri. Peristiwa ini menghancurkan Mataram Kuno yang telah dibangun selama berabad-abad, menenggelamkan wilayah Jawa Timur ke dalam kekacauan dan anarki. Kerajaan yang semula kuat dan berkuasa kini terpecah belah menjadi berbagai wilayah otonom yang saling bersaing, masing-masing dengan ambisi dan kekuasaannya sendiri.
Airlangga sebagai Pengungsi: Masa-Masa Sulit
Di tengah kekacauan dan kehancuran, Airlangga berhasil menyelamatkan diri berkat bantuan pengawal setianya, Narottama. Ia dan Narottama melarikan diri ke hutan-hutan di pedalaman, hidup sebagai pengungsi dan bersembunyi dari para penyerbu. Masa ini adalah periode yang sangat sulit bagi Airlangga. Dari seorang pangeran yang hidup dalam kemewahan istana, ia kini harus bertahan hidup di alam liar, menghadapi ancaman kelaparan, penyakit, dan musuh.
Selama pengasingannya di hutan-hutan dan pegunungan, khususnya di sekitar Gunung Lawu dan daerah Wonogiri, Airlangga tidak sendirian. Ia ditemani oleh beberapa pengikut setia yang bersembunyi bersamanya. Masa ini juga dikenal sebagai periode di mana Airlangga mendalami kehidupan spiritual. Ia dilaporkan bermeditasi dan mencari bimbingan dari para pertapa dan resi di hutan. Pengalaman ini membentuk karakternya, memberinya ketabahan, kesabaran, dan kebijaksanaan yang akan sangat penting dalam perjuangan yang akan datang.
Bersembunyi selama beberapa tahun, Airlangga menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana kekuasaan di Jawa Timur tercerai-berai. Banyak wilayah kecil yang tadinya tunduk kepada Mataram Kuno kini menjadi kerajaan-kerajaan mandiri yang saling berperang, memperebutkan wilayah dan pengaruh. Kondisi ini menciptakan penderitaan yang meluas di kalangan rakyat, yang mendambakan kembalinya stabilitas dan pemerintahan yang kuat.
Meskipun dalam pengasingan, Airlangga tidak pernah melupakan asal-usulnya dan takdirnya sebagai keturunan raja. Dukungan dari para pendeta dan pertapa yang menghormati garis keturunannya memberinya legitimasi moral. Mereka melihatnya sebagai harapan terakhir untuk memulihkan kejayaan Mataram Kuno. Kisah pengasingan ini tidak hanya menunjukkan ketahanan fisik Airlangga, tetapi juga ketabahan spiritualnya, mempersiapkannya untuk peran besar yang menantinya sebagai penyelamat dan pemulih peradaban.
Kebangkitan Airlangga: Penyatuan Kembali Jawa Timur
Awal Mula Perjuangan dan Pembentukan Kahuripan
Setelah kurang lebih empat tahun bersembunyi di hutan, kabar tentang keberadaan Airlangga mulai menyebar. Para Brahmana, yang melihat kekacauan yang melanda Jawa Timur dan mengakui garis keturunan suci Airlangga, mulai mendekatinya. Mereka meyakinkan Airlangga untuk kembali mengambil peran kepemimpinan. Ini adalah titik balik penting dalam hidupnya.
Pada tahun 1019 Masehi, atas desakan para Brahmana, Airlangga dinobatkan sebagai raja. Penobatan ini berlangsung di sebuah pertapaan, menandakan awal dari sebuah era baru. Namun, pada saat penobatannya, wilayah yang diakui sebagai kerajaannya sangatlah kecil, hanya meliputi sebagian kecil dari Jawa Timur yang berpusat di daerah Sidoarjo. Kerajaan baru ini dinamakan Kahuripan, yang berarti "kehidupan," sebuah nama yang penuh makna simbolis, merefleksikan upaya untuk menghidupkan kembali peradaban yang nyaris mati.
Tantangan yang dihadapi Airlangga sangatlah besar. Jawa Timur terpecah-pecah menjadi banyak kerajaan kecil (bhumi-bhumi) yang saling berperang, masing-masing dipimpin oleh raja-raja lokal yang kuat atau pemberontak (bhupati). Mereka adalah raja-raja yang dulunya bawahan Dharmawangsa, namun setelah Pralaya Medang, mereka mendeklarasikan kemerdekaan dan memperluas kekuasaan masing-masing.
Kampanye Militer dan Konsolidasi Kekuasaan
Selama kurang lebih dua belas tahun berikutnya (1019-1031 Masehi), Airlangga secara sistematis melancarkan serangkaian kampanye militer untuk menaklukkan kembali wilayah-wilayah yang memisahkan diri dan memulihkan kekuasaan pusat. Perjuangannya tidak mudah. Ia harus menghadapi berbagai musuh yang tangguh, termasuk Raja Wengker, Raja Tulungagung, Raja Lodoyong, dan tentu saja, Raja Wurawari yang bertanggung jawab atas Pralaya Medang.
Salah satu kemenangan terpenting adalah saat ia berhasil mengalahkan Raja Wurawari pada tahun 1032 Masehi. Kemenangan ini bukan hanya simbolis, melainkan juga membersihkan nama dan membalaskan dendam keluarganya. Kemenangan ini mengirimkan pesan kuat kepada semua pihak bahwa Airlangga adalah kekuatan yang harus diperhitungkan.
Airlangga tidak hanya mengandalkan kekuatan militer. Ia juga menggunakan diplomasi dan pernikahan politik untuk memperluas pengaruhnya. Misalnya, ia menikahi beberapa putri dari bangsawan lokal untuk mempererat hubungan dan menciptakan aliansi yang kokoh. Strategi ini, dikombinasikan dengan kemampuannya dalam perang, secara bertahap berhasil menyatukan sebagian besar Jawa Timur di bawah panji Kahuripan.
Pada tahun 1037 Masehi, Airlangga berhasil menyatukan seluruh wilayah Jawa Timur, dari Pasuruan di timur hingga Madiun di barat, dan bahkan sebagian Jawa Tengah. Ia tidak hanya menguasai wilayah tersebut tetapi juga menciptakan sistem administrasi yang efektif untuk mengelola kerajaan yang semakin luas. Ibu kota Kahuripan dipindahkan beberapa kali, dari Kahuripan ke Daha, dan kemudian kembali ke Kahuripan (di wilayah Sidoarjo), menunjukkan pertumbuhan dan adaptasi kerajaan.
"Airlangga adalah seorang pemimpin yang memahami bahwa kekuatan sejati tidak hanya terletak pada pedang, tetapi juga pada kemampuan untuk menyatukan hati rakyat dan membangun kembali peradaban dari reruntuhan."
Masa Kejayaan Kahuripan: Kebijakan dan Pembangunan
Pembangunan Ekonomi dan Infrastruktur
Setelah berhasil menyatukan kembali Jawa Timur, Airlangga mengalihkan perhatiannya pada pembangunan dan kemakmuran kerajaannya. Ia menyadari bahwa stabilitas politik harus diimbangi dengan kesejahteraan ekonomi. Salah satu kebijakan ekonomi terpentingnya adalah pembangunan dan perbaikan infrastruktur irigasi, terutama bendungan dan saluran air, untuk mendukung pertanian. Pertanian padi merupakan tulang punggung ekonomi Jawa saat itu, dan sistem irigasi yang baik sangat vital untuk ketahanan pangan.
Selain pertanian, Airlangga juga mendorong perdagangan. Ia menjalin hubungan dagang dengan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, bahkan hingga ke mancanegara seperti Tiongkok. Bukti-bukti arkeologis menunjukkan adanya peningkatan aktivitas perdagangan maritim selama masa pemerintahannya. Pelabuhan-pelabuhan seperti Hujung Galuh di muara Sungai Brantas menjadi pusat aktivitas ekonomi yang ramai. Untuk memperlancar perdagangan dan komunikasi, ia membangun jalan-jalan dan memperbaiki jalur transportasi darat dan sungai.
Pajak dan bea cukai diatur dengan jelas, menciptakan sistem keuangan yang stabil bagi kerajaan. Kebijakan ini tidak hanya mengisi kas kerajaan tetapi juga memberikan kepastian hukum bagi para pedagang dan petani, yang pada gilirannya mendorong pertumbuhan ekonomi.
Sistem Hukum dan Keadilan
Airlangga dikenal sebagai raja yang menegakkan keadilan dan hukum. Setelah periode anarki, banyak hukum dan tata tertib yang runtuh. Airlangga berupaya mengembalikan supremasi hukum dengan mengeluarkan berbagai prasasti yang memuat ketentuan-ketentuan hukum baru atau memperbarui hukum-hukum lama. Salah satu prasasti terkenal yang mencerminkan perhatiannya terhadap hukum adalah Prasasti Pucangan (1041 Masehi), yang tidak hanya menceritakan kisah hidupnya tetapi juga berisi penetapan wilayah-wilayah sima (tanah bebas pajak) dan hak-hak serta kewajiban rakyat.
Ia juga dikenal sebagai pelindung kaum Brahmana dan mendirikan banyak pertapaan. Para Brahmana tidak hanya berfungsi sebagai penasihat spiritual, tetapi juga sebagai juru tulis dan penegak hukum yang membantu menyebarkan dan menerapkan kebijakan kerajaan. Keadilan ditegakkan secara merata, yang membuat rakyat merasa aman dan tenteram, sebuah kontras tajam dengan masa-masa kekacauan sebelumnya.
Kehidupan Beragama dan Toleransi
Masa pemerintahan Airlangga juga ditandai dengan toleransi beragama yang tinggi. Meskipun ia adalah seorang penganut Hindu Siwa, ia sangat menghormati agama Buddha dan juga kepercayaan lokal. Di bawah pemerintahannya, tradisi sinkretisme antara Hindu dan Buddha berkembang pesat, yang merupakan ciri khas peradaban Jawa kuno. Dewa Siwa dan Buddha seringkali digambarkan sebagai manifestasi dari satu kekuatan ilahi. Ini tercermin dalam seni dan arsitektur pada masanya.
Airlangga memberikan perlindungan kepada para pendeta Hindu dan Buddha, membangun tempat-tempat ibadah, dan mendukung kegiatan keagamaan. Kebijakan ini menciptakan harmoni sosial dan keagamaan di dalam kerajaannya, yang pada gilirannya memperkuat stabilitas dan kesatuan.
Puncak Kebudayaan: Kakawin Arjunawiwaha dan Warisan Sastra
Mekarnya Sastra di Bawah Perlindungan Airlangga
Masa pemerintahan Airlangga tidak hanya dikenal karena stabilitas politik dan kemakmuran ekonomi, tetapi juga karena puncak kebudayaan, khususnya dalam bidang sastra. Lingkungan istana Airlangga menjadi pusat pengembangan seni dan sastra, tempat para pujangga dan seniman mendapatkan perlindungan dan inspirasi. Kehidupan yang stabil dan dukungan dari raja menciptakan iklim yang kondusif bagi lahirnya karya-karya sastra monumental.
Salah satu karya sastra paling terkenal dan berpengaruh dari era Airlangga adalah Kakawin Arjunawiwaha. Karya ini adalah sebuah puisi epik (kakawin) yang ditulis oleh Mpu Kanwa, seorang pujangga agung di lingkungan istana Airlangga. Kakawin ini selesai ditulis sekitar tahun 1030 Masehi.
Kakawin Arjunawiwaha: Sebuah Epik Keagamaan dan Politik
Kakawin Arjunawiwaha bercerita tentang kisah Arjuna, salah satu pahlawan Pandawa dari wiracarita Mahabharata. Namun, kisah ini diinterpretasikan ulang dengan latar belakang dan konteks Jawa yang kental. Inti ceritanya adalah mengenai Arjuna yang bertapa di Gunung Indrakila untuk memperoleh senjata sakti dari Dewa Siwa. Saat ia bertapa, para dewa menghadapi ancaman dari raksasa Niwatakawaca. Dewa Indra, ingin menguji keteguhan Arjuna, mengirimkan bidadari-bidadari untuk merayu Arjuna.
Namun, Arjuna tetap teguh dalam tapanya. Setelah itu, Dewa Siwa sendiri turun dalam wujud seorang pemburu untuk menguji Arjuna. Keduanya terlibat perkelahian karena memperebutkan seekor babi hutan. Dalam perkelahian itu, Arjuna menyadari bahwa pemburu itu adalah Dewa Siwa. Siwa kemudian menganugerahkan panah Pasupati kepada Arjuna, yang kemudian digunakan untuk mengalahkan Niwatakawaca. Sebagai hadiah atas kemenangannya, Arjuna dianugerahi untuk menikmati kebahagiaan di kahyangan bersama para bidadari.
Secara politik, Kakawin Arjunawiwaha sering diinterpretasikan sebagai alegori atau simbolisme yang sangat kuat terkait dengan sosok Airlangga sendiri. Arjuna yang bertapa dan kemudian memenangkan perang melawan musuh besar, serta mendapatkan anugerah para dewa, sangat paralel dengan perjalanan hidup Airlangga. Airlangga juga "bertapa" dalam pengasingan, berjuang melawan musuh-musuhnya (bhupati dan Raja Wurawari), dan akhirnya berhasil memulihkan kerajaannya.
Penggambaran Arjuna yang bijaksana, teguh, sakti, dan dicintai rakyat mencerminkan citra ideal seorang raja yang ingin ditonjolkan oleh Airlangga. Dengan demikian, kakawin ini berfungsi sebagai legitimasi politik dan alat propaganda yang cerdas untuk mengukuhkan kekuasaan Airlangga di mata rakyat dan para bangsawan.
Dampak dan Pengaruh Arjunawiwaha
Kakawin Arjunawiwaha tidak hanya penting sebagai karya sastra, tetapi juga sebagai dokumen sejarah dan budaya. Ini adalah salah satu kakawin tertua yang masih lestari dan menjadi tolok ukur bagi perkembangan sastra Jawa Kuno selanjutnya. Gaya bahasanya yang indah, alur ceritanya yang mengalir, dan nilai-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya menjadikannya mahakarya yang abadi.
Pengaruh Arjunawiwaha melampaui batas-batas kerajaan Kahuripan. Ia menjadi inspirasi bagi banyak karya sastra lain di Jawa dan Bali, serta menjadi sumber cerita bagi pertunjukan wayang dan seni pertunjukan lainnya. Nilai-nilai kepahlawanan, keteguhan hati, dan ketaatan pada dharma yang diangkat dalam kakawin ini terus diwariskan dari generasi ke generasi.
Hubungan Luar Negeri dan Dinamika Regional
Interaksi dengan Sriwijaya dan Kekuatan Lain
Meskipun Airlangga fokus pada pemulihan dan konsolidasi di Jawa, ia tidak bisa mengabaikan dinamika geopolitik regional. Kerajaan Sriwijaya di Sumatera, meskipun pernah diserang oleh Dharmawangsa dan kemudian membalas dendam melalui Raja Wurawari, tetap menjadi kekuatan maritim yang dominan. Airlangga, dengan kebijaksanaannya, memilih untuk tidak melanjutkan konfrontasi langsung dengan Sriwijaya. Sebaliknya, ia fokus pada pembangunan internal dan menciptakan stabilitas di wilayahnya.
Hubungan antara Jawa di bawah Airlangga dan Sriwijaya kemungkinan besar lebih bersifat pragmatis, berlandaskan pada kepentingan perdagangan. Jalur pelayaran di Selat Malaka dan Laut Jawa adalah urat nadi ekonomi regional, dan kelancaran perdagangan adalah kunci kemakmuran bagi kedua belah pihak. Oleh karena itu, hubungan diplomatik, meskipun mungkin tegang di masa lalu, cenderung diarahkan pada pemeliharaan perdamaian demi kepentingan ekonomi.
Selain Sriwijaya, Airlangga juga menjalin hubungan dengan Tiongkok. Tercatat dalam catatan Tiongkok bahwa ada utusan dari Jawa yang mengunjungi istana kekaisaran Tiongkok pada masanya, menunjukkan bahwa Kahuripan adalah entitas politik yang diakui di arena internasional. Hubungan dengan Tiongkok, seperti halnya dengan Sriwijaya, kemungkinan besar didorong oleh kepentingan perdagangan rempah-rempah, produk pertanian, dan kerajinan tangan dari Jawa.
Posisi Airlangga di Panggung Regional
Dengan berhasil menyatukan Jawa Timur dan menciptakan stabilitas, Airlangga telah mengembalikan Jawa ke posisi penting di panggung politik dan perdagangan regional. Keberadaannya sebagai penguasa yang kuat di Jawa membantu menyeimbangkan kekuatan di Nusantara, terutama terhadap dominasi Sriwijaya. Kerajaan Kahuripan di bawah Airlangga menjadi salah satu pusat peradaban terkemuka di Asia Tenggara, menarik para pedagang, cendekiawan, dan seniman.
Airlangga juga kemungkinan besar memelihara hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan di kepulauan lain, seperti Bali dan Kalimantan, meskipun sifat dan intensitas hubungannya tidak selalu tercatat secara rinci. Sebagai putra dari seorang raja Bali, ia memiliki legitimasi alami dan kemungkinan aliansi yang kuat dengan Kerajaan Warmadewa di Bali. Hubungan ini bisa jadi saling menguntungkan, baik dalam perdagangan maupun dalam pertahanan terhadap ancaman eksternal.
Singkatnya, Airlangga, meskipun memusatkan perhatian pada pembangunan di dalam kerajaannya, tidak mengisolasi diri dari dunia luar. Ia cerdas dalam berdiplomasi dan memahami pentingnya menjaga hubungan yang stabil dengan kekuatan regional dan internasional untuk memastikan kemakmuran dan keamanan Kahuripan.
Masa Tua dan Keputusan Pembagian Kerajaan
Mundurnya Airlangga dari Takhta
Setelah lebih dari tiga puluh tahun memerintah dan berhasil membawa Kerajaan Kahuripan mencapai puncak kejayaan, Airlangga membuat keputusan yang mengejutkan dan monumental pada masa tuanya. Ia memilih untuk melepaskan takhta dan menjalani kehidupan sebagai seorang pertapa. Keputusan ini menunjukkan tingkat spiritualitas dan kebijaksanaan yang tinggi, sebuah tindakan yang jarang dilakukan oleh seorang raja yang berkuasa penuh.
Pada sekitar tahun 1042 Masehi, Airlangga secara resmi turun takhta. Ia mengubah namanya menjadi Resi Gentayu atau Resi Jatayu, dan kemudian Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinapanjira, dan mengasingkan diri ke pertapaan di Puthuk Payung, di lereng Gunung Penanggungan. Keputusan ini bukan hanya simbolis, melainkan juga sebuah manifestasi dari ajaran Hindu-Buddha tentang mencapai moksa atau kebebasan spiritual dari siklus kehidupan duniawi. Seorang raja yang mencapai puncak kekuasaan dan kemewahan, lalu melepaskan semua itu demi kehidupan spiritual, dianggap sebagai sosok yang sangat dihormati dan diberkahi.
Meskipun ia telah turun takhta, pengaruh Airlangga tetap kuat. Ia masih dianggap sebagai guru spiritual dan penasihat oleh rakyatnya. Keputusan ini juga memberikan kesempatan bagi generasi berikutnya untuk mengambil alih kepemimpinan.
Pembagian Kerajaan: Jenggala dan Kediri
Namun, sebelum Airlangga melepaskan takhta, ia menghadapi dilema besar terkait suksesi. Airlangga memiliki beberapa putra dan putri, tetapi dua putranya yang paling menonjol adalah Samarawijaya dan Mapanji Garasakan. Kedua pangeran ini, yang lahir dari istri yang berbeda, memiliki klaim yang kuat atas takhta dan masing-masing didukung oleh kelompok bangsawan yang berbeda.
Untuk mencegah perang saudara yang dapat menghancurkan kembali kerajaannya yang baru saja ia satukan dengan susah payah, Airlangga mengambil keputusan yang sangat berani dan tidak konvensional: ia membagi Kerajaan Kahuripan menjadi dua. Pembagian ini dilakukan dengan bantuan seorang Brahmana terkemuka, Mpu Bharada, yang konon menggunakan kesaktiannya untuk membelah air sungai Brantas sebagai batas alami antara kedua kerajaan.
- Kerajaan Jenggala: Berpusat di daerah Kahuripan (Sidoarjo saat ini), wilayah bagian timur. Kerajaan ini diwariskan kepada Mapanji Garasakan. Simbolnya adalah Garuda Mukha.
- Kerajaan Panjalu (Kediri): Berpusat di Daha (Kediri saat ini), wilayah bagian barat. Kerajaan ini diwariskan kepada Samarawijaya. Simbolnya adalah Chandrasangkala (angka tahun).
Keputusan pembagian kerajaan ini adalah upaya Airlangga untuk memastikan stabilitas dan perdamaian, meskipun pada akhirnya, dua kerajaan pecahan ini tetap terlibat dalam persaingan dan konflik di kemudian hari. Namun, pada saat itu, langkah ini dianggap sebagai tindakan bijaksana untuk menghindari kehancuran total yang mungkin terjadi jika salah satu pangeran berusaha merebut semua kekuasaan.
Mpu Bharada, yang membantu dalam pembagian ini, juga menjadi tokoh penting dalam sejarah. Kisahnya dicatat dalam Kakawin Smaradahana dan sumber-sumber lain yang mengagungkan kebijaksanaan dan kesaktiannya. Pembagian kerajaan ini secara efektif mengakhiri Kerajaan Kahuripan sebagai entitas tunggal, namun sekaligus melahirkan dua kerajaan baru yang kelak akan memiliki peran signifikan dalam sejarah Jawa.
Airlangga meninggal dunia sebagai seorang pertapa pada sekitar tahun 1049 Masehi. Jasadnya dimakamkan di petirtaan Belahan, dekat Candi Jawi, dengan arca perwujudan dewa Wisnu yang menunggangi Garuda (Garudeya), melambangkan perannya sebagai pemelihara dan penyelamat peradaban. Sosok Wisnu yang mengendarai Garuda juga sangat identik dengan cerita Kakawin Arjunawiwaha, memperkuat simbolisme kepemimpinannya.
Warisan dan Jejak Abadi Airlangga
Peletak Dasar Peradaban Jawa Selanjutnya
Warisan Airlangga jauh melampaui masa pemerintahannya. Kepemimpinannya yang visioner dalam menyatukan kembali Jawa setelah periode kegelapan telah meletakkan fondasi yang kokoh bagi peradaban Jawa berikutnya. Dua kerajaan yang ia dirikan, Jenggala dan Kediri, meskipun pada awalnya bersaing, pada akhirnya menjadi cikal bakal kerajaan-kerajaan besar di kemudian hari, seperti Kerajaan Singasari dan Majapahit.
Prinsip-prinsip tata negara, sistem hukum, dan kebijakan ekonomi yang ia terapkan terus menjadi rujukan bagi para penguasa Jawa di masa depan. Stabilitas dan kemakmuran yang ia ciptakan membuktikan bahwa kepemimpinan yang kuat dan adil adalah kunci keberlanjutan sebuah negara. Ia menunjukkan bagaimana seorang pemimpin dapat bangkit dari keterpurukan, memulihkan tatanan, dan membangun kembali sebuah peradaban dari nol.
Simbol Pemulihan dan Kebijaksanaan
Airlangga telah menjadi simbol pemulihan, ketahanan, dan kebijaksanaan. Kisahnya, yang dituliskan dalam prasasti dan kakawin, adalah pelajaran berharga tentang bagaimana menghadapi tantangan ekstrem. Ia adalah contoh seorang raja yang tidak hanya memiliki kekuatan militer, tetapi juga kecerdasan politik, kearifan spiritual, dan kecintaan terhadap rakyatnya.
Penggambaran dirinya sebagai reinkarnasi Dewa Wisnu, yang dikenal sebagai dewa pemelihara alam semesta, semakin menguatkan citranya sebagai penyelamat. Patung-patung dan relief-relief yang menggambarkan Airlangga, terutama dalam wujud Wisnu menunggangi Garuda, menegaskan status dewa-raja yang ia miliki di mata rakyat dan para pujangga.
Pengaruh Terhadap Sastra dan Kebudayaan
Kakawin Arjunawiwaha, yang lahir di era Airlangga, menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah sastra Jawa Kuno. Ia tidak hanya membentuk gaya dan standar bagi kakawin-kakawin berikutnya tetapi juga menyebarkan nilai-nilai kepahlawanan dan spiritualitas yang mendalam. Karya sastra ini terus dipelajari dan diinterpretasikan hingga kini, menunjukkan relevansinya yang abadi.
Seni pahat, arsitektur, dan seni pertunjukan juga berkembang pesat di bawah perlindungannya. Keharmonisan antara Hindu dan Buddha yang ia promosikan tercermin dalam berbagai peninggalan budaya dan keagamaan dari masanya, yang memperkaya khazanah peradaban Jawa.
Airlangga dalam Perspektif Modern
Dalam perspektif modern, Airlangga seringkali dijadikan inspirasi sebagai pemimpin yang mampu mengatasi krisis dan membangun kembali bangsa dari keterpurukan. Kisahnya relevan untuk memahami pentingnya persatuan, ketahanan, dan visi jangka panjang dalam menghadapi tantangan zaman. Ia adalah contoh nyata bahwa bahkan di tengah kehancuran total, harapan untuk membangun kembali selalu ada jika ada kepemimpinan yang kuat dan berkomitmen.
Nama Airlangga diabadikan dalam berbagai nama institusi, jalan, dan bahkan kapal perang di Indonesia, sebagai bentuk penghormatan atas jasa-jasanya. Universitas Airlangga di Surabaya adalah salah satu contoh institusi pendidikan tinggi terkemuka yang menyandang namanya, menunjukkan betapa pentingnya ia dalam kesadaran kolektif bangsa Indonesia.
Kesimpulan: Cahaya yang Tak Pernah Padam
Perjalanan hidup Airlangga adalah sebuah epos yang luar biasa, dimulai dari kehancuran total dan berakhir dengan kemegahan yang abadi. Dari seorang pangeran yang kehilangan segalanya dalam Pralaya Medang, ia bangkit menjadi Raja Kahuripan yang menyatukan kembali Jawa Timur, menciptakan stabilitas, kemakmuran, dan kebudayaan yang gemilang. Kisah pengasingannya, perjuangan militernya, kebijakannya dalam pemerintahan, serta dukungan terhadap seni dan sastra, semuanya menunjukkan kualitas kepemimpinan yang langka dan luar biasa.
Meskipun ia memilih untuk mengakhiri hidupnya sebagai seorang pertapa dan membagi kerajaannya menjadi dua, keputusan tersebut adalah bagian dari kebijaksanaannya yang mendalam untuk menghindari konflik yang lebih besar. Warisannya tidak hanya dalam bentuk kerajaan atau karya sastra, tetapi juga dalam bentuk fondasi peradaban yang ia tinggalkan, yang terus menginspirasi generasi-generasi berikutnya.
Airlangga adalah bukti nyata bahwa seorang pemimpin sejati mampu mengubah krisis menjadi peluang, kehancuran menjadi pembangunan, dan perpecahan menjadi persatuan. Cahaya yang dipancarkan oleh kepemimpinannya di era Kahuripan tidak pernah padam, terus menerangi lembaran sejarah Nusantara dan menjadi inspirasi bagi kita semua akan arti sesungguhnya dari sebuah kemuliaan dan kebijaksanaan seorang raja.
Keagungan Airlangga bukanlah sekadar legenda, melainkan fakta sejarah yang terukir dalam prasasti, kakawin, dan situs-situs purbakala. Ia adalah pahlawan yang membangun kembali peradaban dari puing-puing, menanamkan nilai-nilai keadilan, toleransi, dan kecintaan terhadap ilmu pengetahuan yang masih relevan hingga hari ini. Oleh karena itu, kita dapat menyimpulkan bahwa Airlangga tidak hanya sekadar raja; ia adalah Sang Penyatuan Nusantara, Pelopor Kebudayaan Jawa, dan seorang pemimpin yang kebijaksanaannya melampaui zamannya.
Sumbangsihnya yang tak ternilai bagi pembentukan identitas dan peradaban Jawa menjadikannya salah satu figur terpenting dalam sejarah Indonesia. Kisahnya adalah pengingat akan kekuatan tekad, kearifan, dan kemampuan manusia untuk bangkit dari masa-masa paling gelap menuju cahaya kemakmuran dan kebudayaan.