Dalam lanskap pembangunan nasional, gagasan Agropolitan mencuat sebagai sebuah konsep strategis yang berupaya menjembatani kesenjangan antara wilayah perkotaan dan perdesaan. Lebih dari sekadar label geografis, Agropolitan adalah sebuah filosofi pembangunan yang menempatkan sektor pertanian sebagai inti penggerak ekonomi, sosial, dan lingkungan di kawasan perdesaan. Artikel ini akan mengupas tuntas seluk-beluk Agropolitan, mulai dari definisi, tujuan, karakteristik, hingga tantangan dan strategi pengembangannya, menyoroti perannya sebagai pilar utama dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang inklusif dan merata.
Secara etimologis, kata "Agropolitan" berasal dari gabungan dua kata, yaitu "Agro" yang berarti pertanian, dan "Politan" yang merujuk pada kota atau pusat kegiatan. Dalam konteks pembangunan, Agropolitan dapat diartikan sebagai kawasan perdesaan yang kegiatan utamanya adalah pertanian, lengkap dengan sistem pelayanan dan fasilitas yang mendukung pengembangan pertanian secara terpadu. Ini bukan sekadar desa pertanian biasa, melainkan sebuah wilayah yang dirancang untuk berfungsi sebagai pusat pertumbuhan ekonomi lokal dengan pertanian sebagai sektor unggulan, didukung oleh infrastruktur dan suprastruktur layaknya sebuah kota kecil.
Konsep Agropolitan lahir dari pemikiran bahwa sektor pertanian, yang seringkali dipandang sebelah mata dan cenderung tertinggal, memiliki potensi luar biasa untuk menjadi motor penggerak pembangunan. Dengan mengintegrasikan aspek produksi, pengolahan, pemasaran, dan penyediaan jasa pendukung, kawasan Agropolitan berupaya menciptakan rantai nilai yang utuh dan berkelanjutan. Tujuan utamanya adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat petani, mengurangi kesenjangan pembangunan antara kota dan desa, serta membangun kemandirian ekonomi daerah.
Pembangunan Agropolitan melibatkan serangkaian upaya sistematis untuk mengembangkan wilayah tertentu yang memiliki potensi pertanian yang menonjol. Ini mencakup perencanaan tata ruang yang komprehensif, penyediaan infrastruktur dasar seperti jalan, irigasi, listrik, dan telekomunikasi, serta pembangunan fasilitas sosial ekonomi seperti pasar, pusat pelatihan, dan layanan keuangan. Lebih jauh, Agropolitan juga menitikberatkan pada pengembangan sumber daya manusia (SDM) petani melalui pendidikan dan pelatihan, serta penguatan kelembagaan lokal seperti koperasi atau kelompok tani.
Dengan demikian, Agropolitan adalah sebuah model pembangunan wilayah yang holistik, yang tidak hanya berfokus pada peningkatan produktivitas pertanian semata, tetapi juga pada pengembangan seluruh ekosistem yang mendukung pertanian tersebut. Ini mencakup aspek hulu (penyediaan saprodi, bibit), on-farm (budidaya), hingga hilir (pengolahan, pemasaran). Harapannya, kawasan ini dapat bertransformasi menjadi magnet ekonomi yang menarik investasi, menciptakan lapangan kerja, dan pada akhirnya, meningkatkan kualitas hidup masyarakat perdesaan secara signifikan.
Pengembangan kawasan Agropolitan didasari oleh tujuan-tujuan mulia dan filosofi pembangunan yang mendalam, berorientasi pada kemajuan perdesaan dan keberlanjutan. Tujuan-tujuan ini saling terkait dan membentuk sebuah visi komprehensif untuk menciptakan wilayah perdesaan yang berdaya saing dan mandiri.
Ini adalah tujuan paling fundamental dari Agropolitan. Dengan menjadikan pertanian sebagai sektor unggulan yang terintegrasi dari hulu hingga hilir, diharapkan petani tidak hanya menjadi produsen bahan baku, tetapi juga bagian dari rantai nilai yang lebih besar. Melalui peningkatan produktivitas, nilai tambah produk olahan, dan akses pasar yang lebih baik, pendapatan petani diharapkan dapat meningkat secara signifikan. Peningkatan pendapatan ini secara langsung akan berkorelasi dengan peningkatan kualitas hidup, kemampuan akses pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan dasar lainnya bagi keluarga petani dan masyarakat perdesaan secara keseluruhan. Agropolitan berupaya memutus lingkaran kemiskinan yang seringkali melanda sektor pertanian.
Agropolitan dirancang untuk menjadi 'pusat magnet' ekonomi di wilayah perdesaan. Dengan konsentrasi kegiatan pertanian, agroindustri, dan jasa pendukung, kawasan ini diharapkan dapat menarik investasi, menciptakan lapangan kerja baru, dan mendorong pertumbuhan sektor-sektor non-pertanian yang mendukung. Misalnya, keberadaan industri pengolahan hasil pertanian akan memicu permintaan akan jasa transportasi, logistik, pengemasan, hingga riset dan pengembangan. Ini akan menciptakan efek berganda (multiplier effect) yang memperkuat struktur ekonomi lokal dan regional.
Salah satu masalah pelik dalam pembangunan adalah tingginya arus migrasi penduduk dari desa ke kota (urbanisasi) akibat minimnya peluang ekonomi di perdesaan. Dengan menciptakan lapangan kerja dan prospek ekonomi yang menarik di kawasan Agropolitan, diharapkan masyarakat perdesaan, khususnya generasi muda, tidak lagi perlu berbondong-bondong mencari penghidupan di kota besar. Agropolitan berupaya menjadikan desa sebagai tempat yang layak dan menjanjikan untuk berkarya dan membangun masa depan, sehingga mengurangi tekanan terhadap kota-kota besar.
Filosofi Agropolitan sangat menekankan aspek keberlanjutan. Pembangunan pertanian harus dilakukan dengan memperhatikan kapasitas daya dukung lingkungan. Ini mencakup penerapan praktik pertanian berkelanjutan, pengelolaan air yang efisien, konservasi tanah, perlindungan keanekaragaman hayati, serta pengelolaan limbah pertanian yang baik. Agropolitan bukan hanya tentang eksploitasi sumber daya, tetapi juga tentang bagaimana mengelola dan melestarikannya untuk generasi mendatang, memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak merusak fondasi lingkungan.
Indonesia adalah negara kepulauan dengan disparitas pembangunan yang nyata antara wilayah satu dengan lainnya, khususnya antara perkotaan dan perdesaan. Agropolitan hadir sebagai instrumen untuk mengurangi kesenjangan ini. Dengan memusatkan pembangunan di kawasan perdesaan yang memiliki potensi pertanian, Agropolitan membantu mendistribusikan manfaat pembangunan secara lebih merata. Ini berarti akses terhadap infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan peluang ekonomi tidak lagi hanya terkonsentrasi di kota, tetapi juga tersedia di kawasan perdesaan yang menjadi bagian dari Agropolitan.
Pengembangan Agropolitan membutuhkan peran aktif pemerintah daerah dalam perencanaan, implementasi, dan pengawasan. Hal ini sejalan dengan semangat otonomi daerah, di mana pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk merumuskan kebijakan pembangunan yang sesuai dengan potensi dan kebutuhan lokal. Agropolitan mendorong pemerintah daerah untuk menyusun rencana induk pembangunan wilayah yang terintegrasi, melibatkan berbagai sektor, dan memastikan koordinasi yang efektif antar-unit kerja.
Secara keseluruhan, filosofi Agropolitan adalah menciptakan "kota pertanian" atau "pusat desa yang maju" di mana sektor pertanian menjadi tulang punggung perekonomian, didukung oleh infrastruktur dan fasilitas modern, serta dijalankan dengan prinsip keberlanjutan. Ini adalah upaya revolusioner untuk mengubah citra perdesaan dari sekadar penyedia bahan mentah menjadi pusat inovasi, produksi bernilai tambah, dan kehidupan yang berkualitas.
Untuk dapat disebut sebagai kawasan Agropolitan, suatu wilayah harus memenuhi serangkaian ciri dan karakteristik khusus yang membedakannya dari sekadar daerah pertanian biasa. Karakteristik ini mencerminkan integrasi dan kompleksitas pembangunan yang ingin dicapai.
Ini adalah ciri paling fundamental. Mayoritas lahan dan mata pencarian penduduk harus terkait erat dengan sektor pertanian dalam arti luas. Namun, dominasi ini tidak hanya terbatas pada pertanian primer (budidaya tanaman, peternakan, perikanan), tetapi juga meliputi pertanian sekunder (agroindustri pengolahan hasil pertanian) dan pertanian tersier (jasa pendukung pertanian seperti transportasi, pemasaran, konsultasi, dan agrowisata). Ini menunjukkan adanya rantai nilai yang utuh dan beragam kegiatan ekonomi berbasis pertanian.
Kawasan Agropolitan harus memiliki pusat yang berfungsi sebagai simpul pelayanan. Pusat ini menyediakan berbagai fasilitas yang esensial bagi pengembangan pertanian dan kehidupan masyarakat. Contohnya:
Infrastruktur adalah tulang punggung Agropolitan. Ini mencakup:
Salah satu ciri khas Agropolitan adalah integrasi vertikal dan horizontal. Ini berarti adanya keterkaitan yang kuat antara:
Integrasi ini memastikan bahwa produk pertanian tidak hanya dijual mentah, tetapi diolah untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing. Ini juga menciptakan pasar yang stabil bagi petani.
Karakteristik ini menekankan pentingnya sumber daya manusia. Masyarakat di kawasan Agropolitan tidak pasif, tetapi aktif dan memiliki inisiatif. Mereka terorganisir dalam kelompok tani atau koperasi, memiliki akses terhadap pendidikan dan pelatihan, serta terbuka terhadap inovasi dan teknologi baru dalam pertanian (misalnya, pertanian cerdas, organik, atau presisi). Keberdayaan ini juga tercermin dari kemampuan mereka untuk mengakses permodalan dan pasar.
Pembangunan di Agropolitan harus selaras dengan prinsip-prinsip keberlanjutan lingkungan. Ini berarti:
Pemerintah daerah, bersama dengan lembaga swasta dan masyarakat, berperan aktif dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan yang mendukung Agropolitan. Ini mencakup dukungan regulasi, penyediaan anggaran, fasilitasi investasi, serta koordinasi antar-sektor dan antar-stakeholder untuk mencapai tujuan bersama.
Dengan kombinasi ciri-ciri ini, kawasan Agropolitan bertransformasi menjadi sebuah sistem yang kompleks dan dinamis, bukan hanya sekadar lahan pertanian, melainkan ekosistem pembangunan yang menyeluruh dan berorientasi masa depan.
Pengembangan Agropolitan adalah upaya multidimensional yang melibatkan berbagai komponen kunci. Masing-masing komponen ini saling terkait dan esensial untuk membentuk sebuah sistem yang terpadu dan berfungsi optimal.
Ini adalah fondasi utama Agropolitan. Fokusnya adalah pada:
Komponen ini adalah kunci untuk menciptakan nilai tambah. Produk pertanian mentah seringkali memiliki harga rendah dan mudah rusak. Melalui pengolahan, nilai ekonominya dapat meningkat drastis:
Produk terbaik tidak akan berarti tanpa pasar yang efektif. Agropolitan harus memiliki sistem pemasaran yang kuat:
Petani dan pelaku usaha di Agropolitan harus memiliki kapasitas yang memadai:
Infrastruktur fisik dan non-fisik adalah prasyarat untuk pertumbuhan:
Organisasi yang efektif akan meningkatkan kekuatan tawar petani:
Modal adalah darah pembangunan. Agropolitan memerlukan:
Dengan mengintegrasikan dan memperkuat ketujuh komponen ini, kawasan Agropolitan dapat tumbuh menjadi pusat pertumbuhan ekonomi yang dinamis, tangguh, dan berkelanjutan, membawa kemakmuran bagi masyarakat perdesaan.
Pengembangan kawasan Agropolitan menawarkan beragam manfaat yang signifikan, menyentuh aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Manfaat ini secara kolektif berkontribusi pada pencapaian pembangunan nasional yang lebih seimbang dan inklusif.
Singkatnya, Agropolitan adalah sebuah solusi pembangunan yang memiliki efek domino positif. Dengan menumbuhkan jantung ekonomi di perdesaan melalui sektor pertanian, Agropolitan tidak hanya menciptakan kemakmuran, tetapi juga keadilan sosial dan kelestarian lingkungan, menjadikan desa sebagai tempat yang layak huni, produktif, dan menjanjikan bagi masa depan.
Meskipun memiliki potensi besar dan menawarkan berbagai manfaat, pengembangan kawasan Agropolitan bukanlah tanpa hambatan. Terdapat sejumlah tantangan serius yang perlu diatasi secara cermat dan terencana agar visi Agropolitan dapat terwujud secara optimal dan berkelanjutan.
Sektor pertanian, terutama di perdesaan, seringkali dianggap berisiko tinggi oleh lembaga keuangan, sehingga sulit mendapatkan akses permodalan yang memadai. Investasi awal untuk membangun infrastruktur, fasilitas pengolahan, dan teknologi modern di Agropolitan membutuhkan dana yang besar, baik dari pemerintah maupun swasta. Kurangnya insentif bagi investor swasta untuk berinvestasi di sektor pertanian perdesaan menjadi kendala utama.
Meskipun Agropolitan bertujuan membangun infrastruktur, pada kenyataannya, banyak wilayah potensial masih memiliki keterbatasan jalan yang layak, sistem irigasi yang buruk, pasokan listrik yang tidak stabil, serta akses internet yang minim. Infrastruktur yang tidak memadai ini menghambat distribusi produk, efisiensi produksi, dan akses petani terhadap informasi dan pasar.
Sebagian besar petani di perdesaan masih memiliki tingkat pendidikan dan keterampilan yang relatif rendah dalam manajemen usaha tani modern, penggunaan teknologi, serta pengolahan produk. Adanya gap generasi, di mana kaum muda kurang tertarik pada pertanian tradisional, juga menjadi tantangan besar dalam regenerasi petani dan adopsi inovasi.
Harga produk pertanian sangat rentan terhadap perubahan pasar, cuaca, dan kebijakan. Fluktuasi harga yang ekstrem dapat merugikan petani dan membuat mereka enggan untuk meningkatkan produksi atau berinvestasi. Ketidakstabilan harga ini juga menyulitkan perencanaan usaha tani jangka panjang.
Perubahan iklim global membawa dampak serius bagi sektor pertanian, seperti kekeringan berkepanjangan, banjir, dan perubahan pola musim. Ini diperparah dengan ancaman hama dan penyakit tanaman atau hewan yang semakin resisten. Hal-hal ini mengancam stabilitas produksi dan ketahanan pangan di Agropolitan.
Warisan dan pembagian lahan secara turun-temurun menyebabkan kepemilikan lahan petani menjadi sangat kecil (fragmentasi), sehingga tidak efisien untuk pertanian skala ekonomi. Selain itu, tekanan pembangunan dan urbanisasi menyebabkan konversi lahan pertanian produktif menjadi non-pertanian, mengurangi luas lahan yang tersedia untuk Agropolitan.
Pengembangan Agropolitan melibatkan banyak sektor (pertanian, pekerjaan umum, industri, perdagangan, pendidikan, kesehatan) dan seringkali lintas batas administrasi. Kurangnya koordinasi, ego sektoral, dan perbedaan prioritas antar-instansi atau antar-pemerintah daerah dapat menghambat implementasi program Agropolitan secara terpadu.
Meskipun teknologi informasi semakin maju, banyak petani di perdesaan masih memiliki akses terbatas terhadap internet, smartphone, atau aplikasi pertanian yang dapat membantu mereka meningkatkan efisiensi dan mengakses pasar. Gap teknologi ini menghambat adopsi praktik pertanian cerdas (smart farming).
Meskipun ada kelompok tani atau koperasi, banyak di antaranya masih belum kuat secara organisasi, manajemen, dan modal. Akibatnya, mereka kurang mampu menjadi kekuatan tawar yang efektif di pasar atau sebagai wadah untuk mengatasi permasalahan bersama.
Meskipun ada niat baik, implementasi kebijakan dan regulasi yang mendukung Agropolitan seringkali belum optimal di tingkat daerah. Proses perizinan yang rumit, kurangnya insentif fiskal, atau tumpang tindih regulasi dapat menjadi penghambat bagi investasi dan pengembangan usaha di Agropolitan.
Mengatasi tantangan-tantangan ini membutuhkan pendekatan yang komprehensif, kolaboratif, dan berkelanjutan. Ini melibatkan peran aktif pemerintah, swasta, akademisi, dan masyarakat sendiri untuk bekerja sama menciptakan ekosistem Agropolitan yang tangguh dan adaptif.
Untuk mengatasi berbagai tantangan dan mewujudkan potensi besar Agropolitan, diperlukan strategi pengembangan dan implementasi yang terencana, terpadu, dan berkelanjutan. Strategi ini mencakup berbagai aspek, mulai dari perencanaan hingga pemberdayaan masyarakat.
Langkah awal yang krusial adalah menyusun Rencana Induk (Master Plan) yang jelas. Rencana ini harus mencakup:
Organisasi petani yang kuat adalah kunci efisiensi dan daya tawar:
Investasi infrastruktur adalah prasyarat untuk pertumbuhan:
Transformasi produk mentah menjadi produk olahan adalah kunci peningkatan pendapatan:
Memastikan produk sampai ke konsumen dengan harga terbaik:
Investasi pada manusia adalah investasi terbaik:
Dukungan regulasi dan fasilitasi sangat krusial:
Kolaborasi adalah kunci inovasi:
Meningkatkan efisiensi dan akurasi:
Memastikan masa depan pertanian:
Dengan mengimplementasikan strategi-strategi ini secara sinergis, Agropolitan dapat berkembang menjadi pusat pertumbuhan yang kuat, mandiri, dan berkelanjutan, membawa kemakmuran dan keseimbangan bagi pembangunan perdesaan dan nasional.
Dalam era di mana isu-isu lingkungan dan sosial menjadi semakin krusial, konsep Agropolitan tidak hanya relevan tetapi juga menjadi manifestasi konkret dari prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Agropolitan secara inheren mengintegrasikan tiga pilar utama pembangunan berkelanjutan: ekonomi, sosial, dan lingkungan, dengan pertanian sebagai porosnya.
Agropolitan dirancang untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tidak hanya instan, tetapi juga berjangka panjang dan adil. Ini dilakukan melalui:
Pembangunan ekonomi di Agropolitan berorientasi pada kesejahteraan petani dan masyarakat perdesaan secara inklusif, bukan hanya segelintir pihak.
Aspek sosial merupakan inti dari Agropolitan, memastikan bahwa pembangunan bermanfaat bagi semua lapisan masyarakat:
Keberlanjutan lingkungan adalah fondasi bagi sektor pertanian jangka panjang. Agropolitan mengintegrasikan praktik ramah lingkungan melalui:
Dengan demikian, Agropolitan bukan hanya tentang mengembangkan pertanian, tetapi tentang menciptakan sebuah sistem sosial-ekonomi-lingkungan yang utuh, seimbang, dan mampu menopang kehidupan di masa kini dan masa depan. Ini adalah model pembangunan yang visioner, yang membuktikan bahwa kemajuan ekonomi dapat berjalan beriringan dengan keadilan sosial dan kelestarian alam.
Melihat potensi pertanian Indonesia yang melimpah dan kebutuhan akan pembangunan yang lebih merata, masa depan Agropolitan di Indonesia terlihat sangat menjanjikan, namun juga membutuhkan adaptasi dan inovasi berkelanjutan. Konsep ini akan terus berevolusi seiring dengan perkembangan teknologi, perubahan iklim, dan dinamika sosial-ekonomi global.
Indonesia memiliki ribuan desa dengan potensi pertanian yang belum sepenuhnya tergali. Agropolitan menawarkan kerangka kerja untuk mengorganisir dan memaksimalkan potensi ini. Dengan dukungan kebijakan yang konsisten dan investasi yang tepat, Agropolitan dapat menjadi tulang punggung ketahanan pangan nasional, mengurangi impor produk pertanian, dan bahkan menjadi pemain kunci dalam pasar ekspor produk pertanian olahan.
Pengembangan Agropolitan juga akan mendorong munculnya inovasi lokal. Petani dan pelaku usaha di Agropolitan akan dipacu untuk mencari solusi kreatif terhadap masalah pertanian, baik dalam hal budidaya, pengolahan, maupun pemasaran. Ini akan menciptakan ekosistem inovasi yang dinamis di perdesaan.
Masa depan Agropolitan tidak hanya terbatas pada produksi pangan. Akan ada integrasi yang lebih kuat dengan sektor lain, seperti:
Keterlibatan generasi muda akan menjadi penentu keberhasilan Agropolitan di masa depan. Dengan pendekatan yang lebih modern, berbasis teknologi, dan berorientasi pasar, pertanian dapat menjadi pilihan karier yang menarik bagi kaum muda. Digitalisasi akan menjadi kuncinya:
Perubahan iklim akan terus menjadi tantangan, sehingga Agropolitan di masa depan harus lebih tangguh dan adaptif. Ini berarti pengembangan varietas tanaman yang tahan iklim ekstrem, sistem irigasi yang lebih cerdas, dan praktik pertanian regeneratif yang memulihkan kesehatan tanah. Aspek keberlanjutan lingkungan akan menjadi non-negotiable, dengan penekanan pada ekonomi sirkular dan jejak karbon rendah.
Agropolitan di Indonesia juga dapat belajar dari pengalaman negara lain dan berkolaborasi dalam riset, pengembangan, serta pemasaran. Pertukaran pengetahuan tentang teknologi pertanian, praktik terbaik, dan akses pasar global akan memperkuat daya saing Agropolitan Indonesia di kancah internasional.
Singkatnya, masa depan Agropolitan adalah tentang transformasi perdesaan menjadi pusat inovasi, kemakmuran, dan keberlanjutan. Ini bukan hanya sebuah proyek, melainkan sebuah gerakan pembangunan yang berkelanjutan, yang membutuhkan visi jangka panjang, komitmen kuat dari semua pihak, dan kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan zaman. Agropolitan akan menjadi jembatan yang menghubungkan potensi desa dengan kebutuhan global, menciptakan Indonesia yang lebih kuat dan sejahtera dari akar rumput.
Agropolitan merupakan sebuah konsep pembangunan wilayah yang strategis dan visioner, menempatkan sektor pertanian sebagai inti penggerak pertumbuhan ekonomi, sosial, dan lingkungan di kawasan perdesaan. Lebih dari sekadar area produksi pertanian, Agropolitan dirancang sebagai pusat pelayanan yang terintegrasi, dilengkapi dengan infrastruktur memadai, fasilitas penunjang, serta sumber daya manusia yang kompeten, untuk menciptakan nilai tambah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat petani.
Dengan tujuan utama meningkatkan pendapatan dan kualitas hidup petani, menciptakan pusat pertumbuhan ekonomi lokal, mengurangi urbanisasi, serta menjaga kelestarian lingkungan, Agropolitan mengusung filosofi pembangunan yang holistik dan berkelanjutan. Karakteristik utamanya meliputi dominasi kegiatan pertanian secara luas (dari hulu hingga hilir), keberadaan pusat pelayanan, infrastruktur terpadu, serta kelembagaan yang kuat.
Meskipun demikian, perjalanan menuju Agropolitan yang sukses tidaklah mudah. Tantangan seperti keterbatasan modal, infrastruktur yang belum memadai, kualitas SDM yang bervariasi, fluktuasi harga komoditas, dan dampak perubahan iklim harus diatasi dengan strategi yang matang. Strategi pengembangan harus mencakup penyusunan rencana induk, penguatan kelembagaan petani, pembangunan infrastruktur, hilirisasi produk, inovasi pemasaran, peningkatan kapasitas SDM, serta dukungan kebijakan pemerintah dan kolaborasi multi-stakeholder.
Pada akhirnya, Agropolitan adalah manifestasi nyata dari pembangunan berkelanjutan yang mengintegrasikan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan secara harmonis. Ia menawarkan masa depan cerah bagi perdesaan Indonesia, menjadikannya bukan lagi wilayah yang tertinggal, melainkan pusat kemajuan yang berbasis pada kekuatan lokal, inovasi, dan keberlanjutan. Dengan komitmen yang kuat dari semua pihak, Agropolitan akan terus menjadi pilar penting dalam mewujudkan Indonesia yang lebih adil, makmur, dan lestari.