Sistem Golongan Darah ABO: Genetika, Fungsi, dan Kepentingan Medis

Representasi Golongan Darah ABO Diagram yang menunjukkan empat golongan darah utama (A, B, AB, O) dengan antigen dan antibodi yang sesuai. A B AB O Golongan A Golongan B Golongan AB Golongan O
Ilustrasi sederhana empat golongan darah utama ABO, menunjukkan antigen pada permukaan sel darah merah (segitiga hijau untuk A, kotak biru untuk B) dan antibodi dalam plasma (bentuk berlian merah muda untuk anti-A, bentuk berlian biru muda untuk anti-B).

Sistem golongan darah ABO adalah salah satu penemuan terpenting dalam sejarah kedokteran, merevolusi praktik transfusi darah dan menyelamatkan jutaan nyawa. Ditemukan oleh Karl Landsteiner pada awal abad ke-20, sistem ini mengklasifikasikan darah manusia berdasarkan keberadaan atau tidaknya antigen tertentu pada permukaan sel darah merah. Lebih dari sekadar identifikasi sederhana, golongan darah ABO memiliki implikasi mendalam terhadap genetika manusia, kompatibilitas transfusi, risiko penyakit tertentu, dan bahkan migrasi populasi manusia sepanjang sejarah. Pemahaman mendalam tentang sistem ABO sangat krusial bagi profesional medis, peneliti, dan masyarakat umum.

Artikel komprehensif ini akan mengupas tuntas seluk-beluk sistem golongan darah ABO, mulai dari sejarah penemuannya yang dramatis, dasar-dasar genetika yang mengatur pewarisannya, karakteristik masing-masing golongan darah, hingga peran krusialnya dalam transfusi darah, kehamilan, dan kesehatan secara umum. Kita juga akan menjelajahi beberapa variasi langka dan bagaimana golongan darah dapat mempengaruhi kerentanan terhadap penyakit. Dengan demikian, diharapkan pembaca dapat memperoleh pemahaman yang holistik dan mendalam mengenai sistem biologis fundamental ini.

Sejarah Penemuan Sistem Golongan Darah ABO

Sebelum awal abad ke-20, transfusi darah adalah prosedur yang sangat berisiko dan sering kali berakibat fatal. Meskipun ide untuk mentransfer darah dari satu individu ke individu lain telah ada selama berabad-abad, hasilnya tidak dapat diprediksi. Terkadang berhasil, namun lebih sering menyebabkan reaksi parah seperti demam tinggi, syok, gagal ginjal, dan kematian. Para dokter dan ilmuwan pada masa itu tidak memahami mengapa hal ini terjadi, sering kali menyalahkan "kualitas darah" atau "kondisi pasien" tanpa benar-benar mengetahui penyebab utamanya.

Titik balik datang pada tahun 1900 ketika seorang ahli patologi Austria bernama Karl Landsteiner melakukan serangkaian eksperimen revolusioner. Landsteiner mengamati bahwa ketika sel darah merah dari satu orang dicampur dengan serum darah dari orang lain, kadang-kadang terjadi penggumpalan (aglutinasi) sel darah merah, sementara di lain waktu tidak. Ia menyadari bahwa aglutinasi ini bukanlah fenomena acak, melainkan mengikuti pola tertentu yang dapat diprediksi.

Melalui pengamatan cermat terhadap sampel darah dari rekan-rekannya, Landsteiner berhasil mengidentifikasi dua jenis zat pada permukaan sel darah merah, yang ia sebut antigen A dan antigen B. Antigen ini adalah molekul karbohidrat yang menonjol dari membran sel darah merah. Ia juga menemukan bahwa serum darah (bagian cair dari darah tanpa sel) dapat mengandung antibodi yang bereaksi spesifik terhadap antigen ini. Antibodi ini, yang ia sebut anti-A dan anti-B, adalah protein yang diproduksi oleh sistem kekebalan tubuh.

Berdasarkan keberadaan antigen dan antibodi ini, Landsteiner mengklasifikasikan darah menjadi tiga kelompok utama: A (memiliki antigen A dan antibodi anti-B), B (memiliki antigen B dan antibodi anti-A), dan C (yang tidak memiliki antigen A maupun B, tetapi memiliki kedua antibodi anti-A dan anti-B). Kelompok C ini kemudian diubah namanya menjadi golongan darah O (dari kata Jerman "Ohne" yang berarti "tanpa").

Pada tahun 1902, dua rekan Landsteiner, Alfred von Decastello dan Adriano Sturli, menemukan golongan darah keempat, yaitu AB. Golongan darah ini memiliki antigen A dan B pada sel darah merahnya tetapi secara unik, tidak memiliki antibodi anti-A maupun anti-B dalam plasmanya. Penemuan ini melengkapi sistem ABO yang kita kenal sekarang, yang terdiri dari golongan A, B, AB, dan O.

Penemuan Landsteiner adalah terobosan monumental. Ia menunjukkan bahwa reaksi transfusi yang fatal disebabkan oleh ketidakcocokan antara antigen pada sel darah merah donor dan antibodi dalam plasma resipien. Jika resipien memiliki antibodi yang mengenali antigen pada sel darah donor (misalnya, resipien golongan A yang memiliki anti-B menerima darah golongan B), antibodi tersebut akan menyerang sel darah donor, menyebabkan aglutinasi dan hemolisis (pecahnya sel darah merah) yang parah. Reaksi ini dapat memicu respons inflamasi sistemik, gagal ginjal akut, hingga syok dan kematian.

Dengan pemahaman yang jelas tentang prinsip kompatibilitas ini, transfusi darah dapat dilakukan dengan aman melalui pencocokan golongan darah antara donor dan resipien. Hal ini memungkinkan pengembangan bank darah, prosedur skrining darah yang cermat, dan, pada akhirnya, menyelamatkan jutaan nyawa. Atas kontribusinya yang tak ternilai dalam kedokteran, Karl Landsteiner dianugerahi Hadiah Nobel Fisiologi atau Kedokteran pada tahun 1930.

Sistem golongan darah ABO tidak hanya mengubah praktik transfusi darah, tetapi juga membuka jalan bagi pemahaman yang lebih dalam tentang imunologi, genetika manusia, dan bahkan antropologi. Dengan memungkinkan pelacakan migrasi populasi dan hubungan kekerabatan, penemuan ini memberikan wawasan baru tentang sejarah dan keragaman manusia. Hingga saat ini, sistem ABO tetap menjadi salah satu alat diagnostik dan terapeutik yang paling dasar dan vital dalam kedokteran modern.

Dasar Genetika Golongan Darah ABO

Pewarisan golongan darah ABO mengikuti pola genetika Mendel yang klasik, menjadikannya salah satu contoh terbaik dari kodominansi dan alel multipel pada manusia. Golongan darah ABO ditentukan oleh satu gen tunggal yang terletak pada lengan panjang kromosom 9, pada lokus yang dikenal sebagai lokus ABO atau gen I (isoaglutinogen). Keunikan sistem ini adalah keberadaan lebih dari dua bentuk (alel) gen yang dapat diwariskan.

Alelel dan Genotipe

Gen I memiliki tiga alel utama dalam populasi manusia, masing-masing bertanggung jawab untuk mengkodekan enzim glikosiltransferase yang berbeda atau tidak fungsional:

Hubungan dominansi di antara alel-alel ini sangat penting dalam menentukan fenotipe (golongan darah) seseorang:

Berdasarkan kombinasi alel ini, ada enam kemungkinan genotipe dan empat fenotipe (golongan darah) yang dapat dihasilkan:

Genotipe Fenotipe (Golongan Darah) Antigen pada Sel Darah Merah Antibodi dalam Plasma
IAIA atau IAi A Antigen A Anti-B
IBIB atau IBi B Antigen B Anti-A
IAIB AB Antigen A dan Antigen B Tidak ada
ii O Tidak ada Antigen A atau B Anti-A dan Anti-B

Pewarisan Golongan Darah

Setiap individu mewarisi satu alel ABO dari setiap orang tua. Oleh karena itu, golongan darah seorang anak dapat diprediksi jika genotipe orang tuanya diketahui. Pemahaman ini sangat berguna dalam kasus tes paternitas (meskipun tidak dapat memastikan, hanya mengecualikan) dan dalam memahami pola pewarisan dalam keluarga. Misalnya:

Pewarisan Golongan Darah ABO Diagram kotak Punnett yang menunjukkan kemungkinan pewarisan golongan darah dari orang tua Golongan A heterozigot (IAi) dan Golongan B heterozigot (IBi). IA i Ayah (IAi) IB i Ibu (IBi) IAIB IBi IAi ii (AB) (B) (A) (O)
Contoh kotak Punnett yang menunjukkan pewarisan golongan darah. Dalam kasus ini, jika seorang ayah bergolongan darah A heterozigot (IAi) dan seorang ibu bergolongan darah B heterozigot (IBi), anak-anak mereka memiliki 25% kemungkinan untuk bergolongan darah AB, B, A, atau O.

Antigen H dan Jalur Biosintesis

Penting untuk dicatat bahwa antigen A dan B sebenarnya merupakan modifikasi dari molekul prekursor yang disebut antigen H. Antigen H itu sendiri adalah oligosakarida (sejenis karbohidrat kompleks) yang ada pada permukaan sel darah merah semua individu, kecuali dalam kasus yang sangat langka seperti fenotipe Bombay. Antigen H diproduksi oleh enzim yang dikodekan oleh gen H (juga dikenal sebagai FUT1), yang terletak pada kromosom 19.

Lalu, bagaimana antigen H berperan dalam pembentukan antigen A dan B? Alel IA mengkodekan enzim glikosiltransferase yang menambahkan N-asetilgalaktosamin ke antigen H, mengubahnya menjadi antigen A. Alel IB mengkodekan enzim glikosiltransferase yang menambahkan D-galaktosa ke antigen H, mengubahnya menjadi antigen B. Sementara itu, alel i tidak mengkodekan enzim yang fungsional, sehingga antigen H tetap tidak termodifikasi pada permukaan sel darah merah, menghasilkan golongan darah O. Individu dengan golongan darah O, karena tidak memiliki antigen A atau B, sebenarnya memiliki banyak antigen H yang tidak termodifikasi pada sel darah merah mereka.

Jalur biosintesis ini juga relevan dalam menjelaskan kasus-kasus langka seperti golongan darah Bombay (Oh), di mana individu tidak dapat memproduksi antigen H sama sekali karena gen H yang tidak fungsional. Tanpa antigen H, antigen A dan B tidak dapat terbentuk, terlepas dari alel ABO yang diwariskan. Fenomena ini akan dibahas lebih lanjut di bagian berikutnya.

Empat Golongan Darah Utama ABO

Pemahaman tentang antigen dan antibodi adalah kunci untuk memahami bagaimana masing-masing golongan darah ABO bekerja dan mengapa kompatibilitas sangat penting dalam transfusi darah. Antigen adalah molekul yang dapat dikenali oleh sistem kekebalan tubuh, biasanya terletak di permukaan sel, sementara antibodi adalah protein yang diproduksi oleh sistem kekebalan tubuh untuk menargetkan dan menghancurkan zat asing (seperti antigen yang tidak dikenal).

1. Golongan Darah A

Individu dengan golongan darah A memiliki antigen A pada permukaan sel darah merah mereka. Antigen A ini adalah glikoprotein atau glikolipid yang dihasilkan dari aktivitas enzim yang dikodekan oleh alel IA. Kehadiran antigen A ini adalah penanda "diri" bagi sistem kekebalan tubuh individu tersebut.

Di sisi lain, plasma darah mereka secara alami mengandung antibodi anti-B. Antibodi ini akan mengenali dan menyerang sel darah merah yang memiliki antigen B, menyebabkan aglutinasi (penggumpalan) dan hemolisis. Pembentukan antibodi anti-B ini terjadi secara alami sejak bayi lahir, tanpa perlu paparan sebelumnya, yang berbeda dengan pembentukan antibodi pada sistem Rh.

Genotipe yang mungkin: Individu bergolongan darah A dapat memiliki genotipe IAIA (homozigot, mewarisi alel A dari kedua orang tua) atau IAi (heterozigot, mewarisi alel A dari satu orang tua dan alel O yang resesif dari yang lain).

Dalam konteks transfusi darah:

2. Golongan Darah B

Individu dengan golongan darah B memiliki antigen B pada permukaan sel darah merah mereka. Antigen B ini juga merupakan glikoprotein atau glikolipid yang dihasilkan dari aktivitas enzim yang dikodekan oleh alel IB. Antigen B berfungsi sebagai penanda "diri" bagi sistem kekebalan individu tersebut.

Plasma darah mereka secara alami mengandung antibodi anti-A. Antibodi ini akan bereaksi dengan sel darah merah yang memiliki antigen A, menyebabkan aglutinasi dan hemolisis jika darah yang tidak cocok ditransfusikan.

Genotipe yang mungkin: Individu bergolongan darah B dapat memiliki genotipe IBIB (homozigot) atau IBi (heterozigot).

Dalam konteks transfusi darah:

3. Golongan Darah AB

Individu dengan golongan darah AB adalah unik karena mereka memiliki kedua antigen, yaitu antigen A dan antigen B, pada permukaan sel darah merah mereka. Ini adalah hasil dari pewarisan alel IA dan IB secara kodominan, yang berarti kedua alel terekspresi secara penuh.

Yang paling penting, plasma darah mereka tidak memiliki antibodi anti-A maupun anti-B. Karena mereka memiliki kedua antigen (A dan B) pada sel darah merah mereka, tubuh mereka "mengenali" kedua antigen tersebut sebagai "milik sendiri" dan tidak menghasilkan antibodi terhadapnya. Ini adalah fitur krusial yang menentukan perannya dalam transfusi.

Genotipe yang mungkin: Hanya satu genotipe yang dapat menghasilkan fenotipe AB, yaitu IAIB.

Dalam konteks transfusi darah, seseorang dengan golongan darah AB sering disebut sebagai resipien universal untuk sel darah merah. Ini berarti mereka dapat:

4. Golongan Darah O

Individu dengan golongan darah O adalah kebalikan dari golongan AB dalam hal antigen. Sel darah merah mereka tidak memiliki antigen A maupun antigen B pada permukaannya. Hal ini disebabkan oleh pewarisan alel i yang resesif dari kedua orang tua.

Namun, plasma darah mereka mengandung kedua antibodi, yaitu anti-A dan anti-B. Ini berarti mereka akan bereaksi sangat kuat terhadap sel darah merah yang memiliki antigen A atau B.

Genotipe yang mungkin: Hanya satu genotipe yang menghasilkan fenotipe O, yaitu ii.

Dalam konteks transfusi darah, seseorang dengan golongan darah O sering disebut sebagai donor universal untuk sel darah merah. Ini berarti mereka dapat:

Penting untuk diingat bahwa konsep "donor universal" dan "resipien universal" berlaku terutama untuk transfusi sel darah merah pekat. Untuk transfusi plasma, aturannya bisa sedikit berbeda karena plasma mengandung antibodi. Misalnya, plasma golongan AB adalah donor plasma universal karena tidak mengandung antibodi anti-A atau anti-B. Sebaliknya, plasma golongan O mengandung kedua antibodi dan hanya dapat didonorkan ke resipien golongan O tanpa risiko reaksi antibodi.

Dengan pemahaman mendalam tentang karakteristik masing-masing golongan darah, profesional medis dapat memastikan bahwa transfusi darah dilakukan dengan aman dan efektif, meminimalkan risiko reaksi yang merugikan bagi pasien.

Pentingnya Transfusi Darah dan Kompatibilitas ABO

Transfusi darah adalah prosedur medis penyelamat jiwa yang melibatkan transfer darah utuh atau komponen darah dari individu yang sehat (donor) ke individu yang sakit atau terluka (resipien). Prosedur ini krusial dalam berbagai kondisi, seperti kehilangan darah akut akibat trauma, operasi besar, atau persalinan; anemia parah akibat penyakit kronis atau defisiensi nutrisi; kelainan darah bawaan seperti talasemia atau hemofilia; dan sebagai bagian dari pengobatan kanker seperti kemoterapi yang menekan produksi sel darah. Keberhasilan dan keamanan transfusi sangat bergantung pada pemahaman dan penerapan prinsip kompatibilitas golongan darah, terutama sistem ABO dan Rh.

Prinsip Kompatibilitas ABO

Prinsip dasar dalam transfusi darah adalah menghindari reaksi antara antibodi resipien dengan antigen pada sel darah merah donor. Jika terjadi ketidakcocokan, antibodi resipien akan segera menyerang sel darah merah donor, menyebabkan aglutinasi (penggumpalan) dan hemolisis (pecahnya sel darah merah). Reaksi transfusi hemolitik ini, terutama yang terjadi secara akut, bisa sangat parah, bahkan mengancam jiwa. Gejala bisa meliputi demam, menggigil, nyeri punggung, urin gelap, gagal ginjal, dan syok.

Tabel berikut merangkum kompatibilitas transfusi sel darah merah berdasarkan sistem ABO:

Golongan Darah Resipien Dapat Menerima Sel Darah Merah Dari Dapat Mendonorkan Sel Darah Merah Ke
A A, O A, AB
B B, O B, AB
AB A, B, AB, O (Universal Resipien) AB
O O A, B, AB, O (Universal Donor)

Dari tabel ini, jelas terlihat peran golongan darah O sebagai "donor universal" karena sel darah merahnya tidak memiliki antigen A atau B, sehingga tidak akan memicu reaksi pada resipien manapun. Sebaliknya, golongan darah AB adalah "resipien universal" karena plasmanya tidak memiliki antibodi anti-A atau anti-B, sehingga dapat menerima sel darah merah dari golongan manapun tanpa terjadi aglutinasi.

Diagram Kompatibilitas Transfusi Sel Darah Merah ABO Panah menunjukkan arah transfusi yang aman antara golongan darah A, B, AB, dan O untuk sel darah merah. Golongan O dapat mendonorkan ke semua tipe, dan AB dapat menerima dari semua tipe. A B O AB
Diagram alur kompatibilitas transfusi sel darah merah. Panah menunjukkan arah transfusi yang aman. Golongan darah O adalah donor universal, sementara golongan darah AB adalah resipien universal untuk sel darah merah.

Prosedur Cross-Matching

Meskipun golongan darah ABO adalah faktor utama, transfusi darah tidak sesederhana hanya mencocokkan A dengan A, atau B dengan B. Untuk memastikan keamanan maksimal dan mendeteksi antigen/antibodi minor yang tidak termasuk dalam sistem ABO, selalu dilakukan prosedur yang disebut uji silang (cross-matching) sebelum transfusi. Uji silang ini adalah langkah kritis yang memverifikasi kompatibilitas antara darah donor dan resipien.

Pentingnya pengujian pra-transfusi yang cermat tidak dapat dilebih-lebihkan. Setiap kantung darah diperiksa ulang untuk golongan ABO dan Rh sebelum ditransfusikan, dan identitas pasien diverifikasi ganda oleh setidaknya dua orang profesional medis di samping tempat tidur pasien. Langkah-langkah berlapis ini meminimalkan risiko reaksi transfusi yang berpotensi fatal.

Komponen Darah yang Ditransfusikan

Transfusi darah modern jarang melibatkan darah utuh (whole blood) karena sebagian besar pasien hanya membutuhkan komponen darah tertentu. Darah donor dipisahkan menjadi komponen-komponennya, masing-masing dengan kegunaan klinis spesifik dan persyaratan kompatibilitasnya sendiri:

Dengan memisahkan darah menjadi komponen, bank darah dapat mengoptimalkan penggunaan setiap unit darah donor dan menyesuaikan terapi dengan kebutuhan spesifik pasien. Ini mencerminkan kemajuan besar dalam transfusi modern yang terus berkembang untuk meningkatkan keamanan dan efektivitas.

Faktor Rhesus (Rh) dan Interaksinya dengan ABO

Selain sistem ABO, sistem golongan darah Rhesus (Rh) adalah sistem antigen sel darah merah kedua yang paling penting dalam praktik transfusi dan, khususnya, dalam kehamilan. Ditemukan oleh Landsteiner dan Wiener pada tahun 1940, faktor Rh merujuk pada keberadaan atau tidaknya antigen D pada permukaan sel darah merah. Individu yang memiliki antigen D pada sel darah merahnya disebut Rh positif (Rh+), sedangkan yang tidak memiliki antigen D disebut Rh negatif (Rh-).

Antigen D dan Pembentukan Antibodi Anti-D

Antigen D adalah protein yang sangat imunogenik, artinya ia sangat efektif dalam memicu respons imun jika individu Rh- terpapar darah Rh+. Berbeda dengan antibodi ABO yang biasanya terbentuk secara alami (disebut juga antibodi "alami" atau "isoaglutinin") tanpa paparan sebelumnya (misalnya, individu golongan A secara alami memiliki anti-B), antibodi anti-D pada individu Rh- hanya terbentuk setelah paparan terhadap sel darah merah Rh+.

Paparan ini dapat terjadi melalui dua mekanisme utama:

Setelah paparan pertama, sistem kekebalan tubuh individu Rh- akan menghasilkan antibodi anti-D. Jika individu yang sama terpapar lagi di kemudian hari (baik melalui transfusi atau kehamilan berikutnya), antibodi anti-D yang sudah ada (disebut antibodi "imun") akan menyebabkan reaksi hemolitik yang cepat, parah, dan berpotensi fatal.

Pentingnya Faktor Rh dalam Kehamilan

Interaksi antara faktor Rh ibu dan janin merupakan perhatian utama dalam kebidanan karena dapat menyebabkan kondisi serius yang dikenal sebagai penyakit hemolitik pada janin dan bayi baru lahir (Hemolytic Disease of the Fetus and Newborn - HDFN) atau yang lebih dikenal sebagai eritroblastosis fetalis. Kondisi ini terjadi ketika antibodi ibu menyerang sel darah merah janin.

Situasi berisiko tinggi untuk HDFN terjadi ketika:

Selama kehamilan atau, yang lebih umum, saat persalinan, sejumlah kecil sel darah merah janin dapat melintasi plasenta dan masuk ke aliran darah ibu. Jika ibu Rh- terpapar sel darah merah Rh+ janin, sistem kekebalan tubuh ibu akan mulai menghasilkan antibodi anti-D. Paparan pertama ini (misalnya, pada kehamilan pertama) biasanya tidak membahayakan janin karena pembentukan antibodi membutuhkan waktu, dan sebagian besar terjadi setelah bayi lahir.

Namun, jika ibu tersebut kemudian hamil lagi dengan janin Rh+ kedua, antibodi anti-D yang sudah ada dalam darah ibu (dari kehamilan sebelumnya atau transfusi yang tidak cocok) dapat dengan mudah melintasi plasenta dan menyerang sel darah merah janin. Ini menyebabkan hemolisis pada janin, yang dapat mengakibatkan anemia berat, gagal jantung, hidrops fetalis (pembengkakan parah pada janin), dan bahkan kematian janin. Setelah lahir, bayi mungkin menderita ikterus (penyakit kuning) parah karena pemecahan sel darah merah yang berlebihan.

Pencegahan dengan Imunoglobulin Rh (RhoGAM)

Berkat kemajuan medis, HDFN sekarang dapat dicegah secara efektif, sehingga mengubah prognosis yang dulunya sering fatal. Ibu hamil Rh- diberi suntikan imunoglobulin Rh (RhIG), yang dikenal dengan nama merek seperti RhoGAM atau Anti-D. RhoGAM adalah sediaan antibodi anti-D yang dibuat di laboratorium.

Protokol standar melibatkan pemberian RhoGAM kepada ibu Rh- pada sekitar minggu ke-28 kehamilan dan lagi dalam 72 jam setelah persalinan (jika bayi terbukti Rh+). RhoGAM juga diberikan setelah prosedur invasif selama kehamilan, seperti amniosentesis, atau setelah keguguran atau aborsi. Mekanisme kerjanya adalah dengan "menutupi" atau menghancurkan sel darah merah Rh+ janin yang mungkin masuk ke aliran darah ibu sebelum sistem kekebalan tubuh ibu memiliki kesempatan untuk memproduksi antibodi anti-D sendiri. Ini mencegah sensitisasi ibu dan melindungi kehamilan di masa depan.

Kombinasi golongan darah ABO dan Rh menghasilkan total delapan golongan darah utama yang umum dikenal (misalnya, A+, A-, B+, B-, AB+, AB-, O+, O-). Semua faktor ini harus dipertimbangkan secara cermat dalam setiap transfusi dan dalam manajemen kehamilan untuk memastikan keselamatan ibu dan janin.

Kasus Khusus dan Variasi Golongan Darah

Meskipun sistem ABO dan Rh mencakup sebagian besar variasi golongan darah manusia dan merupakan yang paling penting secara klinis, ada beberapa kasus khusus dan variasi langka yang menarik secara ilmiah dan memiliki implikasi medis yang signifikan. Variasi ini sering kali melibatkan gen yang berinteraksi dengan gen ABO atau mutasi pada gen ABO itu sendiri, yang mengakibatkan fenotipe yang tidak biasa.

1. Golongan Darah Bombay (Oh)

Salah satu variasi paling menarik dan secara klinis penting adalah golongan darah Bombay (juga dikenal sebagai fenotipe Oh), dinamai setelah ditemukan pertama kali di Bombay (sekarang Mumbai), India. Individu dengan golongan darah Bombay memiliki fenotipe O yang unik, meskipun mereka mungkin memiliki alel IA atau IB dalam silsilah keluarga mereka, yang seharusnya menghasilkan golongan A, B, atau AB.

Penyebab golongan darah Bombay terletak pada gen lain yang terpisah dari gen ABO, yaitu gen H (atau FUT1). Seperti yang dijelaskan sebelumnya, gen H mengkodekan enzim (fukosiltransferase) yang memproduksi antigen H, prekursor yang dibutuhkan untuk pembentukan antigen A dan B. Alel dominan H menghasilkan antigen H fungsional, sedangkan alel resesif h tidak.

Individu dengan genotipe homozigot resesif hh tidak dapat menghasilkan enzim fukosiltransferase fungsional, sehingga mereka tidak dapat membentuk antigen H pada permukaan sel darah merah mereka. Tanpa antigen H, bahkan jika mereka mewarisi alel IA atau IB, tidak ada tempat bagi enzim yang dikodekan oleh alel-alel ini untuk menempelkan karbohidrat A atau B. Akibatnya, sel darah merah mereka tidak memiliki antigen A, B, maupun H.

Secara fenotipik, darah mereka akan diuji sebagai golongan darah O karena tidak adanya antigen A dan B. Namun, yang membedakan mereka adalah keberadaan antibodi anti-H yang kuat dalam plasma mereka, selain antibodi anti-A dan anti-B (jika genotipe ABO mereka memungkinkan produksi antibodi tersebut). Antibodi anti-H ini akan bereaksi dengan sel darah merah dari hampir semua donor "normal", termasuk golongan darah O biasa (yang memiliki antigen H).

Ini membuat transfusi darah bagi individu Bombay menjadi sangat menantang. Mereka hanya dapat menerima darah dari donor Bombay lain yang sangat langka. Oleh karena itu, identifikasi golongan darah Bombay sangat penting untuk menghindari reaksi transfusi yang fatal, dan bank darah harus memiliki protokol khusus untuk mendiagnosis dan mengelola pasien-pasien ini.

2. Subtipe A (A1 dan A2) dan B

Antigen A sebenarnya tidaklah tunggal, melainkan memiliki beberapa subtipe, yang paling umum adalah A1 dan A2. Sekitar 80% individu golongan A (dan AB) diidentifikasi sebagai subtipe A1, sementara sekitar 20% adalah A2. Perbedaan antara A1 dan A2 terletak pada kompleksitas antigennya; antigen A1 lebih kompleks, memiliki lebih banyak situs antigenik, dan lebih banyak antigen H yang diubah menjadi antigen A dibandingkan A2.

Kebanyakan individu A2 tidak menghasilkan antibodi anti-A1. Namun, sekitar 1-8% individu A2 (terutama pada individu dengan genotipe A2B) dapat menghasilkan antibodi anti-A1 secara alami. Kehadiran antibodi anti-A1 ini menjadi penting dalam uji silang, karena seorang resipien A2 dengan anti-A1 dapat mengalami reaksi jika menerima darah dari donor A1, meskipun keduanya secara umum dikategorikan sebagai golongan A. Ini memerlukan pengujian yang lebih spesifik untuk membedakan subtipe A.

Subtipe B juga ada tetapi jauh lebih jarang dan umumnya kurang signifikan secara klinis dibandingkan subtipe A. Ada juga variasi yang lebih langka seperti A3, Ax, B3, Bx, dan lain-lain, yang menunjukkan jumlah antigen yang sangat sedikit atau lemah pada sel darah merah.

3. Variasi Antigen H Lainnya

Selain fenotipe Bombay (hh), ada juga fenotipe yang terkait dengan gen H yang lebih jarang seperti fenotipe Para-Bombay. Ini adalah individu yang memiliki antigen H dalam jumlah yang sangat sedikit pada sel darah merahnya, sehingga mereka dapat diuji sebagai golongan O atau menunjukkan reaksi yang sangat lemah terhadap reagen anti-A atau anti-B. Mereka mungkin juga memiliki antigen A atau B dalam jumlah kecil pada sekresi tubuh mereka (seperti air liur), tetapi tidak pada sel darah merah.

4. Chimerism

Chimerism adalah kondisi langka di mana seseorang memiliki dua atau lebih populasi sel darah merah yang berbeda, seringkali dengan golongan darah yang berbeda. Ini bisa terjadi secara alami atau secara buatan:

Meskipun langka, variasi-variasi ini menyoroti kompleksitas sistem golongan darah dan pentingnya pengujian yang teliti dan menyeluruh di bank darah untuk memastikan keamanan transfusi bagi setiap pasien, terutama dalam kasus-kasus diagnostik yang menantang.

Aspek Klinis dan Medis Lainnya Terkait ABO

Sistem golongan darah ABO tidak hanya krusial untuk transfusi dan kehamilan, tetapi juga memiliki hubungan yang menarik dengan berbagai aspek kesehatan dan penyakit lainnya. Penelitian terus mengungkap korelasi antara golongan darah ABO dengan kerentanan atau ketahanan terhadap infeksi tertentu, risiko penyakit kronis, dan bahkan hasil transplantasi organ. Ini menunjukkan bahwa antigen ABO bukan sekadar penanda pasif, melainkan memiliki peran biologis aktif dalam interaksi tubuh dengan lingkungan dan patogen.

1. Pencangkokan Organ dan Transplantasi Sumsum Tulang

Kompatibilitas ABO juga merupakan faktor penting dalam keberhasilan transplantasi organ padat (misalnya, ginjal, jantung, paru-paru, hati) dan transplantasi sumsum tulang (hematopoietic stem cell transplantation - HSCT). Sama seperti transfusi darah, adanya antigen ABO pada jaringan donor dapat memicu respons imun yang kuat dari antibodi resipien, yang dikenal sebagai penolakan hiperakut atau penolakan vaskular dini, yang dapat menyebabkan kegagalan organ yang ditransplantasikan.

2. Kerentanan Terhadap Penyakit

Berbagai penelitian epidemiologi telah menunjukkan korelasi antara golongan darah ABO dan risiko terhadap beberapa penyakit. Meskipun mekanisme pastinya seringkali kompleks dan melibatkan banyak faktor, bukti menunjukkan bahwa antigen ABO dapat mempengaruhi interaksi patogen dengan sel inang, respon imun, atau proses fisiologis tubuh lainnya.

Penting untuk diingat bahwa korelasi ini seringkali bersifat statistik dan menunjukkan peningkatan atau penurunan risiko relatif yang kecil. Faktor genetik, gaya hidup, riwayat kesehatan, dan lingkungan lainnya jauh lebih dominan dalam menentukan risiko penyakit seseorang secara keseluruhan. Golongan darah adalah salah satu dari banyak faktor yang berkontribusi pada profil kesehatan individu.

3. Pola Sebaran Geografis

Frekuensi alel ABO bervariasi secara signifikan di antara populasi etnis dan geografis yang berbeda di seluruh dunia. Pola sebaran ini bukan acak, melainkan merupakan hasil dari sejarah migrasi manusia, tekanan selektif (seperti penyakit), efek pendiri (founder effect), dan hanyutan genetik (genetic drift) sepanjang ribuan tahun evolusi.

Pola sebaran ini telah menjadi alat yang berharga dalam studi antropologi dan genetika populasi untuk melacak migrasi kuno manusia, hubungan antara kelompok etnis yang berbeda, dan untuk memberikan petunjuk tentang tekanan selektif yang mungkin mempengaruhi frekuensi alel ABO sepanjang sejarah manusia. Pemetaan frekuensi golongan darah di seluruh dunia membantu para ilmuwan merekonstruksi jalur migrasi nenek moyang kita dan memahami keragaman genetik manusia.

Keseluruhan, sistem ABO lebih dari sekadar penanda sederhana; ini adalah bagian integral dari biologi manusia yang memengaruhi berbagai aspek kesehatan, mulai dari respons imun dasar hingga kerentanan terhadap penyakit global dan bahkan jejak sejarah populasi manusia.

Evolusi Golongan Darah ABO

Pertanyaan mengapa sistem golongan darah ABO ada, bagaimana ia berevolusi, dan mengapa frekuensi alelnya bervariasi secara luas di antara populasi di seluruh dunia telah menjadi subjek penelitian dan spekulasi evolusioner yang intens. Sistem ABO adalah salah satu polimorfisme genetik tertua dan paling dipelajari pada manusia, menunjukkan bahwa ia telah bertahan dan berevolusi selama jutaan tahun, jauh sebelum spesies Homo sapiens muncul.

Tekanan Seleksi Alam

Salah satu teori utama mengenai evolusi golongan darah ABO adalah bahwa perbedaan antigen ABO memberikan keuntungan selektif dalam menghadapi patogen yang berbeda. Artinya, individu dengan golongan darah tertentu mungkin lebih resisten terhadap infeksi tertentu, sementara golongan darah lain mungkin lebih rentan. Lingkungan yang berbeda, dengan prevalensi patogen yang berbeda pula, akan menyebabkan frekuensi alel bergeser dari waktu ke waktu di berbagai populasi.

Hipotesis Adaptasi Diet dan Lingkungan

Beberapa teori awal, terutama yang kurang didukung secara ilmiah secara luas, mencoba menghubungkan golongan darah dengan adaptasi diet atau lingkungan tertentu. Misalnya, ada hipotesis populer yang mengaitkan golongan darah O dengan "pemburu-pengumpul" awal yang mengonsumsi diet kaya daging dan protein hewani, karena O dianggap sebagai tipe yang paling primitif. Golongan darah A kemudian dikaitkan dengan transisi ke pertanian dan diet nabati, sementara B dikaitkan dengan migrasi dan percampuran populasi. Namun, bukti genetik dan arkeologis yang kuat untuk mendukung teori semacam itu masih terbatas dan banyak disanggah oleh komunitas ilmiah karena kurangnya dasar bukti yang kokoh.

Faktor Selektif Lainnya

Selain patogen, faktor selektif lain mungkin termasuk tekanan terkait fertilitas, kerentanan terhadap kondisi lingkungan tertentu, atau bahkan peran ABO dalam respons inflamasi dan sistem imun yang lebih luas. Misalnya, antibodi anti-A dan anti-B yang muncul secara alami diyakini berperan dalam pertahanan pertama tubuh terhadap bakteri tertentu. Perbedaan dalam struktur karbohidrat antigen ABO juga dapat mempengaruhi fluiditas membran sel darah merah, interaksi dengan protein lain, dan kemampuan sel untuk bertahan hidup di bawah kondisi stres tertentu.

Meskipun kita memiliki pemahaman yang baik tentang genetika dan fungsi sistem ABO dalam tubuh manusia modern, misteri evolusionernya tetap menjadi area penelitian aktif. Pola sebaran geografis yang kompleks dan asosiasinya dengan berbagai penyakit menunjukkan bahwa ABO adalah sistem yang dinamis, terus-menerus berinteraksi dengan lingkungan dan tekanan selektif yang membentuk biologi manusia. Penelitian genomik dan epidemiologi modern terus memberikan wawasan baru tentang bagaimana sistem kuno ini telah memainkan peran krusial dalam sejarah evolusi dan adaptasi manusia.

Kesimpulan

Sistem golongan darah ABO, yang ditemukan oleh Karl Landsteiner lebih dari satu abad yang lalu, merupakan salah satu pilar fundamental dalam ilmu kedokteran dan biologi manusia. Penemuannya tidak hanya merevolusi praktik transfusi darah, mengubahnya dari prosedur berbahaya menjadi penyelamat hidup yang rutin, tetapi juga membuka jendela ke dalam kompleksitas genetika, imunologi, dan evolusi manusia. Keberadaannya menyoroti bagaimana perbedaan kecil pada tingkat molekuler dapat memiliki dampak besar pada fisiologi dan interaksi kita dengan lingkungan.

Dari dasar genetika yang melibatkan alel IA, IB, dan i yang menentukan keberadaan antigen pada sel darah merah dan antibodi dalam plasma, kita telah memahami mengapa golongan darah A, B, AB, dan O memiliki karakteristik uniknya masing-masing. Kodominansi alel ABO dan dominansi mereka atas alel resesif i menjelaskan pola pewarisan yang kompleks namun dapat diprediksi. Kompatibilitas ABO adalah prinsip yang tidak dapat ditawar dalam transfusi sel darah merah, dengan golongan O sebagai donor universal dan AB sebagai resipien universal, meskipun pentingnya pengujian silang yang cermat tidak dapat diabaikan untuk memastikan keamanan maksimal.

Lebih jauh lagi, artikel ini menyoroti bagaimana sistem ABO berinteraksi dengan faktor Rhesus (Rh) untuk membentuk gambaran yang lebih lengkap tentang golongan darah dan dampaknya, terutama dalam pencegahan penyakit hemolitik pada janin dan bayi baru lahir, sebuah kondisi yang dulunya mematikan kini dapat dicegah berkat intervensi medis seperti RhoGAM. Kita juga telah menjelajahi kasus-kasus khusus dan variasi langka seperti golongan darah Bombay, yang menyoroti betapa kompleksnya jalur biosintesis antigen dan pentingnya identifikasi yang tepat untuk menghindari reaksi transfusi yang fatal.

Di luar transfusi dan kehamilan, sistem ABO terus mengungkap relevansinya dalam berbagai aspek medis dan biologis. Asosiasinya dengan kerentanan terhadap penyakit tertentu—mulai dari tukak lambung dan penyakit jantung koroner hingga malaria dan bahkan COVID-19—serta perannya dalam transplantasi organ dan pola sebaran populasi, menunjukkan bahwa golongan darah kita adalah lebih dari sekadar label. Ia adalah bagian integral dari identitas biologis kita, yang telah dibentuk oleh jutaan tahun evolusi dan terus mempengaruhi kesehatan kita setiap hari melalui interaksinya dengan lingkungan, diet, dan patogen.

Pemahaman yang berkelanjutan tentang sistem ABO tidak hanya esensial bagi praktisi medis, peneliti, dan ilmuwan, tetapi juga bagi setiap individu. Pengetahuan ini memberdayakan kita untuk membuat keputusan yang terinformasi mengenai kesehatan pribadi dan kontribusi kita terhadap bank darah, memastikan bahwa warisan ilmiah Landsteiner terus menyelamatkan dan meningkatkan kualitas hidup di seluruh dunia. Keunikan biologis yang tercermin dalam golongan darah ABO adalah pengingat akan keragaman dan kompleksitas menakjubkan dari tubuh manusia.